Chapter 4 - 4. Terjebak

Situasi hening, ini yang terjadi di antara sepasang manusia yang sedang terjebak di dalam lift apartemen itu. Mereka sibuk berkutat dengan pikiran masing-masing dan hanya berkata dalam diam, sementara menunggu bantuan datang.

Merasa lelah dengan beban bawaannya, Zura meletakkan beban-bebannya itu di pojokan lift. Lalu ia menyungkur duduk di lantai lift sambil meregangkan kakinya lurus kedepan. Reno yang melihat hal tersebut, ikut memposisikan badannya duduk di lantai juga, dengan posisi kaki menekuk di hadapannya, sambil bersandar.

"Mbak, mahasiswi ya?" Tidak betah dengan aksi saling diam, Reno memutuskan membuka pembicaraan sambil mengarahkan pandangan ke Zura.

"Iya, tingkat akhir," jawab Zura sambil memejamkan matanya yang lelah.

"Berarti sedang sibuk-sibuknya dong, ya?" balas Reno.

"Yaa ... begitulah," jawab Zura masih dengan mata terpejam.

"Jurusan apa?"

"Teknik mesin." Zura masih malas membuka matanya.

Melihat lawan bicaranya merespon dengan malas, Reno tidak melanjutkan pembicaraan.

"Mungkin ia sedang sangat lelah," batin Reno.

Sementara ia mengamati wajah Zura yang sedang terlelap.

Cantik juga, pikir Reno. Kulitnya putih bersih, hidungnya mancung, bibirnya tidak tebal ataupun tipis, tapi terbelah di bagian bawahnya. Matanya ... ah, matanya itu yang menarik Reno. Dihiasi dengan bulu mata tebal nan lentik, serta alis tebal yang terbentuk sempurna. Tapi entah kenapa wajahnya ini....

Merasa Reno berhenti mengajak bicara, Zura pun membuka netranya. Mata mereka pun bersirobok, pandangan mereka bertemu. Reno cepat mengalihkan pandangan untuk menyembunyikan rasa malunya karena ketahuan diam-diam memandangi wajah Zura.

Ia menjadi gugup, jantung keduanya saling berdegup tidak karuan. Andai suara detak jantung dapat terjangkau dalam frekuensi normal pendengaran manusia, mungkin paduan suara kedua jantung tersebut akan terdengar bertalu-talu bersahutan.

Namun Zura dengan cepat menenangkan jantungnya, karena toh ia sudah terbiasa setiap harinya bergaul dengan para mahasiswa jurusannya yang memang mayoritas kaum adam.

Zura pun turut mengalihkan pandangannya dari Reno dengan memandang ke langit-langit lift.

"Ehm ... maaf," ucap Reno masih sambil memalingkan wajah. Malu? Pastinya.

"Maaf? Kenapa?" tanya Zura juga masih dengan mata menatap ke atas.

"Eh ... emmm ... enggak, nggak kenapa-kenapa." Reno menggaruk rambutnya yang tidak gatal dengan tingkah kikuk.

"Kenapa jadi salting gini, sih?" batin Reno pada dirinya sendiri.

"Nih cowok kenapa, sih?" tanya Zura dalam hatinya.

Untuk beberapa menit, keduanya kembali saling diam hingga menciptakan suasana tegang.

"Kalau Mas sendiri ... kerja?" Zura memutuskan untuk memecah rasa ketegangan di antara mereka.

"Iya, saya bekerja," jawab Reno sambil kembali memberanikan diri menatap lawan bicaranya.

"Kerja apa, Mas?" Zura kembali bertanya.

"Tukang masak." jawab Reno.

"Chef?"

"I ... iya." Reno tampak berpikir sesaat sebelum menjawab.

"Kereeennn! Laki-laki yang bisa masak itu keren banget, lho!" Zura memuji sambil mengacungkan jempol tangan kanannya.

Reno tersenyum bangga. Entah kenapa hatinya merasa senang.

"Ah, biasa saja kok. Anyone can cook!" balas Reno merendah sambil mengambil jargon dari sebuah film kartun kesukaannya.

"Waaah, Mas pasti pernah nonton Ratatouille ya?" Mata Zura berbinar-binar, mulutnya tersenyum ceria, merasa senang karena pria tampan tersebut sepertinya juga suka menonton film kartun, sama seperti Zura.

"Eh ... iya. Kamu juga suka film Ratatouille?" Reno ikut tersenyum.

"Iyaaa, suka banget! Walaupun tokoh ceritanya seekor tikus yang notabene hewan yang ... ya gitu deh, tapi banyak pesan-pesan moral dalam ceritanya. Kebetulan saya juga hobi memasak." Zura menjadi merasa nyaman melanjutkan pembicaraan, entah kenapa.

" Oh ya? Kamu bisa masak?" tanya Reno penuh selidik.

"Hehe ... tampang saya meragukan ya, Mas?" Zura tertawa.

"Nggak sih, perempuan kan memang umumnya bisa memasak. Tapi ... masak apa dulu." Reno berniat menggoda Zura.

Zura langsung memasang wajah cemberutnya yang justru menambah kadar keimutannya. Muncul desiran halus dalam diri Reno saat melihat mimik Zura.

Dan pembicaraan mereka berlangsung lepas disertai dengan sedikit tawa.

Tak berapa lama kemudian terdengar suara ketukan dari luar pintu lift. Ternyata teknisi dan operatornya sudah datang dan segera mengupayakan agar pintu lift dapat terbuka.

Selang 10 menit kemudian, pintu lift berhasil terbuka. Zura dan Reno bernafas lega dan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya sebelum akhirnya melangkahkan kaki keluar dari lift.

"Maaf, Mas dan Mbak ini mau ke lantai berapa?" tanya sang teknisi.

"Sepuluh."

"Sembilan."

Reno dan Zura menjawab bersamaan.

"Kalau begitu sementara lewat tangga darurat dulu, ya," lanjut sang teknisi sambil menunjuk ke arah pintu darurat.

"Oke, Pak! Terima kasih untuk bantuannya." Reno menjawab sopan.

"Iya Pak, terima kasih banyak ya," timpal Zura juga.

Reno dan Zura melanjutkan langkah mereka menuju pintu darurat. Mereka berjalan beriringan.

Melihat Zura yang kembali repot dengan bawaannya, Reno pun mencoba menawarkan bantuan, "Maaf, boleh aku bantu bawakan?"

"Nggak usah, Mas. Terima kasih. Mas sudah banyak menolong tadi," tolak Zura dengan halus.

"Sudah, biar aku bawakan saja. Lagipula kita harus olahraga malam, kan?" Reno langsung menarik tas laptop dari tangan Zura dan mengambil tas ransel di punggung Zura.

"Eh ... tapi, Mas ... saya ... Eh, kok olahraga malam?" Zura tidak kuasa menolak bantuan Reno. Ia sendiri merasa cukup lelah.

"Mau naik tangga 5 lantai, 'kan?" sahut Reno santai sambil memposisikan tas-tas di badannya.

"Maaf ya, Mas. Saya jadi bikin repot lagi." Zura menunjukkan wajah bersalahnya sambil menangkupkan kedua telapak tangan di depan wajahnya.

"Nggak apa-apa, kok. Kan tetangga harus saling tolong-menolong," balas Reno dengan tersenyum manis.

"Ya Allah ..." batin Zura. Seketika lutut Zura berasa lemas melihat senyuman itu. Cepat-cepat Zura mengalihkan matanya.

"Oh iya, daritadi ngobrol malah belum kenalan. Aku Reno." Reno berinisiatif mengulurkan tangan kanannya.

"Saya Azura, panggil saja Zura." Alih-alih menyambut tangan Reno, Zura menangkupkan kedua telapak tangan di hadapan dadanya. Ya, Zura menolak untuk bersalaman.

Semenjak memutuskan untuk belajar hijrah sejak beberapa bulan yang lalu, ia berprinsip yang boleh menyentuhnya hanya pria yang menjadi imamnya nanti.

Sedangkan Reno sibuk berkutat dengan kata hatinya usai mendengar nama gadis imut di hadapannya itu. Azura? Namanya Azura? Benarkah dia Azura? Reno berkali-kali berusaha meyakinkan dirinya. Ia memandang Zura lekat-lekat sambil memicingkan mata.

Seketika Azura merasa risih dipandang seperti itu oleh lawan jenisnya. Apakah ada yang salah pada dirinya? Zura pun memberanikan diri untuk bertanya, "Ada apa ya, Mas?"

"Eh ... eng - enggak. Nggak apa-apa, kok. Kamu cantik."

----------------------

Reno mengantarkan Zura hingga menuju tempat tinggalnya di lantai 10. Mereka pun sampai di depan pintu bernomor 1006. Sepanjang perjalanan menuju kesana, wajah Zura tak henti-hentinya memerah seperti kepiting rebus. Pujian Reno tadi terlalu mendadak baginya, jantungnya masih kebat-kebit hingga sekarang.

"Terima kasih banyak ya, Mas Reno." ucap Zura sekali lagi sambil mengambil kedua tasnya dari tangan Reno. Ia berusaha agar tangan mereka tidak sampai bersentuhan. Walaupun bisa diketahui dari pergerakannya jika Zura sedang salah tingkah.

"Iya, sama-sama," jawab Reno santai.

Zura heran tidak menemukan wajah lelah pada Reno setelah mendaki lima lantai dengan tas bawaannya yang mungkin mencapai bobot 20 kg itu. Mungkin pria ini rajin berolahraga, pikirnya.

Ya, Reno memang rutin menjaga staminanya dengan jogging di pagi hari dan terkadang nge-gym di malam hari. Olahraga juga membantunya dalam mengurangi tingkat stres-nya.

"Oh iya, aku boleh minta air minum sedikit?" Reno merasa tenggorokannya kering.

"Oh iya, sebentar ya, Mas. Zura ambilkan dulu. Tapi ... Mas Reno tunggu di luar sini saja, ya? Ngga enak kalau ada yang melihat, bukan mahromnya." Zura segera membuka pintu apartemennya sambil membawa masuk tas-tas dan buku-bukunya, lalu menutupnya kembali, meninggalkan Reno yang masih dengan wajah heran.

Kemudian Reno menyunggingkan senyum tipis. Menurutnya, perempuan ini sudah berubah 180 derajat dari yang dulu ia kenal. Dan kenapa dia mengganti nama panggilannya?

Tidak sampai 2 menit, Zura membuka pintu dan menyerahkan segelas air putih dingin kepada Reno. Reno mengambil gelas tersebut dan segera mendudukkan dirinya di lantai. Ia segera menenggak habis air putih tersebut.

"Cowok ini mengerti adab makan dan minum." Zura tersenyum dalam hati.

Reno segera bangkit dan menyerahkan gelas kembali pada Zura.

"Terima kasih untuk minumannya. Ehm, kamu ... tinggal sendiri disini?" Reno berusaha menyelidiki.

"Nggak, Zura tinggal berdua dengan Mas." jawab Zura sedikit ragu.

"Berdua dengan Mas?" tanya Reno kembali memastikan. Ia tampak berpikir sesaat. Mas ini ... kakaknya? Suaminya? Atau ... pacarnya? Masa iya cewek ini kumpul kebo? Astaghfirullah! Reno lalu cepat menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran su'udzhon-nya.

"Iya, Mas. Maksudnya tinggal berdua dengan kakak." Zura cepat menjawab takut Reno keburu berpikiran yang lain.

"Oooh ... kakak." Reno spontan tersenyum tanpa disadarinya. Entah kenapa ia merasa senang mendengar jawaban itu.

Zura yang melihat senyuman Reno itu juga menjadi ikut tersenyum.

"Namanya Mas Digo. Tapi sekarang Mas Digo sedang dinas ke Surabaya." Entah kenapa Zura merasa aman jika memberitahukan hal ini pada Reno.

Sedangkan Reno hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Mas Digo." Reno hafal betul dengan nama itu.

"Sampai kapan?" tanya Reno lagi.

"Katanya sih, lusa sudah pulang," jawab Zura sumringah.

"Oh ... kalau begitu kamu hati-hati, ya. Kalau ada orang asing yang mengetuk pintu jangan dibukakan." Reno menasehati Zura. Reno sendiri bingung mendapati dirinya berkata seperti itu kepada Zura. Karena biasanya dia tipe orang yang dingin dan tidak terlalu memperdulikan urusan orang lain.

"Iya, Mas Reno. Terima kasih untuk perhatiannya." Zura membalas menunduk menyembunyikan wajah senangnya. "Apa gue bilang barusan? Perhatian?" Zura berkata dalam hati. Ia terkejut kata tersebut bisa spontan meluncur dari bibirnya. Rasanya ingin mencubit mulutnya sendiri. Zura berharap semoga Reno tidak melihat gelagat aneh yang ditunjukkan mimiknya.

"Jadiii ..." Reno memutus kalimat.

"Ya, Mas?"

"Eh ... kamu ... hanya dua bersaudara?" Reno akhirnya memberanikan diri mengajukan pertanyaan untuk memastikan sesuatu hal yang muncul di pikirannya. Padahal sebelumnya ia ingin langsung pamit.

"Nggak Mas, kami tiga bersaudara. Saya juga punya kakak perempuan."

"Hmmm ... kakak perempuanmu nggak tinggal disini?" Reno masih ingin melanjutkan penyelidikan.

"Nggak, Mbak Vi sudah menikah. Jadi tinggal bersama suaminya."

"Vi? ....Violet! Oke, sudah fix!" Reno hanya berkata dalam hati.

"Oooh ... oh ya, sudah makin malam. Kamu juga perlu istirahat. Kalau begitu aku pamit dulu, ya. Assalamu'alaikum." Reno segera berlalu dari hadapan Zura.

"Wa'alaikumussalam, Mas Reno. Sekali lagi terima kasih." Selesai membalas salam, Zura pun segera membuka pintu apartemen dan masuk ke dalam.

Di balik pintu, Zura bersandar sambil memegang dada kirinya yang berdegup sangat kencang. "Ya Allah ... perasaan apa ini?"

Sementara Reno yang sedang menuruni tangga darurat menuju lantai 9, tak henti-hentinya tersenyum lebar. "Akhirnya ... ketemu juga." Dan pikirannya pun berkelana, otaknya mulai bekerja menyusun rencana.

***

Sesampainya di dalam apartemennya, Reno segera membuka laci meja kerjanya. Ia mengambil benda yang berada di tumpukan paling bawah.

Sebuah undangan pernikahan berwarna ungu. Undangan yang cukup dengan melihat amplopnya saja sudah menerbitkan rasa perih yang dalam di hatinya.

"Hmmm ... jadi benar kalian sudah menikah?" Wajahnya mencerminkan senyum dingin.

Sudah 2 tahun sejak kepulangannya ke Indonesia Reno mencari keberadaan sosok yang namanya terpampang jelas di atas kertas undangan.

Saat ini Reno merasa Sang Pemilik takdir sedang berada di pihaknya. Tidak ada yang namanya kebetulan, yang ada hanyalah takdir. Takdirlah yang menuntun Reno saat ini untuk dapat bertemu dengan wanita yang menjadi pujaannya sedari dulu.

Reno tidak mampu berpikir banyak. Lelah di tubuh mengalahkan segala emosi yang berkecamuk di dalam diri.

Ia segera melangkahkan kaki masuk ke kamar mandi. Setelah mendapatkan kesegaran di tubuhnya usai mandi, Reno segera menuju mushola. Apartemennya ini memiliki dua kamar, satu kamar ia gunakan untuk tidur, satu kamar lagi sengaja ia fungsikan sebagai mushola kecil.

Pesan dari ayahnya, dimanapun mereka tinggal, dalam setiap rumah harus ada satu ruangan yang memang khusus difungsikan sebagai ruang ibadah.

Walaupun ayahnya adalah seorang pria yang memiliki kesibukan luar biasa, namun bisa dibilang ayahnya ini ahli ibadah. Sholat di sepertiga malam, tilawah, puasa senin - kamis, ayyamul bidh selalu menjadi rutinitas ibadah sunnah ayahnya sehari-hari.

Berbeda dengan ibunya rahimahallah, ketika masih hidup. Ibunya selalu disibukkan dengan kegiatannya di dunia.

Sedangkan Reno? Dia berada di tengah-tengahnya. Yang fardhu pasti ia kerjakan, yang sunnah? Se-mood-nya saja.

Selesai melaksanakan sholat isya, Reno segera naik ke atas ranjang. Ia membaringkan diri telentang dengan kedua tangan di bawah kepalanya. Walaupun kantuk jelas menerpa, namun pikirannya masih menerawang jauh ke dalam ingatannya sekitar 8 tahun yang lalu.

"Violet Damara ... aku kangen."

***