Tahun 2016
Di sebuah restoran besar yang baru saja dibuka sebulan yang lalu, tampak dua gadis muda berusia 22 tahun duduk berhadapan di antara ramainya pengunjung restoran tersebut.
"Jadi, restoran ini punya sepupu lo, Sher?" Seorang gadis berparas manis dengan lesung pipi di kedua pipinya bertanya sambil merapikan kerudung birunya.
"Iya, Ra ... makanya gue ngajak lo makan disini. Kata sepupu gue, gratis ... tis ... tis buat sepupunya yang paling kece ini," jawab gadis bernama Sherin yang tidak kalah manis ini.
"Alhamdulillah, rejeki anak sholehah." Zura tersenyum senang. Memang benar ia merasa ini rejekinya, kebetulan sekali karena ia memang belum mendapat transfer-an dari kakaknya hari ini. Sepertinya uangnya hanya pas-pasan untuk membayar servis reparasi laptopnya yang rusak.
"Iya deh, sahabat gue yang anak sholehah! Tau nggak? Disini menu andalannya nasi goreng, lho. Menu western dan lokal lainnya juga ada sih dan enak-enak juga. Tapi entah kenapa sepupu gue itu paling suka sama nasi goreng." Sherin menjelaskan dengan detail sambil menunjuk-nunjuk ke arah buku menu yang sedang dipegangnya.
"Hmmm ... ya udah, kalo gitu gue pesan nasgor yang paling enak deh." Zura langsung memberi kode dengan tangannya kepada pelayan yang ada di seberang mejanya agar segera mencatat pesanan mereka.
Selesai mencatat, sang pelayan langsung pamit undur diri lalu meletakkan kertas pesanan di meja order yang terletak di depan open-kitchen.
Sambil menunggu pesanannya tiba, Zura mengedar pandangan ke sekitarnya. Ia mengamati eksterior dan interior ruangan restoran dengan pandangan kagum.
Dari mulai gapura gerbang masuk yang terkesan tradisional, tempat parkir yang luas, bangunan depannya yang khas rumah joglo, pintu masuknya yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran-ukiran khas Jawa Tengah, dinding batanya yang dipenuhi dengan lukisan-lukisan abstrak, pemandangan, dan gantungan pahatan kayu, namun kontras dengan furniture yang terkesan industrial. Posisi meja dan kursi makan ditata mengelilingi ruangan, sedangkan ditengah-tengah ruangan terletak mini-bar khusus untuk pengunjung yang hanya memesan minuman saja.
"Ra, mau nggak gue kenalin sama sepupu gue? Orangnya ganteng lhooo ..." Sherin mengedip-ngedipkan matanya seperti sedang kelilipan.
"Kalo mau kenalan sih, kenalan aja. Ngapain juga liat gantengnya?"
"Ya 'kan ganteng itu nilai plus." Sherin kembali mengedipkan-ngedipkan matanya. Zura jadi berpikir apakah sahabatnya ini mendadak sakit mata?
"Yeee ... kalo mau kenalan sama orang jangan liat fisik dong, Sherina Farhani. Nggak baik! Sama-sama makhluk ciptaan Allah, kan." Zura berpangku tangan di atas meja.
"Ya ampun, Ra! Malah gue diceramahin." Sherin menepuk dahinya.
"Bukan ceramah! Cuma ngasitau doang, keleus. Emangnya gue ustadzah?" Zura mencubit kedua pipi Sherin dengan gemas.
"Iya, iya! Kalo gitu bentar ya, gue panggilin dulu orangnya." Sherin melepas kedua tangan Zura yang masih menempel di pipinya lalu segera bangkit dari kursinya. Ia bergegas masuk menuju pintu ruangan yang terlihat ada di dalam dapur open-kitchen tersebut.
Tidak sampai 5 menit kemudian, Sherin keluar berjalan menuju meja yang ia dan Zura tempati. Wajahnya terlihat cemberut kecewa.
"Sorry, Ra! Sepupu gue lagi sibuk. Gue muncul di depan batang hidungnya aja dicuekin!" jelas Sherin dengan wajah kesal.
"Ooo ... ya nggak papa, Sher. Next time aja, mungkin emang lagi sibuk. Namanya juga owner. Udah ah, jangan bete-bete! 'Kan mau makan enak." Sekarang gantian Zura yang mengedip-ngedipkan matanya.
Sherin ikut tersenyum melihat Zura yang meniru aksi kedip matanya. Semoga mereka berdua benar tidak sakit mata.
Tak lama kemudian salah satu pelayan datang mengantarkan menu pesanan mereka, lengkap dari minuman, hidangan pembuka berupa fruit salad, main course berupa nasi goreng spesial dengan segala garnishnya yang ditata dengan apik, hingga hidangan penutup yang berupa panacotta dan souffles datang bergiliran.
Sang pelayan menjelaskan jika menu-menu tersebut pemberian spesial dari Bos mereka. Sherin berpikir mungkin ini tanda permintaan maaf dari sepupunya tersebut karena tidak mengacuhkannya tadi. Tidak sampai sejam, Sherin dan Zura melahap habis seluruh hidangan di hadapan mereka dan berakhir memasang senyum puas.
Setelah menghabiskan waktu makan malam dengan Sherin, Zura mengendarai mobil sedannya pulang ke arah apartemennya yang terletak di pinggiran Jakarta.
Di pertengahan jalan ia baru teringat untuk mengambil laptopnya yang sedang diperbaiki di tempat servis komputer. Siang tadi, sang teknisi mengabarinya via telepon bahwa laptopnya sudah berfungsi kembali.
Setelah mengambil laptopnya, ia bergegas pulang menuju apartemennya. Sesampainya di parkiran, Zura segera mengangkut semua bawaannya di mobil. Buku-buku, tas laptop, dan tas ransel yang ukurannya cukup besar. Ya, beban yang cukup berat untuk diangkut seorang Zura yang berbadan mungil. Zura adalah mahasiswi tingkat akhir jurusan Teknik Mesin. Saat ini ia sedang sibuk-sibuknya menyelesaikan tugas akhir untuk skripsinya.
Dengan bawaannya yang cukup merepotkan, ia bergegas berlari menuju lift karena dilihatnya pintu lift baru saja terbuka sebelum seorang pria melangkah masuk ke dalamnya.
Karena ia melihat pintu lift hampir menutup rapat, tiba-tiba refleks kakinya menghadang di tengah-tengah pintu.
"Tunggu! Tunggu!" serunya setengah berteriak.
Pria yang berada didalam lift tersebut segera menekan tombol panah buka. Lalu Zura segera masuk dengan membawa buku-buku di tangan kanannya, tas laptop di tangan kiri, dan ransel yang cukup besar di punggungnya.
Zura pun tersenyum pada pria tersebut sambil mengucap, "Terima kasih."
Sang pria pun membalas tersenyum. Pria itu adalah Reno.
------------------
Reno memperhatikan Zura yang baru saja memasuki lift. Pasti mahasiswi, tebaknya karena melihat bawaannya.
Sekilas Reno memperhatikan penampilannya yang mengenakan celana kulot berwarna khaki, kemeja biru tua yang ditutupi dengan jaket denim, dan kepalanya yang tertutupi oleh hijab biru muda. Zura terlihat manis di mata Reno. Apalagi ditambah dengan lesung pipi yang terlihat saat ia tersenyum pada Reno barusan. Reno segera mengusir pikiran aneh yang menyergap otaknya.
"Maaf, mau ke lantai berapa, Mbak?" tanya Reno untuk menawarkan bantuan, melihat kedua tangan Zura sudah direpotkan oleh bawaannya.
"Lantai 10, Mas. Makasih ya," jawab Zura sambil sekali lagi tersenyum manis. Senyumnya itu, terasa tidak asing di mata Reno. Seperti senyum yang telah lama dirindukannya.
Reno pun membalas senyumannya dengan anggukan.
Lalu keheningan terjadi di antara mereka berdua. Ya, saat ini hanya Reno dan Zura saja penghuni lift ini.
Grekkk! Tiba-tiba Reno merasakan sedikit goncangan sebelum akhirnya lift berhenti beroperasi. Stucked! Ya, mereka berdua terjebak di dalam lift ini.
Zura POV
Grekkk. Tiba-tiba lift terhenti di lantai 5. Ada apa ini? Sekarang aku mulai merasa cemas. Oh, nooo!!! Batinku berteriak. Tenang Zura, everything is gonna be okay! Aku berusaha menenangkan pikiranku yang mulai dirasuki rasa cemas. Bagaimana tidak? Hanya berduaan saja terjebak di dalam lift dengan seorang pria asing yang - well, ganteng sih. Ralat, ganteng banget! Garis rahangnya menonjolkan wajah kelaki-lakiannya, matanya hitam jernih terhias dengan alis yang tebal bak barisan ulat bulu dan bulu mata lentik nan hitam, hidung mancung, dagunya ditumbuhi dengan rambut-rambut halus yang membentuk hingga ke kanan-kiri cambangnya, belahan dagunya samar tertutupi oleh rambut-rambut halus itu. Sepertinya pria ini lupa bercukur hari ini. Astaghfirullah ... istighfar, Ra! Ingat, zina mata! Hush ... hush ... hush! Lagipula, tidak sepantasnya dalam situasi seperti ini aku memikirkan hal-hal semacam itu. Tapi kenapa rasanya sosok ini familiar ya?
"Ya Allah, bagaimana ini?" Kata-kata ini begitu saja tercetus dari mulutku.
Pria tersebut segera menoleh ke arahku. Sepertinya ia menangkap wajah cemasku. Buru-buru segera kutundukkan pandangan untuk menyembunyikan perasaan gelisahku ini.
Pria tersebut beberapa kali mencoba menekan tombol panah buka, tapi pintu lift tetap tertutup. Lalu ia mencoba menggedor-gedor pintu lift dengan tangan terkepal sambil berteriak, "Tolooong, liftnya mati! Tolooong!" Tapi tidak ada balasan dari luar.
"Tenang ya mbak, saya coba hubungi operatornya." Ia berusaha menenangkan diriku, tapi sepertinya ia lebih butuh untuk ditenangkan.
Pria tersebut segera menekan tombol bergambar bel yang ada di panel tombol di sebelah pintu. Lalu dari seberang sana ada sebuah suara yang menjawab. Pria tersebut menjelaskan situasi lift saat ini. Lalu aku mendengar suara di seberang sana meminta kami untuk bersabar dan menjelaskan agar kami tidak perlu panik karena bantuan akan segera datang.
Untungnya aku bukan seorang penderita klaustrofobia, batinku.
"Maaf, mbaknya bukan pengidap klaustrofobia kan?" tiba-tiba ia bertanya. Hah? Nih cowok punya ilmu batin ya? Ngawur! Cepat-cepat aku tepis pikiran tersebut.
Aku menggelengkan kepala sebagai jawaban.
***