Tahun 2014
Violet, seorang gadis berusia 18 tahun, tak henti-hentinya menangis sejak akad ijab kabul terucap oleh laki-laki yang kini telah menjadi imamnya itu.
Entah apa yang ada di pikirannya sehingga akhirnya ia menyetujui permintaan Papanya ini. Bahkan sampai beberapa hari yang lalu, Violet-lah yang memaksa suami-nya itu untuk segera menikahinya. Meskipun, laki-laki yang sebaya dengannya itu telah menolak permintaannya berkali-kali.
Violet memaksa bukan karena ia sangat mencintai pria muda itu, sama sekali tidak. Bahkan hingga detik ini, cintanya masih dengan setia berlabuh di dermaga hati laki-laki lain. Ia hanya ingin papanya yang telah meninggal seminggu yang lalu, dapat beristirahat dengan tenang. Karena kini Violet telah memenuhi wasiat orangtuanya itu.
Violet berteriak, menangis sekencang-kencangnya di dalam kamar tidur yang hanya berukuran 4 x 3 meter itu. Jauh lebih kecil daripada kamar yang biasa dihuni olehnya.
Violet menumpahkan semua rasa sakitnya. Hingga detik ini, ia masih belum ikhlas menerima semua tragedi yang terjadi padanya. Luka-luka itu terus-menerus menganga, bahkan semakin menganga. Violet tahu ia tidak boleh menyalahkan Yang Maha Kuasa atas kejadian yang sudah menimpanya, bahkan merubah hidupnya menjadi jungkir-balik ini.
Namun ia tak kuasa untuk terus-menerus mengeluh pada Sang Khalik. Batinnya tersiksa, fisiknya apalagi. Kini ia hanya manusia lumpuh yang harus mengandalkan kursi roda sebagai alat bantunya berjalan.
Fisiknya yang sudah tak sempurna ini, menjadi aib baginya. Bagaimana mungkin laki-laki yang sekarang berjarak ribuan kilometer darinya, yang pernah dijanjikannya kesetiaannya akan menerimanya dengan kondisi yang tak sempurna ini.
Terdengar suara ketukan pintu dari luar. Violet pun segera menghapus air mata yang telah membanjiri wajahnya itu. Dengan cepat, ia menggerakkan kursi roda ke arah meja rias. Lalu meraih kapas serta pembersih wajah yang ada, hendak berpura-pura jika riasannya luntur karena cleanser yang diusapkan ke wajahnya yang telah sembab itu.
"Masuk!" Violet menjawab suara ketukan itu setengah lirih. Sembari menjalankan sandiwaranya.
"Vi ... lo nggak apa-apa?" Suara seorang laki-laki yang perlahan memasuki kamar terdengar lembut memanggilnya.
"Enggak apa-apa. Lagi bersihin riasan kok. Kenapa?" Violet sibuk mengusap wajahnya dengan kapas tanpa sedikitpun menoleh ke arah laki-laki itu.
"Vi ... gue ...," kalimatnya tertahan.
"Eh iya, lo enggak laper? Gue laper nih, kita makan dulu yuk." Violet berkata dengan santainya. Menahan segala kesedihan yang sempat melandanya tadi.
"Vi, gue tahu lo sedih. Jangan ditahan! Gue suami lo sekarang! Lo bisa menjadikan gue tempat bersandar lo sekarang." Laki-laki itu menghampirinya, menarik kursi roda yang diduduki Violet untuk memutar ke arahnya, lalu berlutut di hadapannya.
"Tolong, jangan perlakukan gue dengan baik!" Violet memutar kembali kursi rodanya menghadap meja rias. Ia enggan menatap laki-laki yang sekarang sudah berstatus sebagai suaminya itu.
"Vi, tolong lihat gue! Gue suami lo sekarang."
Violet memejamkan matanya. Air mata yang tadi sudah terhenti kini kembali tumpah. Ia tak kuasa menahannya.
"Tolong, tolong jangan bersikap baik ke gue. Gue enggak pantes buat lo!" Kedua tangannya terkepal, berusaha menahan emosinya yang ingin meluap. Violet marah! Marah pada takdir hidupnya.
"Vi, jangan tanggung ini semua sendiri. Lo punya gue sekarang." Suaminya itu refleks memeluknya. Ia mencoba menyalurkan kekuatannya pada sang istri.
Violet yang tak siap pun terperangah. Dengan sekuat tenaga ia dorong tubuh suaminya hingga pria itu terjungkal ke lantai.
"Jangan bersikap sok baik ke gue! Mau lo apa sih? Mau sok bertanggung-jawab atas penderitaan gue? Kenapa lo harus baik ke gue? Kenapa?" Violet berteriak histeris.
Sang suami pun langsung bangkit dan kembali memeluknya. Ia tahu istrinya itu sedang memerlukan tempat bersandar. Sudah cukup banyak penderitaan yang dilalui olehnya, bahkan keluarganya.
"Lepas!" Violet berusaha mendorongnya menjauh. Namun kali ini suaminya itu tetap memeluknya. Tidak memperdulikan penolakan istrinya. Violet pun mulai lelah untuk melawan.
Violet menangis sekencang - kencangnya dalam dekapan suaminya. Kali ini ia tidak menolak. Tangannya justru balas memeluk laki-laki itu. Memang benar, batinnya tak kuat menanggung segalanya sendirian. Sedikit rasa syukur terselip di sudut hatinya karena adanya laki-laki ini di sampingnya.
"Maafin gue! Gue minta maaf. Seharusnya lo enggak terlibat lebih jauh dalam drama hidup gue. Sekarang gue malah merenggut kebebasan lo. Lo harus menikahi gue. Gue yang...gue yang seperti ini." Violet semakin mengencangkan pelukannya. Ia benar-benar merasa menyesal karena sudah berlaku buruk terhadap laki-laki yang sudah banyak menolongnya sejak kemalangan yang menimpanya.
"Ssst ... udah, Vi. Udah ... nggak usah dibahas lagi. Gue ikhlas dengan semua ini. Gue yakin ada hikmah di balik semua ini." Suaminya membelai rambutnya dengan lembut. Diciumnya dahi istrinya dengan lembut.
Violet terkesiap dengan tindakan suaminya itu. Ia segera melepas pelukannya. Ditatapnya suaminya itu dalam-dalam.
"Tolong ... jangan ... gue belum siap. Lo tahu 'kan, kita menikah karena keadaan. Lo juga tahu 'kan gue ..." Violet memutus kalimatnya.
"Iya Vi, gue tahu. Lo masih mencintai dia. Gue mau menunggu, Vi. Sampai hati lo siap untuk mencintai gue. Kita lakukan semua pelan-pelan, ya." Suaminya memandang kedua bola matanya lekat-lekat dengan lembut. Ia meraih kedua tangan Violet untuk digenggamnya.
Violet tiba-tiba tertawa kecil. Ia menertawakan sesuatu yang terpintas di pikirannya. "Takdir itu lucu ya?"
"Kenapa?" tanya pria itu dengan mengernyit dahi.
"Elo, yang selalu ribut sama gue. Elo, yang suka bikin gue kesel. Elo, yang suka ngusilin gue. Enggak pernah terlintas di pikiran gue bakal berjodoh sama lo." Violet mencubit kecil lengan suaminya.
"Makanya ... baik-baik sama gue. Yang namanya jodoh enggak ada yang tahu, kan. Lagian, gue enggak kalah gantengnya kok sama yang nun jauh disana." Laki-laki itu berkelakar. Yang mengakibatkan mendapat cubitan maut dari istrinya. Ia pun meringis kesakitan.
"Mulai deh! Jangan menabuh genderang perang di awal pernikahan ya!" Violet menghadiahi suaminya itu dengan cubitan-cubitan lainnya.
"Aduh ... aduh, duh Vi! Iyaaa, ampun! Baru juga nikah, udah KDRT aja." Laki-laki itu memundurkan diri untuk menghindari serangan istrinya itu.
"Ya makanyaaa ... jangan mulai!" Violet menyeringai tawa.
"Iya, iya! Naaah, gitu dong ketawa. Jadi manten itu harus banyak senyum, ketawa biar keliatan cantiknya."
"Oooh, jadi kalo gue enggak ketawa berarti enggak cantik, gitu?"
"Yassalam! Salah lagi! Kamu 'tuh selalu cantik, Vi. Kalau enggak, masa aku mau."
"Oooh ... sekarang ngomongnya pake 'aku—kamu'. Bukan modus 'kan?" Violet memicingkan matanya.
"Enggak romantis kalo suami istri ngomong pake 'gue—elo'. Kesannya gimanaaa gitu."
"Kesannya gitu gimana?"
"Gimana yaaa ... kayak misalnya kalau lagi ngomong, 'buka dong bajumu'. 'Kan, lebih terdengar mesra, tuh. Daripada omongan 'buka dong baju lo'."
"Iiihhhh ... kok pake contoh mesum gitu siiih? Mau kena serangan cubitan ninja lagi nih?" Violet menggerakkan kursi rodanya itu mengejar suaminya yang berusaha mengelak dari serangannya itu.
"Ampuuun, Viii! Udah dooong! Entar badanku biru-biru kayak Hulk."
"Hulk itu ijo, bukan biru!" Violet masih berusaha menangkap suaminya itu. Namun yang tak disangkanya, justru suaminya itu yang menangkapnya dari arah belakang. Ia pun memutar kursi roda istrinya untuk menghadapnya.
"Kamu lupa? Aku buta warna."
"Eh ... i—iya, maaf. Enggak bermaksud ... iya, aku lupa. Maaf, ya." Violet menundukkan wajahnya yang terlihat menyesal. Ia memang lupa dengan kekurangan suaminya yang satu itu.
"Enggak apa-apa, Sayang. Semua manusia tercipta lengkap dengan kekurangan dan kelebihannya. Dan aku, mencintai semua kelebihan dan kekuranganmu." Suaminya itu menatap Violet dengan lembut.
"E—eh, ... maksudmu?" Entah kenapa tiba-tiba jantung Violet terasa berdetak kencang. Fenomena aneh yang pertama kali dialaminya saat bertatapan dengan laki-laki ini. Padahal sebelum-sebelumnya, ia tidak pernah merasa seperti ini jika berdekatan dengan sosok itu.
"Vi, sebenarnya ... aku, aku sudah lama mencintai kamu. Tapi, aku hanya berani mencintai kamu dalam diam. Aku merasa tidak mampu bersaing dengan ..." Suaminya menghentikan kalimatnya.
Violet pun kaget mendengar pernyataan suaminya itu. Ia sendiri tak pernah menyangka kalau laki-laki itu ternyata benar mencintainya.
"Aku bersikap baik bukan karena aku merasa simpati atau kasihan sama kamu, Vi. Tapi, karena aku benar-benar sayang sama kamu. Aku benar-benar enggak kuat melihat kamu hancur pasca kejadian itu."
"Tapi ... a—aku ..."
"Sssttt ... iya, aku tahu, Vi. Kamu belum bisa mencintai aku. Makanya tadi aku bilang, kita lakukan semuanya pelan-pelan. Aku bersedia menunggu, sampai hatimu siap menerima cintaku." Ia menggenggam kedua tangan Violet erat.
"Tapi ... kamu lihat 'kan, sekarang aku ..." Violet berkata lemah sembari melihat kursi roda yang sedang didudukinya.
"Vi, bagaimanapun keadaan kamu, aku tetap sayang sama kamu. Aku tetap cinta sama kamu, Vi." Ia mengecup kedua tangan Violet dengan lembut.
Violet meneteskan bulir air matanya. Namun kini yang jatuh bukan air mata kesedihan, melainkan air mata kebahagiaan. Kini ia merasa beruntung karena telah menikahi laki-laki itu.
Memang benar ternyata, Allah Yang Maha Membolak-balik hati hamba-Nya. Ia yang tadinya sempat membenci laki-laki itu, kini telah berstatus menjadi istrinya. Violet berjanji dalam hatinya, ia akan belajar mencintai pria itu. Bagaimanapun juga, ia adalah jodoh pilihan Allah yang terbaik untuknya. Violet pun berjanji untuk segera menghapus nama laki-laki lain yang telah terpatri begitu dalam di hatinya. Dalam hatinya berdo'a, semoga laki-laki yang terpisah jarak ribuan kilometer darinya itu akan mendapat jodoh yang jauh lebih baik darinya.
Dan Violet pun mulai belajar untuk menerima takdir apapun yang telah dituliskan untuknya. Dan kini perlahan, ia akan mulai menggores tinta untuk mengukir nama suaminya di hatinya.
****