Cinta, anugerah terindah yang Allah berikan bagi setiap hamba-Nya. Cinta kepada sesama, cinta kepada makhluk hidup lainnya, dan cinta pada Sang-Pencipta. Cinta-lah yang menjadi alasan setiap manusia mendamba pasangan hidup. Seperti yang tengah dirasakan oleh seorang pria bernama Kananta Moreno, pemuda berusia 25 tahun. Ia yang sedang mencintai salah satu ciptaan-Nya, ia yang sedang mendamba lawan jenisnya itu untuk menerima cintanya. Ia yang sedang mengharap takdir yang tersurat di lauh mahfuzh untuk menuliskan nama wanita itu sebagai jodohnya.
Tahun 2017
Reno, begitu panggilannya, duduk di sebuah kafe yang berada di lantai satu gedung apartemen tempat tinggalnya.
Sepulang kerja, ia memutuskan mampir di kafe ini, tempat yang mengingatkannya pada pertemuan ketiganya dengan Sang Biru, yang diharapkannya sebagai pelabuhan terakhir cintanya.
Gadis yang sangat menjengkelkan baginya di masa lalu, namun menjadi wanita yang sangat dicintainya di masa kini.
Ia menyesap habis kopi Americano di hadapannya sambil menghela napasnya sesaat.
Matanya menyusuri pemandangan kolam renang di hadapannya. Airnya tenang, setenang hidupnya saat ini, tanpa riak gelombang yang mampu menggerakkan sel-sel kehidupannya.
Ingatannya kembali menerawang kepada Sang Biru, yang diam-diam telah menjadi penghuni hatinya sejak dulu. Ya, ia menyebutnya Sang Biru.
Wanita itu...ia yakin yang telah ditakdirkan Sang Maha Pemilik Takdir untuknya. Saat itu hatinya sempat tertutupi oleh sang kegelapan yang meruangi, namun kehadiran Sang Biru perlahan menerangi batinnya, mengusir kabut-kabut gelap yang telah lama menghuni.
Andai saja ia dapat memutar waktu...namun ia bukan seorang time-traveller dalam cerita fiksi yang ada di film-film.
Reno masih mengingat dengan jelas kata-kata terakhir yang diucap oleh Sang Biru. Untuk membiarkan takdir Allah bekerja. Menunggu hingga sang takdir mempertemukan mereka kembali.
Namun, Reno merasa sang takdir tidak berpihak kepadanya. Sudah lewat enam bulan dari masa percakapan terakhir mereka di telepon saat itu. Hingga detik ini pun Reno belum mengetahui keberadaan wanita itu.
Pandangan Reno mengitari ruangan, ia baru tersadar bahwa ia seorang saat ini pengunjung kafe tersebut.
Seorang pelayan wanita yang sudah berganti dari seragam kerja berjalan menghampirinya.
"Mas, maaf sebenarnya kafe sudah tutup sejak sejam yang lalu. Mas sedang menunggu seseorang?" Suara sang pelayan kafe menyadarkannya dari lamunan.
Segera ia melirik ke arah jam tangannya. Jam digital-nya menunjukkan angka 22.05.
Reno sudah menghabiskan 2 jam waktunya hanya untuk duduk termenung merutuki nasibnya.
Ia segera bangkit beranjak dari kursinya dan memohon maaf pada sang pelayan karena telah menghambat jam pulang kerjanya.
Segera dilangkahkannya kaki masuk menuju lift yang terletak tidak jauh dari kafe tersebut, menekan tombol 9, lantai tempat apartemennya berada.
Keberadaannnya yang hanya seorang diri di dalam lift, merangsang ingatannya untuk mengenang kembali peristiwa setahun yang lalu. Pertemuan pertamanya dengan Sang Biru.
*Flashback on
Reno segera turun dari mobil setelah 10 menit berputar-putar mencari tempat untuk parkir mobilnya di basement apartemen.
Dengan langkah malas Reno berjalan, karena terlalu lelah dengan perjalanan pulang menembus macet dari restorannya menuju apartemennya. Ia melepas ikatan dasi di kerah kemeja ungunya lalu melipat asal dan mengantonginya di saku kemeja.
Ia segera menuju ke lift yang berada di sebelah kantor security apartemen. Reno masuk ke dalamnya dan segera menekan tombol panah tutup, saat pintu lift akan tertutup tiba-tiba kaki seorang perempuan menghadang di tengah-tengah pintunya.
"Tunggu...tunggu!" Ia setengah berteriak.
Reno pun segera menekan tombol panah buka. Lalu perempuan berkerudung biru muda tersebut segera masuk dengan membawa buku-buku di tangan kanannya, tas laptop di tangan kiri, dan ransel yang cukup besar di punggungnya.
Perempuan muda tersebut tersenyum pada Reno lalu mengucap, "terima kasih."
Senyum itu...senyum Sang Biru.
*Flashback off
Reno kembali tersadar saat pintu lift terbuka di lantai 9. Namun ia mengurungkan niatnya. Ditekannya kembali tombol panah tutup, lalu menekan angka 10.
Hatinya sedang penasaran. Sekali lagi ia ingin mencoba peruntungan, menuruti kata hatinya yang sedari tadi mendesak kakinya untuk melangkah kesana.
Setibanya di lantai 10, ia melangkahkan kakinya menuju apartemen bernomor 1006. Cukup lama ia berdiri mematung di depan pintu tersebut hanya untuk berkutat dengan dirinya sendiri.
Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menekan bel yang berada di kanan atas pintu tersebut. Semenit...2 menit...3 menit ia menunggu tapi pintu tak kunjung terbuka. Ia mencoba peruntungan sekali lagi, menekan bel sekali...2 kali lagi, tapi pintu tetap tidak terbuka.
Reno mengacak rambutnya gusar, entah pikiran bodoh apa yang membawanya kesini. Hampir setiap hari ia melakukan hal yang sama selama seminggu ini, mencoba peruntungan berkunjung ke kamar 1006, tapi hasilnya tetap nihil. Ia merindukan sang Biru.
Ia menyadari kebodohannya selama ini. Dulu ia terpaku pada masa lalu. Lalu telat menyadari perasaan sendiri. Membiarkan wanita lain menjajahnya. Hingga membiarkan wanita yang dicintainya menghadapi kesakitan sendirian.
Terlalu sering Sang Biru tersakiti. Penyesalan ini begitu menyesakkan dadanya. Ia harus melakukan sesuatu. Ia berjanji tidak akan mengulangi kesalahan di masa lalu.
Ia ingin bertemu dengan Sang Biru.
-----
Tahun 2007
"Kanantaaa!" Dari kejauhan seorang gadis berumur 15 tahun setengah berteriak sembari berlari kecil menghampiri teman lawan jenisnya yang sedang asyik membaca buku di bawah pohon beringin pinggir lapangan sekolah.
Ia membawa sesuatu di tangannya.
"Jangan lari-lari!" Remaja tanggung yang dipanggil Kananta itu menasehati.
"Sekalian jogging! Nih aku bawain makanan spesial!" Gadis itu menyodorkan kotak bekal yang dibawanya.
Anak lelaki yang dipanggil Kananta itu segera menutup buku bacaannya dan menerima benda tersebut.
"Jogging tuh pagi-pagi! Apaan nih?" Kananta bertanya sembari membuka kotak tersebut.
"Roti isi a.k.a sandwich!" Sang gadis tersenyum ceria, seperti baru saja memenangkan hadiah utama dalam suatu perlombaan.
Kananta terdiam sejenak memandangi roti isi tersebut sebelum lanjut bicara. Lalu bahunya bergidik, teringat kejadian beberapa waktu lalu.
"Bikinnya nggak pake racun tikus kan?" Kananta memicingkan matanya curiga.
"Yeee...masih diingat aja sih yang kemarin itu. Maaf, Nta! Aku juga nggak tau kenapa kamu bisa sampai diare makan burger buatanku itu." Wajahnya menunduk menunjukkan penyesalan.
Kananta memang harus waspada kalau berurusan dengan makanan yang dibuat oleh sang gadis.
Pasalnya, empat hari yang lalu gadis itu memang membawakan bekal untuk Kananta. Kala itu makanan yang dibawanya adalah cheese - burger. Roti bundar yang berisikan potongan daging bulat dengan taburan bawang bombay, selada, timun, tomat, saus, dan lembaran keju yang setengah melted. Sedaaap! Siapa yang tak tergiur disuguhkan junk-food lezat itu.
Namun setelah menyantap roti isi bundar tersebut, tiba-tiba perut Kananta terasa tidak beres, melilit-lilit, hingga akhirnya diare. Terpaksa ia izin pulang lebih awal dari sekolah meski jam pelajaran belum usai.
Kini khawatirnya kembali menerpa, terpikir kembali dijadikan kelinci percobaan oleh gadis yang sedang dekat dengannya itu.
"Beneran deh, makanan yang ini dijamin nggak bakalan bikin mules. Palingan kram mulut!." Sang gadis tersenyum usil. Ia menaik-turunkan alisnya.
"Hah?? Kram mulut?" Mata Kananta membelalak lebar. Wajahnya menyeringai ngeri. Sudahlah kemarin itu dirinya dibuat diare dua hari dua malam, sekarang ditambah dengan kram mulut???
"Iyaaa...kram mulut, Nta! Karena saking enaknya, kamu bakal senyam-senyum terus. Pasti minta nambah!" Ia menarik sudut-sudut mulutnya hingga membentuk senyuman lebar.
"Ya ampun...kirain karena pake formalin! Yakin nih beneran aman?" Kananta mendengus sambil memperhatikan roti yang berisikan potongan tomat, irisan bombay, selada, mayonaise dan ayam suir yang telah dibumbui semacam saus barbeque itu.
"Kamu tega iiih! Yang dibilang segala pake racun tikuslah, formalinlah. Sekalian aja sianida!" Sang gadis memberengutkan wajahnya, ia berpaling dari Kananta.
Kananta kembali bergidik ngeri.
"Kamu mau bikin aku mati?"
"Ya enggaklah! Kalau kamu mati, aku nggak punya gebetan dong!." Spontan sang gadis menutup mulutnya. Ini keceplosan apa pengakuan? Wajahnya merona semerah kepiting rebus, malu sangat. Namun batinnya berharap semoga Kananta tidak terlalu memperdulikan perkataannya tadi.
Kananta hanya mencoba menahan senyum, terlalu senang melihat gadis ini merona karena malu.
"Ehm... Ya deh. Aku coba ya! Semoga aman!" Kananta pun mendekatkan roti itu ke mulutnya
"Jangan lupa bismillah." Sang gadis mengingatkan.
"Kurang afdhol kalo bismillah doang, sekalian baca do'a mau makan." Kananta mencibirnya.
"Allahumma baarik llanaa fiima rozaqtanaa waqinaa adzaa bannaar. Bismillah." Ia segera menggigit roti isi tersebut, menyesap sensasi rasanya sesaat di mulut sebelum mengucap, "Enak!"
"Beneran enak? Kamu suka?" Gadis itu melebarkan matanya, kedua alisnya terangkat.
"Suka, dong! Serius, enak banget!"
Kananta masih sibuk melanjutkan aktivitas mengunyahnya.
Sang gadis menyunggingkan senyum termanisnya pada Kananta. Tak sia-sia usahanya merayu adiknya untuk membuatkan roti isi itu untuknya. Meskipun ada sedikit rasa bersalah terselip di dalam hatinya karena telah membohongi Kananta.
Tapi gadis itu tetap tersenyum, sembari menekan rasa bersalah di dalam hatinya.
Dan senyum itu, adalah senyum Sang Ungu.
****
Tahun 2017
Reno baru saja memasuki gedung apartemennya. Ia melajukan mobilnya menukik ke arah basement. Untungnya tidak memerlukan waktu yang lama seperti biasanya untuk mencari tempat parkir.
Siang ini ia baru saja mendapatkan kabar yang menggembirakan. Ia harus cepat-cepat mengurus segala sesuatunya.
Reno melangkah keluar dari mobil lalu berlari memasuki gedung.
Sesampainya di apartemennya yang bernomor 0927, Reno langsung bergegas melangkah masuk menuju kamarnya, menarik sebuah koper yang tersimpan di sudut kamarnya, diikuti dengan membuka pintu lemari pakaiannya.
Ia mengemas beberapa pakaiannya ke dalam koper. Saat sedang sibuk berkemas, Reno teringat akan suatu benda yang selama ini tersimpan rapat di dalam lemarinya. Benda yang seharusnya ia singkirkan sejak lama.
Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil beledu berwarna ungu dari dalam laci lemarinya. Reno membuka kotak tersebut dan mengeluarkan isinya, yaitu cincin emas putih bertahtakan safir ungu.
Cincin yang seharusnya diberikan pada calon pemiliknya 3 tahun yang lalu. Namun apa daya...kini sudah ada cincin bermata lainnya yang melingkar di jari manis sang calon pemilik.
Ikhlas! Hatinya kini sudah mengikhlaskan segala takdir yang telah ditetapkan oleh Allahu Al-Muqtadir. Ia harus menyingkirkan benda itu sekaligus menghapus nama calon pemiliknya yang telah terpatri sejak lama, dari dalam hati dan pikirannya.
Ia menggenggam erat cincin tersebut sambil memejamkan kedua netranya, melepaskan napas berat, sebelum akhirnya berucap lirih, "selamat tinggal, Ungu-ku..."
Reno berjalan keluar dari apartemen dengan menjinjing kopernya. Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya, jari-jari tangannya menutul layar ponselnya, mencari sebuah nomor untuk dihubungi. Ia menunggu hingga panggilan tersambung.
"Ya, Ren?"
"Rei, tolong pesankan tiket pesawat ke Bali untuk hari ini."
***