Angin bertiup sepoi-sepoi seiring dengan mulai tenggelamnya matahari. Aku dan Ayudiah baru saja pulang dari sekolah. Selama perjalanan kami saling bercerita tentang apa saja yang terlintas dipikiran kami. Mulai dari guru yang mengeluarkan kami dari kelas, pak Gatot. Sampai bercerita akan kejadian-kejadian yang baru saja terjadi di kota kecil ini.
Beberapa berita yang membuatku tertarik seperti beberapa hari yang lalu ditemukan seekor anjing liar yang mati dengan belasan tusukan. Lokasi kematian tidak jauh dari lapangan tempat pertama kali aku bertemu dengan Ayudiah. Mungkin anjing itu membuat kesal seseorang sehingga dibunuh, tapi aku merasa hal itu sedikit kejam mengingat anjing itu mati dengan belasan tusukan. Sungguh pembunuhan yang cukup kejam meski untuk seekor binatang."
"Kejam juga pembunuhnya."
Meskipun pernh ada anjing yang menyerang Ayudiah. tapi membunuhnya seperti itu... cukup kejam menurutku.
Ayudiah dengan senyuman kecil membalas komentarku. Dia kelihatan sedikit gugup ketika aku membicarakan tentang anjing liar itu.
"Yah. Lumayan kejam..."
Kamipun terdiam beberapa saat karena tidak menemukan topik apa lagi yang hendak dibicarakan, sedangkan perjalanan menuju rumah masih cukup jauh. Aku sudah tidak naik angkot,
selain untuk menabung untuk membeli pistol mainan yang sempat di sita oleh orang tuaku.
Ayudiah mengajakku untuk pulang bersama sambil jalan kaki. Ketika kusarankan untuk pulang bersama dengan naik angkot saja, dia terdiam dan terlihat sedikit ragu-ragu. Instingku sebagai seorang Gentleman cilik berkata bahwa aku harus mengikuti keinginan seorang lady. Hal ini kupelajari ketika menonton sebuah film barat yang menurutku keren.
Sayangnya ternyata menjadi Gentleman itu enak di cewek, capek di cowok.
Jujur saja. Sebenarnya aku tidak pernah berjalan berdua dengan perempuan sebayaku... mungkin pernah, tapi tidak pernah berduaan seperti ini. Selama perjalanan pulang kami hanya diam saja, namun sesekali Ayudiah melirikku. Jika lirikannya ketahuan olehku, ia langsung membuang muka kedepan seakan tidak terjadi apa-apa.
Ini kali ketiganya kami berjalan bersama. Pertama waktu aku menggendongnya, kedua waktu aku mengantarnya kerumah dan yang ketiga adalah sekarang ini.
Kamipun terus melanjutkan perjalanan menuju rumah, namun tidak mendapatkan satupun topik yang dapat kubicarakan untuk mengisi suasana yang sunyi bersamanya. Hingga sampailah kami di rumah Ayudiah.
Aku melihat sebuah mobil sedan butut yang terparkir dan sambil berpikir kalau sepertinya Ayudiah mempunyai tamu, kemungkinan tamu orang tua Ayudiah. Aku pun melambaikan tangan untuk berpisah padanya.
"Tunggu!"
Aku berbalik dan melihat Ayudiah menatapku. Dia terlihat sedikit kebingungan dan hendak mengatakan sesuatu
tapi masih ragu-ragu, mulutnya sedikit bergetar seakan hendak mengeluarkan suara namun tidak ada suara yang keluar. Aku hanya terdiam menunggu mulutnya mengeluarkan suara.
"Sampai jumpa besok."
Kata itulah yang keluar dari mulutnya. Sedikit aneh, perasaanku berkata bahwa bukan itu yang hendak ia katakan.
Tapi ya sudahlah. Mungkin saja aku yang terlalu banyak pikiran. Akupun tersenyum sambil sekali lagi melambaikan tangan kepadanya kemudian berjalan menuju rumah.
Namun baru beberapa langkah.
"Rizki Armawan!"
Aku kembali dipanggil. Tapi kali ini bukan suara Ayudiah. Sedikit berat seperti suara laki-laki. Ketika aku berbalik aku melihat sesosok tubuh besar, kekar dan botak mulus. Pemilik suara itu adalah pak Gatot yang memanggilku dari pintu rumah Ayudiah.
"Jadi, tamu Ayudiah adalah pak Gatot. Apa yang pak Gatot lakukan di rumah Ayudiah?"
Aku bergumam dalam hati. Kulihat tangan pak Gatot melambai memanggilku untuk ikut masuk ke rumah Ayudiah.
Ayudiah sendiri terlihat bingung dengan kehadiran pak Gatot di rumahnya. Apakah Ayudiah melakukan suatu kesalahan sehingga pak Gatot datang kerumahnya? Atau justru ada urusan lain? Dan kenapa aku juga dipanggil pak Gatot.
Meskipun banyak pertanyaan berkecamuk di kepalaku. Aku tetap berjalan mengikuti pak Gatot masuk kedalam rumah Ayudiah.
Sesampainya di dalam. Ayudiah yang mengikuti Pak Gatot dari belakang sedikit melambatkan langkahnya sampai sejajar dengan langkahku.
"Kiki, ada apa sampai kau juga ikut-ikutan dipanggil Pak Gatot?"
"Aku juga tidak tahu, aku kan hanya sekedar ikut karena dipanggil."
Ayudiah pun memasang wajah kebingungan. Akupun tak kalah bingung. Sesampainya di ruang tamu. pak Gatot berhenti.
"Duduk!"
Kami berdua duduk di sofa. Pak Gatot sudah duduk duluan tanpa dipersilahkan.
"Ayudiah, dimana Orang tuamu?"
Ayudiah diam tak menjawab.
"Kau tuli Ayudiah? Dimana orang tuamu?!"
Kulihat bulir-bulir keringat muncul di sekitar tengkuknya. Dia kelihatan gelisah ketika pak Gatot menanyainya. Tangannya sibuk memainkan isi tasnya yang memang sengaja di letakkan di pangkuannya.
"Um, Pak. Kenapa aku di panggil kesini?"
Aku berusaha mengalihkan pembicaraan, aku agak kasihan melihat Ayudiah sampai gelisah begitu. Ayah dan Ibunya sedang sakit dan kurasa tidak mungkin bisa menemui pak Gatot di ruang tamu.
Kulihat pintu rumah Ayudiah sepertinya habis dibuka paksa. Terlihat dari bekas congkelan di pintu. Tapi pikiranku masih berpikir positif. Mungkin saja pak Gatot melihat pintu rumah ini rusak atau mengira ada maling yang masuk kedalam rumah. Dan mungkin juga ia memanggilku untuk membawa Ayudiah ke rumahku karena keadaan rumah yang tidak aman. Tapi tunggu dulu. Kalau seandainya ada maling yang masuk... apa yang terjadi dengan orang tua Ayudiah?
"Aku hanya ingin kau menemani anak ini."
Apa maksudnya menemani Ayudiah?
"Maksud bapak?"
Akupun kembali bertanya pada Pak Gatot.
"Maksudku kalau cuma satu itu kurang puas."
Sekali lagi Pak Gatot berbicara dengan kalimat yang aku tidak mengerti maksudnya.
"Hah?"
Aku tidak mengerti maksudnya dari ucapannya Pak Gatot. Aku mulai takut akan tingkah Pak Gatot. Senyumnya sungguh menakutkan. Sementara itu Ayudiah semakin sibuk mempreteli isi tasnya seraya menatap Pak Gatot dengan tatapan yang serius. Ini pertama kalinya Ayudiah memperlihatkan wajah seperti itu dan aku tidak tahu harus berbuat apa untuk mencairkan suasana yang makin mencekam ini.
Pak Gatot memandangku beserta senyumnya yang membuat bulu kudukku berdiri. Sementara itu Ayudiah sudah berhenti mempreteli tasnya.
"... mm, Pak sebenarnya-"
Kata-kataku langsung tertelan. Di tangan pak Gatot terdapan sebuah pisau besar. Pisau yang sering aku lihat di TV, Pisau yang sering digunakan tentara. Pisau yang belakang mata pisaunya bergerigi. aku merasa lemas karena ketakutanku.
"Kenapa Pak Gatot mengeluarkan pisau?"
Aku hanya dapat berbicara dalam hati. Mulutku tak dapat mengeluarkan kata-kata meskipun mulutku terbuka lebar.
Seketika tangan Pak Gatot bergerak cepat membawa pisau itu meluncur menuju dadaku. Aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku hanya terdiam di tempat menunggu pisau itu menembus dadaku dalam waktu sepersekian detik.
'PTAK. JLEB'
Pisau itu sukses menembus... tapi bukan dadaku.
Aku yang terdiam melihat Ayudiah memukul pergelangan tangan Pak Gatot menggunakan mistar besi kecil miliknya dengan menggunakan kedua tangannya sehingga sasaran pak Gatot meleset. Pisau itu tidak menembus dadaku melainkan sofa yang kududuki. Tepat diantara kedua pahaku. Seandainya pukulan Ayudiah tidak begitu kuat. Aku pasti tetap kena tusuk .. di posisi yang amat kutakutkan.
Hatiku semakin Ciut. Tiba-tiba saja aku merasa kepanasan. Keringatku mengalir deras. Jantungku berdegub sangat cepat.
"Kiki lari!"
Aku berusaha merespon perintah Ayudiah, tapi kakiku tidak mau bergerak. Kulihat Ayudiah setelah memukul pergelangan tangan Pak Gatot yang masih memegang tangannya yang kesakitan dengan penggaris besi langsung menghantam kepala Pak Gatot dengan penggaris besi itu lagi. Pak Gatot mengerang kesakitan sambil kemudian memegang kepalanya sambil menyumpah dan memaki-maki.
"ARRRGH! DASAR BOCAH JALANG!"
Bekas pukulan Ayudiah membuat darah mengucur dari kepala Pak Gatot. Meskipun lukanya tidak begitu dalam tapi luka itu mampu membuat Pak Gatot terhenti beberapa saat sambil mengerang kesakitan.
"Kiki, sebelah sini!"
Ayudiah meraih tanganku dan menyeretku untuk mengikutinya, menjauhi Pak Gatot yang masih kesakitan.
Ayudiah terus berlari sambil menyeret tanganku menuju ruang dapur.
Dengan sigap ia mengambil pisau yang memiliki sedikit noda darah kering. Ayudiah kemudian memberikanku penggaris besi yang terdapat sedikit darah yang masih basah bekas luka kepala pak Gatot. Akupun menerimanya tanpa berkomentar.
Yang penting sekarang kita harus mencari tempat yang aman. Pintu depan tidak mungkin dilewati karena kemungkinan pak Gatot masih ada di situ. Sedangkan pintu belakang telah di halangi dengan berbagai perabotan berat yang tidak mungkin bagi kami yang hanya bocah mengangkatnya. Bahkan kulkaspun telah tiada di dapur karena menjadi penghalang di pintu belakang.
Ayudiah menarikku menuju suatu kamar diantara 2 kamar yang ada. Dia menyeretku masuk ke kamar dimana ia memperkenalkan orang tuanya padaku.
'Ceklek... Blam'.
Pintu langsung dibuka kemudian ditutup keras oleh Ayudiah karena keterburu-buruannya. Aku segera melepaskan diriku dari genggaman Ayudiah kemudian berinisiatif mendorong lemari kecil yang kebetulan berada di samping pintu walaupun besar lemari itu hampir setinggi dengan tinggi badanku. Ayudiah yang langsung mengerti tindakanku langsung membantuku mendorong lemari itu. Tak lama berselang setelah kami menghalangi pintu itu dengan lemari tersebut
BAM... BAM...
Pintu mulai di dobrak dari luar. Pak Gatot pasti sudah pulih dari rasa sakitnya dan mulai mengejar kami. Kali ini dia pasti telah berada hendak mendobrak kamar ini. Kami berdua hanya bisa pasrah di dalam kamar tersebut. Ayudiah bersiap-siap dengan posisi kuda-kudanya sedangkan aku hanya berdiri terdiam seraya mematung. Setiap pintu didobrak dari luar aku terus-terusan kaget.
Akhirnya Pak Gatot berhenti mendobrak pintu kamar. Aku bernafas lega walaupun aku baru saja mengencingi diriku sendiri. Jujur aku malu, tapi aku begitu ketakutan sehingga tak dapat mengendalikan diriku. Sedangkan Ayu terlihat sedikit lebih tenang daripada diriku meskipun dia sendiri terlihat gemetaran.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Pak Gatot menyerang kita? Pak Gatot hampir saja membunuhku. Apakah aku akan mati disini?"
Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku. Aku begitu terguncang. Air mataku mulai mengalir. Masa bodoh dengan pesan ayah yang mengatakan bahwa anak lelaki tidak boleh menangis dan harus tangguh. Aku benar-benar ketakutan karena peristiwa ini.
"Aku sangat takut. Sangat sangat takut."
Aku tak bisa mengontrol diriku, aku tak dapat berpikir jernih. Aku terus-terusan mengeluarkan kata-kata yang menandakan ketakutanku. Akupun mulai menangis keras. Ketakutan menguasaiku. Aku mengeluarkan segala ekspresi ketakutanku lewat tangisan ini. Tapi semakin aku mengeluarkan tangisan ini semakin terbayang ketakutanku.
Gambaran akan kematianku yang ditusuk dengan pisau. Atau mungkin akan dipotong-potong. Aku tak dapat berpikir jernih. Kacau. Pikiranku sangat kacau.
"HUAAAAAH... AYAH.... IBU.... AKU TAKUT!!"
Aku benar-benar tidak dapat mengendalikan diriku. Aku kehilangan kemampuan untuk mengendalikan diriku. Aku menjadi lelaki yang yang cengeng. Aku bahkan membasahi celanaku karena saking ketakutannya.
Dalam tangisanku aku merasakan pelukan tangan kecil. Membungkus diriku yang ketakutan. Pelukan yang basah karena air mata. Ayudiah memelukku sambil ikut-ikutan menangis. Ayudiah yang terlihat kuat dan tenang mulai ikutan menangis, tapi dia tidak menangis karena ketakutan. Dia menangis karena melihatku yang menangis dan ketakutan. Aku hanya dapat menatapnya dengan mata penuh air mata dan ingus yang keluar dari hidungku.
"Jangan menangis, Kiki. Kau adalah adalah anak lelaki yang kuat."
Ayudiah membelai rambutku
"Jangan menangis, Kiki, aku akan melindungimu."
Sambil membelai rambutku, ia terus menerus menenangkanku.
"Jangan menangis Kiki, jika kau menangis maka aku juga ikut menangis."
Ayudiah berusaha menghiburku dengan kata-katanya. Pelukan Ayudiah semakin erat. Perlahan akupun mulai memeluknya dan menangis pundaknya.
"Lindungi aku, aku tidak mau mati. Aku mau bertemu dengan Ayah dan Ibu. Aku takut... Aku takut, Ayu..."
Aku terus menangis dan memelas pada Ayu... aku tidak bisa berpikir apa-apa selain memelas pada Ayu untuk melindungiku, aku tidak tahu mengapa aku meminta perlindungan Ayu.
"Aku akan melindungimu Kiki, aku akan melindungimu dari segala marabahaya."
Kata-kata dari Ayudiah mulai memberiku sedikit kekuatan. Tangisanku mulai mereda. Sambil melonggarkan pelukanku akupun menatap Ayudiah.
"Benarkah, kau akan melindungiku?"
Aku menanyai Ayudiah dengan tatapan mata yang penuh harapan. Ayudiah mengangguk sambil mengusap air matanya dan tersenyum sampai memperlihatkan giginya yang ompong. Aku tidak menemukan gigi ompongnya terlihat aneh dan lucu disaat-saat seperti ini, aku justru melihat bahwa senyumannya memberiku ketenangan. Akupun mulai dapat mengendalikan diriku.
"Maafkan aku karena menangis tidak karuan. Be-belum lagi aku tidak sengaja memelukmu."
Wajahku memerah ketika mengatakan hal itu. ditengah keadaan yang mencekam ini aku masih bisa tersipu malu karena memeluk seorang perempuan. Ayudiah sendiri tertunduk seraya menganggukkan kepalanya.
"Apakah tanganmu baik-baik saja?"
Kulihat tangan ayudiah sedikit membengkak.
"Tidak apa-apa kok, beneran."
Meskipun aku khawatir tapi jika Ayudiah bilang seperti itu maka aku tak dapat berbuat banyak. Aku melihat sekelilingku. Dan aku baru sadar bahwa kamar ini terdapat banyak bercak darah kering. Terutama di bagian kasur yang dimana aku tidak melihat seorangpun di atasnya.
Ini aneh, karena aku yakin malam itu waktu aku diantar Ayudiah untuk bertemu dengan orang tuanya aku melihat 2 sosok terbaring disini. Terlebih lagi kasur itu memiliki sangat banyak noda darah. Sampai-sampai spreinya pun dan berwarna kehitaman.
Pertanyaan yang kukeluarkan dalam dalam pikiranku mulai mengarah kepada Ayudiah. Apa yang sebenarnya terjadi dengan rumah ini, apa yang sebenarnya terjadi dengan keluarga Ayudiah?
"Ayudiah, kemana orang tuamu? Kenapa ada noda hi-"
"Kiki, kita harus segera keluar dari tempat ini, si botak itu pasti mencari cara untuk masuk kedalam kamar ini jika kita terlalu lama disini."
Ayudiah kemudian menunjuk jendela yang telah dipalang oleh kayu lapuk.
"Kemungkinan besar si botak itu akan lewat jendela!"
"Tapi... Jendela itukan sudah terpalang... mustahil baginya untuk bisa masuk kedalam."
Aku menunjukkan jendela yang terpalang dengan kayu lapuk. Ayudiah pasti memasangnya ketika aku sedang melihat sibuk dengan mengamati ruangan ini... dari mana Ayudiah mendapatkan kayu lapuk itu?
"Dia itu orang dewasa. Dia bisa saja dengan mudah menghancurkannya."
"Mungkin saja dia punya peralatan untuk membongkar palang jendela itu. dan menurutku sebaiknya kita cepat bergerak."
Ayudiah menjelaskan bagaimana pak Gatot dapat menerobos lewat jendela berpalang kayu lapuk itu.
"Kurasa diluar pintu ini terdengar sepi. Ini kesempatan kita. Mungkin saja ia keluar untuk mengambil peralatan untuk mencongkel jendela."
Ayudiah pun selesai menjelaskan teori beserta kesempatan dan bahaya yang ada dalam rencananya. Dan kesimpulannya, jika semakin lama kami berada di sini, kita akan terperangkap. Pintu juga takkan bisa terbuka kalau kita tidak menyingkirkan lemari kecil yang menghalangi pintu kamar.
Memang benar, ada kemungkinan dia keluar mencari peralatan lalu menghancurkan jendela sedangkan pintu takkan dengan mudah ia dobrak. Ini adalah sebuah pertaruhan, kalau ternyata dia menunggu kami keluar maka nyawa kami akan sangat terancam, tapi jika kami tetap diam maka jika berhasil masuk lewat jendela yang terpalang maka kami tidak punya tempat untuk menghindar maupun lari.
"Kita harus mendorong lemari ini dengan sangat pelan-pelan dan usahakan jangan berisik."
Sekali lagi aku bangkit dan bersiap mendorong meja kecil itu agar tak menghalangi pintu. Bersama Ayudiah akupun mulai bersiap mendorong meja kecil ini.
Ada banyak hal yang ingin kutanyakan akan kejadian hari ini. Kenapa pak Gatot hendak membunuhku? Apa salahku? Dan juga kenapa kamar orang tua Ayudiah sangat berantakan dan penuh dengan darah hitam yang sudah mengering? Kemana orang tua Ayudiah?
"Kiki!"
Panggilannya membuyarkan pikiranku. Akupun kembali fokus untuk mendorong meja ini secara perlahan-lahan.
"1...2...3!"
Kamipun mulai mendorong lemari dengan sangat hati-hati. Sesekali terdengar suara gesekan. Ku berdoa agar Pak Gatot tidak mendengar suara gesekan itu.
Beberapa saat kemudian. Lemari itu sudah tidak menghalangi pintu kamar. Dengan sangat pelan dan hati-hati ku putar kenop pintu dan mengintip keluar. Aku tidaklah berani tapi aku tidak punya pilihan lain selain harus berani. Aku harus berani kalau tidak mau mati. Itulah yang ada di pikiranku sekarang.
Prak... Prak... Prak...
Dan suara kapak pun mulai menghancurkan jendela lapuk itu.
***
Kami kaget mendengar benturan keras pada jendela di belakang kami. pak Gatot telah berada di sekitar jendela belakang dan hendak menerobos masuk. Dia mungkin tidak mengetahui bahwa kami telah berhasil keluar dari dalam kamar dan itu berarti pintu depan tidak ada yang jaga. Ini kesempatan satu-satunya untuk kabur. Aku dan Ayudiah segera berlari sekencang-kencangnya menuju pintu depan.
5 meter... 4 meter... 3 meter... sedikit lagi...2 meter... 1 meter...
Aku memegang gagang pintu dan segera membukanya namun aku tak bisa keluar. Pak Gatot telah berdiri menunggu kami di depan pintu. Aku kira dia masih sedang menjebol jendela kamar.
Ayudiah langsung maju menepisku dan menerjang pak Gatot dengan pisau dapur terhunus hendak menusuk Pak Gatot.
Namun kali ini Pak Gatot dengan mudah menghindari terjangan Ayudiah kemudian menendang Ayudiah. Ayudiah pun terlempar, tubuhnya menghantam tembok, darah segar mengucur dari kepalanya yang membentur tembok ketika terlempar dan pisau ditangannya terlepas.
Sementara itu aku yang hanya bisa berdiri tanpa bisa bergerak, sambil perlahan mundur menjauhi Pak Gatot.
"Kenapa bapak melakukan semua ini?"
Hanya mulutku yang dapat bergerak untuk mengeluarkan suara. Pak gatot yang berdiri, tegap dengan kapak di tangannya kemudian menampakkan senyumnya.
"Kenapa?"
'Buak'
"Ughh uhukk...ughhh..."
Setelah mengulangi pertanyaanku akupun merasakan tubuhku melayang dan nyeri di perutku. Aku kena tendang pak Gatot dan langsung melayang, menghantam lantai dan terseret beberapa senti dari lantai.
"Yang kuinginkan saat ini adalah membunuh bocah-bocah seperti kalian."
"Ke...napa? Apa... sa...lah kami?"
Aku mencoba bertanya lagi sambil menahan nyeri di perutku.
Aku tak mengerti kenapa ia mau membunuh kami.
Perutku semakin sakit karena Pak Gatot menendang perutku lagi.
"Ah, kau ini berisik sekali. Aku tidak suka orang yang berisik."
Ayudiah yang berada di belakangku masih sama sekali tidak bergerak. Sementara pak Gatot masih menendangku sampai-sampai memuntahkan isi makan siangku. Melihatku muntah pak Gatot menghentikan tendangannya. Kemudian menatapku dengan tatapan menghina.
"Lemah sekali. Kau sungguh kasian. Akan kuberitahukan kenapa kau akan kubunuh."
Pak Gatot mundur sedikit lalu mengeluarkan sebatang rokok dan membakarnya. Sementara itu kapaknya disandarkan di sisi kakinya. Seandainya aku masih punya sedikit kekuatan. Mungkin aku dapat mengambil kapak itu dan mencoba melawan, tapi Ayudiah yang bersenjatakan pisau dapur yang masih lebih ringan daripada kapak itu kalah, apalagi aku yang penakut ini. Aku merasa umurku makin pendek. Sambil mengisap rokok yang telah ia bakar. Pak Gatot mulai berbicara.
"Pertama, karena kau berpotensi menjadi saksi mata setelah bocah perempuan ini kubunuh. Kau telah melihat mobilku yang terparkir. Kalau polisi datang maka yang di cari adalah kau sebagai orang terakhir yang berada di dekat bocah ini. Dan kedua, membunuh 2 anak kecil lebih greget daripada cuma 1 anak....
"AHAHAHAHAHAH, UGHUK UHUK."
Setelah berkata demikian Pak Gatot. Tertawa lebar sampai-sampai dia batuk-batuk karena sambil mengisap rokok. Aku mengerti alasan pertamanya tapi untuk alasan yang keduanya. Dia gila!
"Yah. Karena aku sudah menjawab pertanyaanmu. Maka giliranku untuk membunuhmu."
"AAAAGGGGHAAAAHHH."
Tanganku dinjak dengan sepatu botnya. Aku menjerit sekerasnya karena kesakitan dan berusaha menarik tanganku. Sementara Pak Gatot dengan kapak di tangannya mulai mengangkatnya tinggi-tinggi.
Aku akan mati.
Aku tutup mataku dengan pasrah.
'ZLEB'
Suara kulit dan daging yang di tusuk terdengar di telingaku tapi aku tak merasakan sedikitpun rasa sakit. Aku membuka mataku dan melihat darah berjatuhan menutupi wajahku. Aku melihat Ayudiah berdiri tepat di atasku yang sedang berbaring. Aku dapat melihat celana dalamnya.
Tapi ini bukan saatnya untuk melihat celana dalam orang lain. Darah yang mengalir dan jatuh menutupi mukaku adalah darah dari 2 sumber yang berbeda. Satu sumber darah yang jatuh menutupi mukaku adalah darah yang mengucur dari kepala Ayudiah. Yang satunya adalah darah yang mengalir dari badan Pak Gatot. Baju dinasnya basah dengan cairan merah dengan pisau dapur yang menempel di tubuhnya yang terus mengeluarkan darah yang secara terus menerus.
"Kiki... aku ...akan
....me...lindungi...mu
dari...
se...gala
mara...bahaya"
"Ayudiah!"
Aku yang masih terbaring menangkap tubuh Ayudiah yang jatuh, Ayudiah jatuh dan kini terbaring di dadaku. Tubuhnya terasa sangat panas kelihatannya Ayudiah terlalu memaksakan dirinya. Nafasnya lemah namun masih tersadar menatap wajahku. Sementara itu Pak Gatot masih berdiri menahan sakit. Matanya melotot melihat pisau yang menancap di tubuhnya kemudian menatap aku yang membaringkan tubuh Ayudiah dilantai yang berusaha bangkit.
"BRENGSEK. BOCAH SEPERTI KALIAN MAU MEMBUNUHKU? AKAN KUSERET KALIAN KE NERAKA!"
Dengan segenap kekuatan yang ada. Dia kembali mencoba mengangkat kapaknya yang terjatuh kebelakang ketika hendak membunuhku. Ayudiah tidak dapat bangkit meskipun aku merasakan keinginan darinya untuk bangkit dan menyerang Pak Gatot lagi.
"MATI KALI-"
Tidak sempat menyelesaikan kata-katanya, Pak Gatot terhuyung-huyung kebelakang. Giliranku yang maju. Adrenalin yang memenuhi tubuhku berhasil membuatku bergerak memecahkan kekakuanku.
Aku takut... tapi aku tidak mau mati bodoh... Ayudiah bisa melukai pak Gatot, maka akupun pasti bisa.
Aku menerjang Pak Gatot yang mulai lemah karena pendarahan yang dialaminya. Begitu ia terjatuh, aku mencabut pisau yang masih menancap di tubuh Pak Gatot kemudian menusuk Pak Gatot secara bertubi-tubi dengan menggunakan kedua tanganku. Setiap tusukan yang kuberi membuatku tanganku lelah dan sakit karena memaksakan diriku. Tapi jika aku berhenti menusuk Pak Gatot. Maka ada kemungkinan dia masih bisa bertahan dan membunuh kami. Dia harus kutusuk sampai benar-benar mati.
Entah sudah berapa kali aku menusuknya... tanganku terasa mati rasa. Dengan suara serak dan batuk darah, Pak Gatot masih sempat berbicara di nafasnya yang tinggal di tenggorokan.
"Ahak.... Uh... hebat kalian. Aku akui... hhak... itu..."
Kurasa Pak Gatot juga sudah tidak dapat bangkit lagi dia hanya bisa berbicara dalam keadaan meregang nyawa.
"Huuu'...kau dan.... bocah ...pe...rempuan itu telah men...jadi pembunuh."
Aku dan Ayudiah juga menjadi pembunuh? Aku menatap tanganku yang berlumuran darah. tiba-tiba aku merasa sangat mual.
"Apa...kah kau tahu huu... uhuk... kalau bo...cah pere...mpuan itu a...dalah pem...bunuh yang he...bat?"
"Maksud bapak?"
Menanyai pak Gatot yang sudah setengah mati. Darah mengalir deras dari berbagai lubang bekas aku menusuknya. Sekuat apapun tubuhnya, namun dengan luka yang seperti itu maka kematiannya hanyalah tinggal hitungan detik.
"Dialah pembunuh kedua orang tuanya dan kedua temanku-
'Crhap'
Kata-katanya terhenti. Aku yang baru saja diberitahu 2 fakta terbaru dimana Ayudiah telah membunuh orang tuanya dan membunuh 2 orang teman Pak Gatot. Apakah hal ini berarti Pak Gatot hendak membalaskan dendam kedua temannya?
Dari mana Pak Gatot tahu hal ini? Aku tak dapat menanyai Pak Gatot lagi karena kepala Pak Gatot telah terpisah dari tubuhnya. Sebuah kapak memisahkan kepalanya. Sebuah kapak yang kini berada di tangan Ayudiah. Dia kembali bangkit dalam kondisi lemahnya dengan mata memerah.
"KIKI, JANGAN DENGARKAN DIA, DIA PEMBOHONG!"
Ayudiah berteriak padaku. dia ingin aku percaya padanya. Dan aku diam saja. Siapa yang harus aku percaya? Ayudiah kemudian memelukku sambil menangis.
"KIKI PERCAYALAH PADAKU!! DIA ITU PEMBOHONG!! LIHATLAH AKU TELAH MENOLONGMU KAN?! KAU HARUS PERCAYA PADAKU!!"
Aku hanya terdiam. Tapi hal itu membuatku ragu bahwa itu bukan kali pertamanya ia melukai bahkan hendak membunuh orang lain. haruskah aku percaya pada Ayudiah bahwa dia tidak berbohong? Kepalaku yang kecil ini dipenuhi dengan pertanyaan akan siapa yang benar.
Lama aku berpikir dan terdiam. Ayudiah kemudian bangkit dan meraih kapak yang tergeletak di atas lantai. Apakah yang hendak dilakukan Ayudiah. Matanya makin memerah. Dia memperlihatkan tatapan yang menakutkan yang penuh kebencian.
Kapak yang diangkatnya kemudian dia jatuhkan tepat... ditubuh Pak Gatot tanpa kepala. Dia menghajar tubuh Pak Gatot dengan kapak tanpa henti.
"INI SEMUA GARA-GARA KAU, KAU PEMBOHONG, TEMANMULAH YANG MEMBUNUH PAPA DAN MAMA. KAU JUGA HENDAK MEREBUT KIKI DARIKU DENGAN MEMBOHONGINYA. MATI KAU. BIADAB!!"
Anggota tubuh pak Gatot berserakan dan makin hancur dengan hantaman kapak Ayudiah. Aku kembali mual dengan bau amis darah dari tanganku dan pemandangan yang sangat sadis ini.
Tak berapa lama aku kemudian kembali muntah. Ayudiah yang melihatku muntah segera berhenti mengayunkan kapak ke tubuh pak Gatot dan segera menghampiriku.
"Kau kenapa Kiki? aku ambilkan air putih dulu."
Tanpa menunggu jawabanku. Ia langsung segera ke dapur. Aku masih terdiam melihat tubuh pak Gatot yang tak berbentuk, hancur.
Ayudiah kemudian keluar dari dapur membawah air putih dalam gelas yang sisi luar gelas itu penuh dengan darah yang ada di tangannya.
Aku memegang gelas yang diberikan dengan gemetar kemudian meminumnya dengan perlahan.
Tubuhku lalu dipeluk lagi oleh Ayudiah dari belakang.
"Kiki, kau percaya padaku kan?
"I...iya."
Aku tidak tahu. Siapa yang harus kupercaya. Siapa yang memburu siapa? Ayudiah yang menjadi buruan atau Ayudiahlah yang menjadi pemburu? Dan jika aku salah langkah. Maka aku yang menjadi buruan. Dalam kebisuan aku hanya menatap rambut sedangkan Ayudiah semakin erat memelukku.
Pelukan sebagai kasih sayang atau pelukan jeratan sang pemburu?