Melihatku dengan entengnya dapat melepaskan diri dari ikatan, Si bos kaget dan tidak siap. Aku berhasil meloncat dan melingkari badannya sehingga aku berada di belakangnya. 2 penjaga yang dia bawa masuk ke dalam tidak dapat berbuat banyak karena semua terjadi begitu tiba-tiba, namun keadaanku sekarang jauh lebih gawat. Karena emosiku yang meluap-luap aku sampai kelepasan dan ceroboh. Aku tidak bisa dengan segera membunuh orang ini tanpa mendapatkan informasi yang cukup.
Aku tahu dia pembunuh papa dan mama, tapi jika aku membunuhnya maka aku takkan tahu siapa yang mempekerjakan mereka. belum lagi aku masih belum tahu siapa professor yang menginginkanku. satu-satunya cara adalah mengancamnya agar memberitahukan siapa profesor yang menginginkanku.
"J-jangan bergerak!"
Kedua penjaganya menodongkan senapan serbunya padaku, tapi mereka takkan ceroboh menembakku karena aku berada dibelakang sambil menawan bos mereka. Agus juga ikut menodongkan pistol peredamnya, tapi kali ini dia membidikku. Wajar saja kalau Agus menodongkan pistolnya padaku, karena dia adalah agen yang sedang menyamar. Tapi tetap saja aku masih belum tahu apakah Agus kawan atau lawan.
Kalau kalian bergerak selangkah, bos kalian akan kubunuh!"
Aku mengancam penjaganya. Namun jujur saja, berada dibelakang bosnya sambil bergelantungan tanpa pijakan akan sangat melelahkan jika terlalu lama. Aku harus berpikir cepat akan tindakan apa yang harus kuperbuat selanjutnya, sebelum genggaman tanganku lelah.
"Dan kau juga jangan bergerak. Satu gerakan tiba-tiba maka kau lehermu akan kugerek! Letakkan pistolmu di meja, SEKARANG!"
Aku mengancam dan membentak bos mereka. pisau pemberian Agus aku tempelkan dengan rapat di tenggorokan bosnya. Tapi tetap saja, beberapa detik bergelantungan seperti ini dibelakang bos mereka membuat tenagaku berkurang dengan cepat.
Genggamanku mulai gemetar karena memaksakan diriku agar tetap bisa bergelantungan dibelakang si bos.
"Heh, memangnya kau berani membunuh orang?"
Aku merapatkan pisauku ke leher si bos. Sehingga darah sedikit mengucur dari lehernya.
"Asal kau tahu, Akulah yang telah membunuh si botak Gatot!"
Mendengar ancamannya kalah dengan jawaban yang kuberi, si bos mulai menuruti perintahku dan meletakkan pistolnya, tapi tenagaku sudah hampir habis.
Namun tidak bertahahan lama, akhirnya peganganku lepas juga sebelum aku dapat berbuat apa-apa. Aku langsung segera jatuh dari punggung bos itu dan buruknya lagi, pisauku juga terlepas dari tanganku. dengan cepat si bos mengambil pistolnya dan segera menodongku di kepala. Aku yang masih dalam keadaan terjatuh terlambat mengambil pisauku.
"Hebat juga kau anak kecil. Kau berhasil menawanku, tapi kemampuanmu masih kurang untuk membunuhku. Latihlah dirimu di neraka!"
Pshew... Pshew
Si bos itu berbalik ketika mendegar suara dari pistol peredam dan melihat 2 penjaganya roboh dengan kepala bolong. Agus menembaknya dengan pistol peredam miliknya dari jarak yang paling dekat. Si bos yang melihat kelainan dengan sikap Agus langsung menawanku dengan mengangkat tubuhku untuk melindungi badannya. tubuhku melayang karena perbedaan tinggi antara aku dan si bos. Si bos kemudian menodongkan pistolnya ke arah Agus.
"Apa-apaan ini Agus?!"
"Sedikit perubahan rencana... Mantan bos"
Muka si bos langsung saja terlihat merah padam. Dia pasti marah sekali karena mendapat seorang pengkhianat di depan matanya.
"Kau mau mengambil alih kekuasaanku? Jangan mimpi kamu!"
"Siapa bilang mau ambil alih kekuasaanmu?"
Seketika keadaan diluar ruangan sangat berisik. Suara ledakan-ledakan dan letupan dari senjata api menjadi suara latar dari ruangan ini. Berbagai teriakan seperti "Kita diserbu!" dan berbagai jeritan lainnya menjadi menghiasi suara latar tersebut, sementara itu Agus melangkah ke depan tanpa takut todongan pistol si bos.
"Pasukanku sudah bergerak."
Agus melangkah dengan senyum lebar di bibirnya.
"Brengsek kau Agus!"
"Oops... Pak Agus. Hormat dong sama aparatur negara."
Agus memperlihatkan lencananya yang tersembunyi di balik jaketnya.
"Berhenti! Atau kau mau melihat otak anak ini berhamburan."
Si bos langsung menawanku sambil menodongkan pistolnya padaku. Agus berhenti sejenak. Sebagai seorang polisi, Agus memiliki kewajiban untuk memprioritaskan orang yang disandera... tapi pernyataannya mengejutkanku.
"Kalau mau tembak ya tembak aja, aku adalah polisi rahasia. Pemerintah mana tahu kalau anak itu mati karena aku. Aku tinggal buat saja laporan kalau ada warga yang dibunuh oleh kalian."
Melihat ancamannya tidak mempan, si bos mulai panik, begitupun aku. Agus sama sekali tidak berniat menyelamatkanku karena aku hanyalah menjadi penghalang baginya untuk melumpuhkan si bos. Nyawaku terancam. Baik ditangan bos ini maupun ditangan Agus.
"Hidup atau mati bergantung dari seberapa gesitnya kau"
Pshew
Sebutir peluru langsung mengenai pundak si bos. Aku terlepas dari genggamannya. Tak menunggu lama ketika aku jatuh menyentuh lantai, aku langsung mengambil pisau yang memang terjatuh tidak jauh dekatku dan langsung menyabet kaki si bos dengan kedua tanganku sehingga dia terjatuh.
Belum sempat bos itu berteriak kesakitan karena tersabet. Akupun langsung berdiri di atasnya dan menancapkan pisauku tepat di dadanya berkali-kali. Bos itu langsung mati seketika tanpa sempat berkata-kata maupun mengerang kesakitan.
Pakaianku kotor dengan noda darah, sensasinya terasanya begitu nikmat dengan setiap darah yang mengucur dari tubuh yang berkali-kali kutusuk. Seakan memberiku kekuatan yang sangat besar. Aku menjilat sedikit darah yang mengalir dari pisauku, sedikit amis dan rasanya seperti mengisap darah dari jempolku ketika berdarah. Hanya saja rasanya begitu kuat, begitu nikmat. Seakan-akan setiap orang yang kubunuh menjadikanku lebih kuat.
Setelah puas menusuk-nusuk orang itu. aku baru tersadar bahwa aku sama sekali belum mendapat informasi akan siapa yang membunuh papa dan mama. hal itu membuatku sangat jengkel.
Prok prok prok..
Agus yang melihatku menghabisi si bos bertepuk tangan seakan menikmati aksi yang baru saja kulakukan. Aku menatap garang si Agus karena aku merasa dikhianati olehnya karena kesigapannya menembak.
"Hahaha... jangan marah gitu dong, tatapanmu membuatku takut, nona pembunuh."
Aku bangkit dari mayat si bos setelah mencabut pisau yang menancap di mayatnya.
"Selama penyamaranmu di tempat ini... apakah kau tahu siapa yang mempekerjakan kalian untuk membawaku?"
Setidaknya aku bisa mendapatkan informasi akan siapa yang memperkerjakan mereka untuk menculikku.
"Memangnya kenapa?"
"SUDAH, JAWAB SAJA!"
Aku berteriak marah.
"Wow wow... sabar... kalau tidak salah namanya Dr. Arya Eka."
Aku membelalak kaget. Nama itukan adalah nama... Papa. Apa maksud dari semua ini? Bukankah Papa telah tiada? Aku sudah melihat papa dan mama mati tepat di depan mataku.
"A-apa maksudmu? Bu-bukankah papa telah dibunuh oleh mereka? Berarti... seandainya aku biarkan diriku ditebus... aku akan ketemu dengan papa?"
"Hmmm... entahlah aku hanya dapat pekerjaan ini dari klienku, yang aku tahu dia adalah salah satu ilmuwan dari PSI. lagipula, atas perintah dia pula kami di tugaskan untuk membersihkan tempat ini."
Apa maksudnya dengan kata "klien"? bukankah agen rahasia bekerja untuk pemerintah? Kenapa dia mengatakan klien? Berarti Agus ini dipekerjakan oleh seseorang selain pemerintah. Tapi aku diamkan, itu bukan urusanku. Karena sekarang ini aku masih dalam keadaan kaget karena mendengar bahwa papa masih hidup, dan kalau papa masih hidup maka mama...
"Kalau begitu... mama... mama masih hidup?"
"Mama? Maksudmu istrinya Dr. Arya? Entahlah, kami Cuma dapat perintah darinya. Mengenai informasi pribadi klien bukanlah urusan kami."
Pintu dibelakang Agus terbuka dan seorang anak kecil masuk. Anak kecil itu seumuran dengan saya, namun terlihat dari penampilannya kalau dia adalah tentara, meski tanpa pakaian tentara melainkan baju biasa, ia memiliki pisau militer, senapan serbu dan pistol yang melekat dipunggungnya.
"Semua sudah beres!"
Anak kecil itu melaporkan situasi kepada Agus.
"Aku tidak yakin kalau kau adalah dari BIN. mana mungkin pemerintah memperkerjakan anak kecil untuk masuk militer."
"Oh dia? Dia anak asuhku, aku menemukannya dan mendidiknya. Pemerintah hanya tahu beres. Pasukanku adalah urusanku. Ok, nona kecil?"
Agus memperlihatkan senyumnya. Sementara itu, tatapan anak itu begitu dingin dan begitu dalam ketika menatapku, seakan aku memiliki sesuatu yang menarik perhatiannya.
"Kita harus segera pergi. Pagi telah menjelang, tempat ini akan ramai dengan orang-orang yang menemukan mayat mereka."
Anak itu kembali berbicara kepada Agus setelah menatapku sejenak. Agus lalu mengangguk.
"Nona kecil, mari kita pergi dari tempat ini."
Agus mengajakku keluar. Karena tidak ada lagi yang hendak kucari, akupun keluar dari ruangan ini menuju pintu keluar,
banyak mayat bergelimpangan dengan berbagai peluru, yang memenuhi badan mayat itu, aku tidak melihat satupun pasukan Agus, atau jangan-jangan. Anak itulah pasukan Agus? Dia sendiri melawan semua orang yang ada di bangunan ini? aku tidak bisa berkata apa-apa.
Pada akhirnya semuanya merupakan rekayasa papa, tapi apa maksud dari semua ini? Aku sampai-sampai menjadi pembunuh karena semua ini. Aku rasa aku akan menemukan jawabannya jika aku bertemu dengan papa.
Sesampainya aku keluar dari bangunan yang sempat menyekapku di salah satu ruangannya, aku melihat matahari sudah sangat terang menerangi bumi. Aku langsung panik.
"Agus, sudah jam berapa sekarang?"
Aku tidak lagi memanggilnya om. Lagi pula apa peduliku, dia sendiri tidak protes ketika aku memanggilnya Agus saja
"Jam 8, Kenapa?"
"Dimana Jalan besar menuju kota?"
"Umm... ada di seberang hutan ini. tapi sebaiknya kau ikuti jalan setapak ini"
Agus menunjukkan hutan yang terhampar di depan bangunan ini. tanpa buang-buang waktu dan menghiraukan saran Agus untuk melewati jalan setapak yang ditunjuk Agus, aku langsung berlari menerobos hutan, meninggalkan Agus dan anak kecil tersebut.
Kiki berangkat hari ini. aku tak mungkin bisa bertemu dengannya tepat waktu di terminal, tapi aku masih punya kesempatan bertemu dengan busnya di jalan menuju kota.
***
Sebuah bus yang melaju dengan cepatnya menuju kota besar. Seorang ibu muda beserta anaknya yang tertidur sambil bersandar padanya. Sungguh pemandangan yang sangat menenangkan ketika ibu itu mengelus kepala anaknya dengan penuh kasih sayang.
Bzzzt.... Bzzzt
Suara getaran Hp dari Ibu muda itu menghentikan elusannya.
Ia kemudian mengangkat panggilan itu.
"Tugas yang anda berikan sudah kulaksanakan. Mereka semua sudah aku bereskan."
Suara lelaki terdengar dari seberang HP tersebut.
"Kerja bagus, Upahmu telah terikirm ke rekeningmu."
"Mengenai anak yang anda sudah duga akan datang, kami sudah memberitahukannya informasi yang anda bilang."
"Bagus, dengan ini dia akan percaya bahwa orang tuanya masih hidup."
Ibu muda itu kembali tersenyum karena rencananya berjalan dengan mulus.
"Tapi, harus aku akui, kemampuannya sungguh luar biasa, anak itu "itu", kan?"
"Ya, sama seperti bawahanmu yang masih di bawah umur itu. ngomong-ngomong, aku sempat melihat kau yang mengambil anak itu ketika ia mengejar bus ini?"
"Ya, memangnya kenapa?"
"Rawat dia, dia akan mempunyai peran penting untuk rencanaku."
"Asalkan kau naikkan upahku, hahahaha."
Ibu muda itu langsung mematikan HPnya ketika mendengar pria di seberang tertawa. Iapun kembali mengelus anaknya yang masih tertidur di sebelahnya.
"Anakku Rizki, kaulah harapanku."
Ibu muda itu kembali tersenyum dengan teduhnya sambil mengelus rambut anaknya.
Bersambung di Cerita Selanjutnya