"Tante, Kami berangkat dulu yah."
"Ya, hati-hati dijalan."
Setelah Ayudiah dan ibuku saling melambaikan tangan. Aku dan Ayudiah berangkat menuju sekolah setelah absen beberapa hari dari sekolah sejak peristiwa itu,
Pada malam waktu itu, aku dan Ayudiah sama sekali tidak dapat menjelaskan kenapa tubuh kami penuh luka dan memar kemarin kepada ibu. Tapi beliau mengijinkan Ayudiah untuk tinggal di rumah tanpa bertanya lebih lanjut.
Aku dan Ayudiah sudah kembali bersekolah. Sepanjang perjalan menuju sekolah kami tidak banyak bicara.
Berkali-kali Ayudiah mencoba membuka pembicaraan seperti menanyai kabarku tadi pagi, tapi aku hanya tersenyum dan menjawab "baik" pelan kemudian hening kembali. Tidak ada yang begitu berubah dari sekolah kami, hanya saja dibelakang sekolah masih terdapat polisi disekitar pita yang bertuliskan "Garis Polisi"
Aku tidak begitu peduli dan segera masuk kelas. Guru yang mengajar kali ini adalah guru baru, kudengar dia adalah guru yang menggantikan bu Tini, dan kudengar lagi dia merupakan kekasih dari ibu Tini, tapi itu bukan urusanku. Sepanjang mata pelajaran berlangsung aku hanya menghayal sampai pelajaran selesai. Tidak ada yang memperdulikanku kecuali Ayudiah yang sedari tadi menatapku dengan tatapan khawatir.
"Rizki Armawan?"
Namaku dipanggil menjelang berakhirnya mata pelajaran. Akupun maju ke depan kelas kemudian menatap teman-teman kelasku.
"Ehm... anak-anak... bapak ada sedikit pengumuman untuk kalian... teman kalian, Rizki Armawan akan segera pindah sekolah."
Sontak kelas menjadi ramai dengan bisik-bisik. Terutama para siswa ceweknya yang sibuk berspekulasi mengenai kenapa aku akan pindah, namun aku tidak pedulikan ocehan mereka. Ayudiah terlihat cukup kaget karena pengumuman ini, wajar saja, Ayudiah yang sudah tinggal beberapa hari dirumah kami baru kali ini mengetahui bahwa aku dan ibuku akan pindah rumah.
Melihat ekspresi kaget Ayudiah, akupun mendekati Ayudiah.
"Maaf Ayu, aku tidak memberitahukanmu bahwa aku akan pindah."
"Ka-kalau begitu aku akan tinggal dimana? Tidak bisakah aku tinggal bersamamu? Ma-maksudku... aku akan ikut denganmu. Aku tidak mungkin tinggal di rumahku."
"Ibuku tak bisa membawamu, tapi ibu mengijinkan kau untuk tinggal di rumahku."
"Tapi ke-"
Aku langsung memeluknya dengan erat sehingga membungkam kata yang hendak keluar dari mulutnya. Seisi ruang kelas sontak menatap kami berdua. Ratusan kata "Cie" berkumandang di kelas kecil itu. guru hanya membiarkan keadaan gaduh. Karena ia sendiri bingung dengan apa yang baru saja terjadi.
"Maafkan aku..."
Terpisah dari segala kenangan bersamanya serta pengalaman di rumahnya. Hanya kata maaf yang bisa kuucap. Dan Aku membenci diriku yang lemah, aku benci harus pergi meninggalkan kota ini dan aku sangat membenci ratusan kata Cie yang berkumandang senang dalam kelas ini seakan memberi selamat atas perpisahan kami.
Seluruh waktu yang kuhabiskan di tempat ini hanya seakan mengejekku ketika Ibu menjelaskan semuanya dimalam itu.
***
Malam itu, Sambil merawat luka Ayudiah dan memarku, ia berkata dengan nada datar... seakan semuanya normal-normal saja.
"Rizki, Ayahmu telah meninggal. Ia diserang oleh sekelompok orang saat sedang berpatroli di perusahaan. Ia-"
Aku tak mendengar apa-apa setelah itu. aku hanya terfokus pada perkataan ibu bahwa ayah telah meninggal.
"Ahahahaha... Bohong... ibu bohong kan?"
Tak peduli pembicaraan ibu yang masih berlanjut, aku langsung memotongnya. Apa-apaan ibu ini? Aku baru pulang dari pengalaman yang mengerikan bersama Ayudiah lalu diberikan berita yang jauh lebih buruk seperti ini?
Ibu seakan tidak menanggapiku, hanya diam sambil menatap serius kedalam mataku. Tanda diamnya mengatakan bahwa apa yang diucapkan adalah kebenaran. Aku tidak perlu penjelasan lebih lanjut.
Aku terdiam perlahan aku masuk kamar dan mengunci pintu kamarku, Membiarkan Ayudiah yang masih dirawat ibu kaget bercampur bingung dengan semua peristiwa ini.
Kujatuhkan diriku ke kasur sambil memeluk bantal guling kapuk yang telah menemaniku sejak kecil. Aku benamkan semuanya pada bantal guling kapukku, termasuk air mataku. Lagi-lagi aku melanggar nasihat ayah.
"Laki-laki itu kuat, janganlah menangis!"
Air mataku tak terhenti hingga ku terlelap.
Subuh esok hari kemudian ibu membangunkanku. Mataku begitu merah karena menangis semalaman. Aku bersama ibu kini berada di sebuah pemakaman umum yang tidak jauh dari rumah. Ayudiah tidak kami bangunkan. Kami mengunjungi makam ayah yang masih basah sambil menunggu matahari terbit. tidak ada peziarah, tidak ada tahlilan, ayah langsung dikuburkan tanpa menungguku. aku tidak pernah melihat wajahnya untuk terakhir kalinya.
"Rizki, kita akan pindah dari kota ini."
Aku diam.
"Ibu dipindah kerja ke kota besar."
Aku masih saja diam.
"Tempat ini memiliki banyak kenangan ketika kita bertiga masih bersama"
"Ya"
Aku menjawab untuk pertama kalinya. Aku memandang wajah ibu yang berdiri tegap memandangi nisan itu dengan air mata yang hampir tumpah."
"I..Ibu... ti..dak mampu berada... hiks... di tempat ini... terlalu banyak kenangan ... bersama dengan... hiks"
Aku masih ingat tingkah laku ayah yang kocak. Selalu bergurau denganku, selalu menasihatiku waktu kecil. Pembawaannya yang jenaka dan selalu menghiburku ketika aku dimarahi guruku, meskipun pada akhirnya dia juga yang marah ketika ternyata aku dimarahi karena nilaiku jelek.
Akupun masih ingat tingkahnya ketika aku membawa Ayudiah kerumah, namun sekarang ia tidak ada. ia tetap berlaku jenaka seperti biasanya. Iapun tetap sempat-sempatnya bermesraan dengan ibu di setiap kesempatan. meskipun ada Ayudiah sebagai tamu. Ayah yang jenaka dan ibu yang begitu serius, namun dengan begitu terciptalah keseimbangan dalam keluarga kecil kami.
Ayah sangat-sangat suka menggombal ibu dikala luang. Meskipun sering marah karena digombal tiada henti, ibu biasanya menyerah dengan membiarkan ayah duduk disampingnya sambil mengelus rambut ibu yang sedang asik menonton televisi setelah selesai mengerjakan pekerjaan rumah. biarpun sifat ibu yang sangat serius ketika dirumah. Ibu sangat menyayangi Ayah. Sampai saat ini, ia terus bersikap serius menyampaikan berita duka ini dengan nada datar. namun nisan dihadapannya membuat matanya berkaca-kaca tak mampu menahan postur keseriusan yang selalu ia jaga.
Sebulir air mata ibu jatuh melewati pipinya. Akupun mendekati ibu dan mengulurkan tangan hendak memeluknya. Perlahan pula ibu berlutut dan memelukku dengan erat. Seketika semua air matanya tumpah. Ibu telah menahan segala kesedihannya sedari tadi malam hingga pada akhirnya tumpah pada momen ini. Ibu menahan dirinya untuk tidak menangis dihadapanku tapi akhirnya meluap di depan nisan ayah.
Air mataku yang tadinya habis karena menangis tadi malam secara ajaib terasa terisi dan kembali meluap di pelukan ibu. Kami berdua menangis dalam masing-masing pelukan.
***
Dan sepanjang itulah isi lamunanku. Aku berusaha menghilangkan kesedihanku melalui perayaan 17 Agustusan. Bahkan Ayudiah sudah berusaha semampunya untuk menghiburku dengan mengajakku dan menemaniku. Namun esok aku tetap akan pergi bersama ibuku dengan bus antar kota
"Apakah kau tidak apa-apa tinggal sendirian?"
Tanyaku, aku sedikit khawatir dengan Ayudiah yang akan tinggal sendiri di rumah yang kutinggalkan.
"Tidak apa-apa kok Kiki."
Senyuman manisnya kembali muncul dari bibirnya.
"Tapi suatu saat aku pasti akan menyusulmu."
Aku hanya terdiam dan memberikan senyum seadanya.
Setelah lama kami menonton dari pos ronda dimana sang artis sudah mulai kehilangan suara dan jatuh pingsan dari panggung yang membuat panik panitia pelaksana. Kamipun segera pulang ke rumah karena hari sudah mulai gelap.
Keesokan harinya kami sudah berada di terminal. Aku dan ibu sudah berada di terminal pagi-pagi sekali. Kami belum naik karena aku memaksa ibu untuk menunggu Ayudiah. Ia hilang di pagi harinya. Tapi aku yakin dia pasti akan datang mengantar kepergianku. Ibupun melihat jam tangannya segera memberitahukanku bahwa sekitar 15 menit lagi bus akan berangkat. Aku mengatakan untuk menunggu sebentar lagi. Ibupun yang tadinya berdiri di sampingku berkata bahwa dia akan menungguku di dalam bis.
Ayudiah berkata bahwa dia akan menyusul kami di stasiun. Dia berkata bahwa ada suatu hal yang harus ia lakukan. Tapi ia berjanji bahwa ia akan datang untuk mengucapkan perpisahan.
14 menit berlalu, dan tidak ada tanda bahwa Ayudiah akan muncul. Entah kenapa aku jadi teringat dengan keadaan orang tua Ayudiah. kenapa orang tua Ayudiah tidak ada saat insiden percobaan pembunuhan oleh Pak Gatot?
Kepalaku yang kecil ini sama sekali tidak tahu kemungkinan yang bisa menerangkan semua ini. Bus pun membunyikan klaksonnya tanda hendak berangkat. Akupun naik kedalam bus dan di jok belakang bersama ibu tidak lama kemudian bus tua pun berangkat, dengan sedikit terbatuk-batuk namun pasti, kendaraan tua ini mengantarkan kami meninggalkan kota kecil ini. Ayudiah pada akhirnya tidak pernah datang. Aku habiskan sepanjang perjalanan dengan melamun dan menatap pohon-pohon sekitaran bus ini.
"KIKI!"
Samar-sama aku mendengar suara memanggilku ketika bus ini sudah berjalan jauh meninggalkan kota kecil itu. Akupun berbalik mengintip lewat jendela bus dan melihat sesosok tubuh kecil dengan baju biru dan celana pendek hitam dengan cairan merah menodai pakaiannya. itu adalah ayudiah yang tersenyum dengan pakaian yang penuh darah.
"SAMPAI JUMPA DAN HATI-HATI DIJALAN! SUATU SAAT AKU AKAN MENYUSULMU!"
Ayudiah berteriak sekuat tenaga. Dia berlari sekuat tenaga mengejar bus tanpa mengenakan alas kaki, padahal siang ini matahari bersinar begitu terang. Tidak lama kemudian kulihat Ayudiah terjatuh, entah tersandung apa. Dan dengan begitu jarak diantara kita semakin menjauh.
Tapi ada yang membuatku heran?
Kenapa pakaian Ayudiah penuh dengan darah?
Tidak lama kemudian dibalik pepohonan muncul Seorang dengan pakaian ala preman mendekati Ayudiah, diikuti oleh seorang anak kecil yang yang sedang memanggu senapan besar yang sering kulihat di televisi. Kalau tidak salah senjata itu adalah AK-47. Kulihat mereka pergi dan membawa Ayudiah yang tersungkur karena tersandung.
"Apa yang sebenarnya terjadi?"
Aku bingung hendak berbuat apa. Sementara bus ini semakin jauh membawaku ke kota. Meninggalkan Ayudiah di tangan preman itu.