Chereads / Kakera / Chapter 13 - Unexpected Ally

Chapter 13 - Unexpected Ally

Kepalaku terasa sangat berat. Dadaku dan tanganku masih terasa nyeri dan mungkin bengkak karena tendangan orang gemuk itu. aku bangun dan tersadar dalam sebuah ruangan yang gelap yang hanya di terangi oleh sebatang lilin yang tidak lama lagi habis. Kini aku berada dalam ruangan tanpa jendela. Aku memutar kenop pintu yang hanya satu-satunya ada di ruanganku dan tentu saja...

"Terkunci."

Aku tak memiliki apa-apa selain baju yang melekat di badanku. Tasku juga tidak bersamaku. Aku mencoba berpikir untuk mencari jalan keluar dari tempat ini dan tentu saja masih sesuai dengan tujuan pertamaku, yakni mencari petunjuk akan keterlibatan mereka terhadap pembunuhan papa dan mama dan pembunuh yang terlibat dengan mereka.

Ruangan ini sama sekali tidak memiliki barang yang bisa kugunakan untuk melarikan diri. Satu-satunya jalan keluar hanyalah melalui pintu tersebut. Aku mendekati pintu tersebut sambil membungkuk karena rasa sakit yang masih terasa di perutku. Hal itu membuat diriku tak bisa berdiri tegap. Aku mencoba mengintip lewat lubang kunci namun tidak melihat siapa-siapa. Aku pun mencoba menggedor-gedor pintu dengan kedua tanganku.

'PANG PANG PANG'

Aku terus-menerus menggedor pintu sekitar beberapa menit hingga tanganku mulai terasa sakit tapi tetap kupaksakan menggedor-gedor pintu...

"BERISIK... BISA DIAM TIDAK!?"

Suara orang... dari letak suaranya kelihatannya dia berada sangat dekat dengan pintu ini.

"BUKA PINTUNYA.... BUKA PINTUNYA... BUKA PINTUNYA !!"

Aku terus Berteriak. berharap dia membuka pintunya dan mencoba menyelip keluar.

"BRENGSEK... BERHENTI BERTERIAK! KAU MAU KUHAJAR YA?!"

Dia terpancing. Aku bisa mendengar langkah kaki yang mulai mendekati pintu. Aku mencoba mencari tempat bersembunyi tapi nihil. Satu-satunya jalan hanyalah menerobos dari depan. Pintupun terbuka dan aku langsung berlari dengan cepat untuk menerobos...

"BUAKKK..."

Aku kembali terlempar. Dadaku terkena tendangan orang yang membuka pintu, terlebih lagi badanku terasa sangat-sangat sakit karena momentum kecepatanku berlari kemudian terkena tendangannya.

"Cih... dasar anak-anak."

Orang itu meludahiku. Aku sempat melihat wajahnya yang sangar codet X di pipi sebelah kanannya. Bentuk tubuhnya hampir mirip dengan Pak Gatot tapi memiliki rambut gondrong dan lebih kekar daripada Pak Gatot... serta sangat gemuk.

"Caramu melarikan diri terlalu kuno dan sangat ceroboh bocah... hahaha"

Orang itu kemudian mendekat dan menginjak dadaku. Sakit dan sesak yang kurasakan ketika kaki orang itu orang itu menekan dengan kuat dadaku. kekuatannya sungguh diluar dugaanku.

"Unggghhhhh.... Aaaaaiiiiiiiggghhh..."

Aku terus mengerang... sedangkan orang itu tetap saja menginjakku tanpa mengurangi kekuatan injakannya. Nafasku tersasa sesak dan pandanganku mulai terasa kabur serta berkunang-kunang hingga pada akhirnya aku kembali tak sadarkan diri...

***

Aku kembali terbangun. Masih di ruangan yang sama dengan rasa nyeri yang masih membekas di dadaku. Aku tidak bisa menggerakkan badanku sama sekali. Aku mencoba menggerakkan kepalaku untuk melihat sekelilingku dan melihat sebuah piring yang diatasnya sebuah roti keras dan segelas air. Aku raih roti tersebut dan memakannya. Roti itu rasanya hambar dan sangat keras tapi setidaknya dapat mengisi perutku. Selesai aku melahap roti tersebut dan meneguk air yang sepertinya berasal dari air sungai. Aku menemukan sehelai kertas dan sebuah kunci yang bertuliskan sesuatu dibalik roti tersebut. Aku coba membacanya dengan bantuan cahaya lilin.

[Jangan melakukan hal yang bodoh dan sia-sia, segera kabur dari tempat ini. Ambil kunci ini dan ikutilah peta dibelakang kertas ini untuk keluar dari tempat ini.]

Kuambil kunci yang terletak di belakang kertas, dibalik kertas yang berisikan pesan tersebut terdapat peta jalan keluar dari tempat ini. Namun aku tidak berniat kabur. Karena aku masih tetap pada niat pertamaku. Sebelum aku membuka pintu tersebut. Kuintip melalui lubang kunci untuk memastikan tidak ada orang di sekitar. Aku coba memutar kunci yang kudapat pada lubang kenop pintu dengan sangat pelan dan hati-hati.

'Cklek'

Kubuka pintu pelan-pelan. Mataku terasa sedikit berat karena masih belum terbiasa dengan pencahayaan yang sangat terang di luar ruangan ini. Di sebelah kiriku aku bisa melihat jalan buntu dengan jendela yang memperlihatkan pemandangan yang masih gelap. Berdasarkan lamanya aku di tempat ini, kurasa tidak lama lagi subuh akan menjelang. Di sebelah kananku... aku melihat tubuh besar sedang tertidur pulas sambil mendengkur. Dialah yang menjaga ruanganku dan yang juga menendangku tadi, codet X nya telihat jelas. Tubuhnya yang besar ia sandarkan di kursi kayu, di tangannya ia sedang memeluk tasku. Dengan hati-hati aku berjalan dengan perlahan menuju tasku agar tak membangunkannya.

"... Ehmmm.."

Suara dari orang itu mengagetkanku. Aku terdiam di tempat sambil berharap bahwa masih tertidur. Jika ia terbangun maka semua usahaku akan sia-sia. Aku takkan mampu melawan orang ini jika dia terbangun. Kecuali jika aku dapat meraih tasku. Dengan jarak yang sudah cukup dekat aku mencoba membuka resleting tasku dan memeriksa isi tasku. Dengan sangat pelan-pelan aku meraba isi tasku dan...

"Tidak ada..."

Aku mencoba meraba-raba tapi tidak mendapatkan pisau ku. Tidak ada senjata yang bisa kugunakan selain pisau yang kubawa di tasku. Hanya beberapa barang seperti senter, termos berisikan air putih serta sepasang tangan yang memegang tanganku.

Sepasang tangan?

"Grepp..."

Tanpa kusadari tanganku dipegang oleh orang itu gemuk itu. begitu erat sehingga tanganku terasa sakit. Dia masih tertidur tapi tanganku dipeluk dengan erat. Perlahan-lahan ia menarik tanganku hingga akhirnya dia memelukku. Badannya sangat bau, aku sampai mau muntah karena bau badannya.

"Inem, ayo main ama abang."

Orang gemuk ini sedang mengigau. Dia memelukku begitu erat sampai-sampai wajahku mengenai wajah codet X nya. Tidak lama kemudian dia menjilat pipiku dengan lidahnya yang penuh dengan air liurnya.

Menjijikkan!

"Inem... abang kesepian... temani abang yah. Ntar kita main kuda-kudaan. Inem dibawah, abang diatas."

Brengsek. Mimpi orang ini mulai mesum. Terlihat dari gerakan tangannya yang mulai meraba-raba dadaku yang kecil. Takkan kubiarkan diriku dinodai oleh orang ini. Akupun berusaha sekuat tenaga untuk lepas dari cengkramannya. Setelah lama terus-terusan menarik tanganku yang dipeluk olehnya, akupun mulai dapat melepaskan diri dari genggaman orang gemuk yang sedang mendengkur ini. Meskipun kekuatannya semakin bertambah ketika aku mulai melepaskan diri, tapi aku lebih kuat, aku sendiri tidak percaya dengan kekuatanku tapi aku tidak ambil pusing, mumpung aku sedang kuatnya aku terus berusaha untuk lepas dari cengkramannya.

"... Ahahahaha... yah, begitulah. Katanya tidak lama lagi ada orang yang hendak membawa anak itu. bayarannya gede. Lumayan untuk beli topi miring dan cewek."

"Hahaha... Asik bener. Hari ini kita bener-bener beruntung dapat tugas yang mudah, bayarannya gede lagi, jadi penasaran, siapa sih yang kita tangkap."

"Anak kecil, cewek kalau tidak salah."

"Hoo..."

Suara percakapan 2 orang itu berasal dari pintu di ujung ruangan ini. Aku berada dalam masalah. Tanganku masih belum lepas dari cengkraman orang gemuk ini. Kalau mereka melihatku berhasil lolos dari ruangan gelap itu maka aku akan berada dalam masalah besar. Belum lagi aku tidak punya senjata.

'Kclak kclek cklek'

Aku berhasil melepaskan tanganku yang di genggam oleh orang gemuk itu namun pintu itupun terbuka dan baru saja lepas cengkraman orang gemuk ini, 3 orang masuk kedalam ruangan. Kukira 2 orang namun ternyata dugaanku salah. mereka berdiri di muka pintu dengan tatapan kaget. Diantara mereka terdapat orang yang berambut pirang yang melumpuhkanku pertama kali.

"OY... DIA KABUR!"

"AGUS... KASIH TAHU YANG LAIN KALAU ANAK ITU LEPAS!"

Salah satu dari mereka memerintahkan si rambut pirang itu untuk memberitahukan yang lain.

Gawat. Kalau aku tidak cepat-cepat bisa keluar dari tempat ini. Teman-teman mereka akan datang lebih banyak lagi.

Dua orang itu langsung mengejarku. Aku tidak memiliki banyak ruang gerak hanya bisa mundur. Namun tidak berapa lama kemudian mereka langsung rubuh dengan kepala berlumuran darah.

Tinggallah seorang diri si rambut pirang yang menodongkan pistol bermoncong panjang. Kurasa pistol itu memiliki peredam suara dan kurasa dia baru saja berkhianat dengan membunuh temannya sendiri.

Aku terdiam melihat aksi pengkhianatan rambut pirang ini. apa yang sebenarnya dia pikirkan sampai mengkhianati temannya?

"Apa maumu?"

Aku bertanya pada rambut pirang itu sambil mengangkat kedua tanganku sebagai isyarat "menyerah". Aku merasa dia bukanlah musuh, setidaknya karena dia membunuh kedua temannya dengan santai.

"Memeriksa keadaanmu, tapi tampaknya kau baik-baik saja."

"Maksudmu?"

"Hah... kamu ini curigaan sekali."

Dia menghela nafas dan kemudian menurunkan todongan pistolnya.

"Tenang saja, sekarang aku bukanlah musuhmu. Tapi tindakanmu barusan merupakan kesempatan bagiku untuk mendapatkan kepercayaan mereka."

"Maksudmu?"

Aku masih bingung dengan sikap si pirang ini.

"Pokoknya aku bukanlah musuhmu."

Diapun mendekatiku dan kemudian mengangkat pistolnya.

'Pshew'

Kepala orang gemuk yang sedari tadi enak-enakan tiduran langsung tembus dibolongi oleh sebutir peluru yang di tembakkan dari jarak yang sangat dekat. Peluru itu menembusi kepalanya hingga belakang.

"Ah. Maaf, seharusnya aku tidak memperlihatkan pemandangan mengerikan seperti ini."

"Tidak apa, aku sudah biasa."

Akupun mengelap darah yang sempat muncrat ke wajahku. pakaianku juga terkena noda darah orang gemuk itu, cukup menjijikkan mengingat apa yang tadi ia perbuat padaku di dalam mimpinya.

"... anak abnormal, ya..."

Aku tidak sadar kalau si pirang itu memandangku dengan tatapan aneh.

"Apa?"

"Ah, bukan apa-apa kok. Sekarang sudah jelas kalau aku bukanlah musuh, kan?"

Aku sedikit penasaran dengan ucapannya barusan.

"Hmmm... yah. Setidaknya aku tahu kau bukan musuh, dan jelas kau memiliki tujuan lain."

"Tujuanku adalah rahasia, tapi kau boleh tahu kalau aku ini adalah agen BIN."

"BIN?"

"Badan Inteligensi Negara."

Ia kemudian memperlihatkan lencananya yang belum pernah aku lihat, tersembunyi di balik jaketnya. Meskipun pakaiannya kayak preman, ia ternyata agen yang menyamar.

"Ehm... jadi.... Om adalah agen yang menyamar?

Akupun mulai berbicara dengan sopan. Setidaknya karena dia telah menyelamatkanku maka aku harus berlaku sopan. Lagipula dia lebih tua dariku.

"Ya, begitulah. Ngomong-ngomong, bagaimana caranya kau bisa kabur?"

"Dengan kunci yang om beri..."

Akupun memperlihatkan kunci yang kupakai untuk membuka pintu tempat aku dikurung.

"Hmmm... aku sama sekali tidak masuk keruanganmu, apa lagi memberimu kunci."

"Eh?"

Aneh. Jadi siapa yang memberikanku kunci dan kertas peringatan ini?

"Sudahlah, cepat kau pergi dari tempat ini. Tidak lama lagi tempat ini akan menjadi tempat yang paling berdarah.

asukanku akan bergerak malam ini."

"Maaf om..."

"Agus"

Ia memperkenalkan namanya

"Agus?"

"Yap, Agus. Panggil aku Agus, "

"Itu nama aslinya, om?"

Aku curiga kalau nama Agus sama sekali bukanlah nama asli pria berambut pirang ini. rambutnya memperlihatkan kalau setidaknya dia sama sekali bukan orang Indonesia, Meskipun dia sangat fasih berbahasa Indonesia.

"Ahahahaha... hebat juga kau, sayangnya nama asliku rahasia, tidak ada seorangpun yang boleh mengetahui nama asli seorang agen rahasia."

"Hmmm..."

Aku hanya bisa manggut-manggut.

"Kau sendiri. Kenapa kau datang ke rumah kosong tempat kami menunggumu?"

"Rahasia, om masih belum bisa kupercayai sepenuhnya."

Agus menghela nafas sambil mengurut keningnya, sepertinya dia termakan dengan peraturan yang ia buat sehingga akupun merahasiakan tujuanku karena dia sendiri merahasiakan nama aslinya.

"Jadi... tujuanmu rahasia, apakah kau mau ikut denganku atau mau kuantarkan keluar dari tempat ini?"

"Aku akan ikut dengan om."

Agus tertegun mendengar pernyataannku.

"Jika om ingin membuat tempat ini menjadi tempat yang paling berdarah, Maka pastinya om dan teman-teman om ingin membasmi orang-orang ini, kan? Aku akan ikut membantu om"

Agus kaget mendengar jawabanku.

"Oy oy... yang benar aja... membantuku?"

"Ya... aku ada dendam dengan orang-orang yang ada di tempat ini."

Aku tatap kedua bola mata si Agus. Dia pasti tahu kalau aku serius mengatakan hal itu. Agus kemudian menghela nafas sambil menggeleng-geleng kepala.

"Siapa namamu?"

"Ayudiah"

"Yap, Ayudiah. Dengan apa kau bisa membantuku membasmi tempat ini, kau tidak punya senjata kan?"

Dia masih mencoba menurunkan semangatku untuk ikut dengannya.

"Maka beri aku senjata."

Agus kembali menghela nafas menyerah.

"Ya sudah. Ambil pisau ini untuk jaga-jaga. Jangan jauh-jauh dariku dan ikuti perintahku. Diluar sangat tidak aman.

Agus memberikanku sebuah pisau yang berada di pinggangnya, kubuka pisau itu dari sarungnya dan mendapatkan pisau militer yang memiliki bagian belakang bergerigi. Akupun tersenyum mendapatkan pisau sekeren ini.

Kamipun keluar dari ruangan ini yang berisikan 3 mayat. Tapi sebelum keluar, aku menyembunyikan pisau yang diberikan oleh agus dan menyelipnya disisi celanaku dan menutupinya dengan bajuku. Kemudian Agus mengikatku dengan ikatan longgar hanya sekedar untuk menipu orang yang melihat kami, sehingga terlihat kalau aku seakan-akan ditahan dan hendak dibawa ke suatu tempat.

Diluar ruangan kami beberapa kali menemui orang yang berpakaian preman sedang berpatroli, kebanyakan darimereka hanya bersenjatakan parang, pistol dan senapan serbu. Beberapa kali wajahku dicolek oleh mereka yang berjaga. Agus pun terlihat tenang sambil sesekali ikut mencolek wajahku.

"Wajahmu manis juga yah? Ehahahaahha."

Agus dengan santainya mengelus wajahku. Sungguh sikap mereka (dan Agus) membuatku gusar, tapi aku harus menahan diri, untuk sementara aku harus mempercayai Agus dan segala rencananya yang rahasia.

Sampailah kami berada di suatu pintu yang dijaga oleh 2 pria berbadan kekar dengan senapan serbu ditangannya.

"Ada urusan apa kau membawa anak ini?'

Tanya penjaga itu.

"Ada yang ingin aku sampaikan sama bos mengenai anak ini."

Pria itu kemudian mengetok pintu,

"Siapa?"

Suara dari dalam menyahut ketokan itu.

"Agus bos, ada yang ingin dia sampaikan katanya."

"Suruh dia masuk"

Kamipun masuk kedalam ruangan itu.

Dingin... terdapat AC yang mendinginkan ruangan ini hingga menjadikan ruangan ini nyaman. Seorang bertubuh tidak kalah kekar dari orang yang berjaga diluar duduk sambil menaruh kakinya di atas meja yang terlihat mahal. Karpet yang terbuat dari kulit macan utuh sampai kepalanya terhampar di lantai ruangan ini.

"Ada apa Agus? Kalau tidak penting maka kepalamu akan bolong."

Si bos yang duduk dengan sombong sambil memainkan Pistolnya yang berkilauan dilapisi emas.

"Aku punya ide bos. Daripada cuman dapat bayaran atas anak ini. Kenapa kita tidak culik juga klien kita yang professor itu? kudengar dia itu ilmuwan penting PSI."

Si bos kemudian menepuk kedua tangannya. pintu dibelakang kami kemudian terbuka. 2 orang yang menjaga pintu diluar kemudian masuk dan menjaga pintu keluar.

Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba ia memanggil penjaga pintunya masuk?

"Mari kita dengar idemu Agus."

Agus berdehem pelan kemudian menjelaskan idenya.

"Daripada mendapatkan uang dengan menyerahkan anak ini. Bagaimana kalau professor yang datang mengambilnya kita culik juga?"

"Maksudmu?."

"Diakan professor dari organisasi yang besar. Belum lagi professor itu pasti memiliki peran penting dalam organisasi tersebut. Sebagai orang penting, organisasinya pasti rela membayar berapapun yang kita minta kalau professor itu kita culik."

"Darimana kau tahu kalau dia berasal dari organisasi besar?"

Sambil tersenyum, Agus menjelaskan.

Dari informanku... Sekali lagi... Anda pasti tahu PSI, bukan?.."

PSI? itukan tempat dimana Papa bekerja. Professor yang menginginkan diriku berasal dari PSI? siapa kira-kira professor itu?

"Hooo.... Para peneliti yang ada di kota kecil ini yah?"

Si bos mengetahui organisasi PSI. papa adalah kepala direktur dari PSI dan bos ini mengetahui sesuatu.

"Kalau tidak salah, kepala direkturnya sudah dibunuh, tapi aku kehilangan 3 orang yang kukirim salah satu dari mereka merupakan orang terbaikku."

Si bos itu menggaruk-garuk kepalanya ketika mencoba mengingat-ingat.

Tapi kalau bos ini tahu... berarti... tunggu dulu aku harus mencoba membuktikannya ...

"Gatot..."

Si bos kemudian melayangkan matanya ke diriku yang duduk di sofa dengan tangan terikat longgar. Pisau yang diberikan Agus padaku ada di pinggangku, tersembunyi di balik bajuku dan aku bersiap menghunusnya jika dugaanku benar.

"Darimana kau mengetahui nama bawahanku, anak kecil?"

Dugaanku betul, si botak itu ternyata ada hubungan dengan orang ini, dan kemungkinan, si bos inilah yang memerintahkan kedua orang yang menyusup untuk membunuh Papa dan Mama.

Langsung aku bebaskan diriku dari tali yang mengikatku dengan sekali tarikan lalu menghunuskan pisauku sambil berlari menuju bos itu. Dialah biang keladi dari pembunuhan orang tuaku.