Chereads / Kakera / Chapter 9 - Little Finger Promise

Chapter 9 - Little Finger Promise

Sebuah kota kecil yang berada di tempat terpencil. dengan hanya 1 jalan raya besar yang menghubungkannya dengan dunia luar dan 3 bus tua yang bertugas untuk mengantarkan para penumpangnya yang ingin keluar dari kota itu.

Bus itu bukanlah satu-satunya kendaraan. Masih ada angkutan umum seperti pete-pete.

Meski hanya 2 mobil dengan sopir yang sudah sangat dikenal oleh kalangan penduduk kota tersebut. Sungguh kota kecil ini sangat sederhana dan damai.

Sebuah kantor polisi dengan 1 mobil patrol butut yang tak pernah dipakai karena mesin yang sudah tua dan rusak sehingga tidak dapat dinyalakan lagi mesinnya, dan tak satupun yang bisa memperbaikinya. Mau menyewa montir di kota besar sungguh rugi melihat betapa tuanya mobil patrol tersebut. Sehingga para polisi berpatroli menggunakan sepeda.

Dalam kesederhanaan para penduduknya hidup dengan tenang dan damai. meskipun Indonesia sedang mengalami masalah sana-sini baik secara hukum maupun ekonomi tapi kota ini tetap baik-baik saja karena sebuah perusahaan yang dikerjakan oleh para ilmuwan yang bernama PSI rela berkontribusi secara materi maupun tenaga untuk membantu para warga di kota kecil ini.

Tak ada yang tahu apa yang mereka perbuat tapi para ilmuwan dari PSI sangat dihormati karena kontribusi mereka. mereka bahkan membuat sekolah baik dari TK, SD, SMP, sampai SMA di kota kecil ini. Hal ini membuat kota kecil ini dapat berkembang meskipun tanpa bantuan pemerintah. Sungguh suatu kota kecil yang sangat terpencil namun damai.

Akan tetapi semua kedamaian itu terusik dengan kejadian pembunuhan seorang guru SD bernama ibu Tini yang ditemukan tewas mengapung di sungai belakang sekolah.

Kejadian itu begitu cepat terungkap karena adanya saksi mata yang melapor yakni seorang anak SD yang disamarkan namanya menjadi Bunga yang ketika itu sedang kebetulan main petak umpet... kemungkinan besar bolos dari kelas.

Bunga bersembunyi dibalik semak-semak saat adegan pembunuhan itu terjadi. Gatot Sausu lah pembunuh biadab tersebut. Ia merupakan guru pengajar di SD kota kecil itu.

Motifnya pembunuhannya tidak diketahui tapi berdasarkan gossip yang beredar bahwa Pak Gatot cemburu kepada Bu Tini karena Pak Gatot juga menyukainya. Keluarga Bu Tini mengutuk tersangka pembunuhan ini. Namun karena kurangnya bukti, media mengambil motif yang berdasarkan gosip belaka tersebut. Sementara keberadaan Pak Gatot masih berstatus buronan yang lari entah kemana.

Tidak ada yang tahu akan keberadaan Pak Gatot. Hanya aku dan Ayudiah sajalah yang tahu. Karena kamilah yang telah membunuh Pak Gatot. Belasan tusukan dan hantaman kapak dibadannya yang tanpa kepala setelah dipotong dengan kapak oleh Ayudiah. Aku yang sempat syok dan muntah karena pada akhirnya tidak tahan dengan darah yang mengalir deras dari kepalanya yang putus dan berbagai isi badan yang terhambur dari bekas amukan Ayudiah yang membuatku muntah sejadi-jadinya.

Ayudiah tampak begitu lain. aku menjadi sangat takut dengan Ayudiah. Tapi aku takut untuk membantah segala permintaannya. Dia memintaku untuk mempercayainya dan aku percaya padanya atas dasar ketakutanku. Aku takut jika aku mengatakan aku tidak percaya padanya maka aku akan bernasib sama seperti Pak Gatot. Tidak berapa lama kemudian setelah aku mengatakan aku percaya padanya kemudian memelukku dia kembali pingsan sambil menyunggingkan senyum dalam tidurnya.

Darah di kepala Ayudiah sudah berhenti, namun bekas lukanya membuat sebagian rambutnya berwarna merah. Aku yang tidak tahu harus berbuat apa hanya terdiam.

Sekitar sejam aku terdiam aku segera mencari perban di kotak obat yang ada di dekat dapur kemudian mengobati kepalanya.

Aku tak tahu kenapa aku menolongnya. Bukankah ini adalah kesempatan yang baik bagiku untuk kabur sebelum Ayudiah sadar?

Tapi entah mengapa secara naluriah dan tanpa akal sehatku aku tetap mengobati Ayudiah.

Secara perlahan perasaan takutku pada Ayudiah mencair. Wajahnya yang tersenyum secara misterius menyiratkan rasa kesepian yang sangat dalam, dan aku hanya terus memandang wajah tidurnya hingga diriku merasa tenang.

Hari sudah semakin gelap. Rumah Ayudiah yang gelap ini membuatku semakin susah melihat sekalipun mataku sudah mulai terbiasa dalam kegelapan. Akupun mulai menggendong tubuh Ayudiah menuju rumahku agar Ayudiah bisa dirawat oleh dan ibu. Sepanjang perjalanan aku berpikir alasan apa yang harus kubilang pada orang tuaku setelah melihat luka dan memar-memar di sekujur tubuh kami.

"Mmm... "

Kudengar Ayudiah dibelakangku mulai menggerung lemah, kelihatannya dia sudah sadar.

"Kiki.... Kita mau kemana?"

Itulah pertanyaan yang keluar dari mulutnya pertama kali, dan kayaknya tidak begitu protes seperti pertama kalinya aku menggendongnya kerumahku.

"Kau sudah sadar? Kita sedang dalam perjalanan menuju rumahku."

Ayudiah hanya terdiam. Akupun terus melangkahkan kakiku menuju rumah.

"Aku tidak berat, kan?"

Tanyanya ketika melihat langkahku mulai sedikit melambat.

"Sedikit."

"Hemp.. Jahat"

Ayudiah langsung menggigit telingaku pelan.

"Aduh"

Akupun mengaduh kesakitan, meskipun sebenarnya gigitan Ayudiah sama sekali tidak sakit. Kelihatannya Ayudiah merajuk ketika aku mengatakan kalau dia itu sedikit berat.

Akupun tertawa kecil karena sikapnya. Ayudiah yang sekarang sama sekali tidak menakutkan. Akupun berjalan menuju rumah dengan disinari lampu jalan.

"Um... Kiki."

"Kayaknya kau suka sekali memanggilku dengan sebutan Kiki ya?"

Aku menyela ketika ia mulai memanggil nama panggilan yang ia berikan. Ayudiah jadi salah tingkah karena kelakuanku.

"Eh, um... tidak apa-apa kan kalau aku memanggilmu dengan nama itu kan?"

"Ahahaha... tidak-apa-apa."

Melihatku tertawa kecil, Ayudiah pun tersenyum. Aku tidak melihat senyumnya tapi aku bisa merasakan kalau di tersenyum di belakangku. Kenapa aku bisa tahu... aku juga sendiri tidak tahu.

"Um... Kiki..."

"Ya?"

"Celanamu bagaimana?"

"Celanaku?"

Akupun melihat celanaku, sedikit basah dan berbau pesing.

Akupun langsung panik.

"Ayudiah!!"

"Y-Ya?"

Ayudiah langsung kaget karena tiba-tiba kuteriaki.

"Berjanjilah jangan kasih tahu siapa-siapa kalau aku habis kencing dicelana!"

Melihat aku memohon padanya, Ayudiah mulai menggodaku lagi.

"Hmm... gimana yah?"

"Ayudiah... kumohon!"

Aku berhenti berjalan sambil menatap Ayudiah yang nyengir di punggungku sambil tertawa kecil melihat diriku yang begitu gelisah.

"Boleh saja. Asal kau juga harus merahasiakan pada orang lain akan segala peristiwa yang terjadi di rumahku."

Sontak aku mengingat kembali peristiwa mengerikan di rumah Ayudiah kembali lagi padaku. mulai dari pak Gatot yang berusaha membunuh kami berdua, aku yang menikam pak Gatot hingga terdapat belasan atau mungkin puluhan bekas tusukan dibadannya, sampai peristiwa dimana Ayudiah memenggal kepala pak Gatot dan menghancurkan tubuh pak Gatot dengan kapak. Tepat ketika pak Gatot mengatakan kalau Ayudiah membunuh teman pak Gatot dan orang tuanya sendiri.

"Bagaimana Kiki?"

Pertanyaan Ayudiah membuyarkan lamunanku. Ayudiah yang begitu menyeramkan ketika membantai mayat pak Gatot terlihat begitu lugu. Aku sendiri tak dapat mempercayai mataku ketika Ayudiah langsung memotong kepala pak Gatot kemudian memporak-porandakan tubuhnya dengan kapak pak Gatot.

"Kiki..."

Menyadari suasana percakapan kami menjadi canggung.

Suara Ayudiah memelan dan mulai lirih.

"Kumohon..."

Dengan suara memelas dan menyandarkan kepalanya di punggungku. Ayudiah mengeluarkan suara lirih.

"Kumohon jangan menjauhi dan membenciku, kumohon..."

Itulah permintannya padaku. Setetes air mata Ayudiah mengalir dan jatuh setelah membasahi pundakku. Dia pasti mengira kalau aku teringat dengan peristiwa tadi akan membuatku menjauhinya.

"Tenang saja, Ayudiah."

Aku tidak akan bisa melupakan pengalaman tersebut, tapi ada yang aneh. Seakan perasaanku mencair melihat wajahnya yang memelas. Aku tidak tahu perasaan ini, aku mungkin sangatlah naif, tapi untuk sekarang ini dia adalah Ayudiah yang paling rentan dan rapuh... tidak seakan ada sesuatu yang mencairkannya, bukankah aku ketakutan seetengah mati melihat tingkah Ayudiah tadi? Dan sekarang... Seakan semuanya hilang begitu saja selama sejam terdiam dan merawat luka Ayudiah di rumah tersebut.

Aku berbalik dan tersenyum sambil menatap wajah Ayudiah, kemudian menjulurkan jari kelingking kananku ke Ayudiah yang masih aku gendong.

"Kaitkan jari kelingkingmu ke kelingkingku."

Ayudiah pun menurut saja. ketika jari kelingking kami telah saing mengait, akupun menyanyikan ritual kecil

"Dengan ini aku akan berjanji untuk merahasiakan peristiwa tadi menjadi rahasia kita."

Dengan janji itu maka kami bertekad bahwa kejadian di rumah itu hanya untuk kami berdua saja.

"Ayudiah... bolehkah aku memanggilmu dengan nama Ayu saja?"

"Ka-kau memanggilku Ayu?"

"Eh... ya.. maksudku kaukan memanggilku dengan nama Kiki. jadi kurasa kau harus kupanggil dengan nama panggilan juga... Tidak suka ya?"

"Suka... suka sekali!"

Ayudiah terlihat sangat senang ketika aku memanggilnya dengan nama panggilan Ayu. Akupun melanjutkan langkahku menuju rumah disertai dengan suara Ayu yang berkali-kali menyanyikan "Kiki dan Ayu... Kiki dan Ayu...". Aku dan Ayu kemudian tertawa bersama karena lagu riang tersebut.

Kamipun akhirnya sampai di rumahku. Ibuku telah berdiri di depan pintu rumah memandangi kami yang pulang telat dengan tubuh penuh memar dan luka.

"Rizki, segera masuk dan mandilah, tubuhmu begitu kotor."

Raut ibu tidak menandakan sedikitpun ekspresi wajah marah ataupun khawatir karena keterlambatan kami, ia hanya langsung menyuruhku masuk dan segera membersihkan diri.

Aku tak bertanya lebih lanjut dan bersyukur karena hari ini ibu tidak terlalu cerewet menginterogasiku seperti biasa kalau terlambat.

"Nak Ayu, sini biar tante rawat lukamu."

Ayudiah mengangguk dan membiarkan ibuku merawat luka dikepalanya.

Aku sendiri segera mandi, tubuhku yang kumal kubersihkan dengan air dingin yang ada di bak. Beberapa kali aku meringis kesakitan ketika air dingin itu membasuh luka memarku meskipun sebenarnya lukaku memang tidak separah Ayudiah yang sampai berdarah kepalanya karena menghantam tembok.

Selesai mandi, aku langsung ke ruang tamu, dimana aku melihat ibu sudah selesai membalut kepala Ayudiah dengan perban. Melihatku keluar dari kamar mandi, ibu memanggilku. Akupun mendekati ibu dan duduk di sebelahnya.

"Bu, Aku dan Ayu..."

Aku mencoba hendak menjelaskan kenapa kami telat pulang dan luka-luka. Dan tentu saja aku tidak menjelaskan apa yang terjadi di rumah Ayudiah. Aku telah berjanji padanya untuk menutupinya.

"Sebelum itu, ada yang ibu ingin sampaikan pada kalian."

Ibu lebih dulu memotong penjelasanku. Dan dari penjelasannya akupun tahu kenapa sedari tadi ibu begitu pendiam.