"Pagi yang cerah"
Aku bangun pagi dengan semangat baru.
"Pagi papa, Pagi mama"
Aku memberi salam kepada 2 tubuh yang mulai berubah menjadi sangat keriput, kurus dan sedikit berair.
"Maaf membuat papa dan mama menemaniku selama ini."
Aku bangkit dari tempat tidur kemudian mencoba menggendong Mayat papa kebagian belakang rumah. Disana aku segera menggali sebuah lubang untuk tempat peristirahatan ayah. Mayat papa yang sudah mulai mengalami dekomposasi, beberapa belatung mulai menggerogoti. Aku tak merasa jijik sedikitpun. Aku sudah mulai terbiasa.
Sejak aku membunuh 2 orang yang membunuh papa dan mama. Aku tak merasakan apa-apa dari bau mayat dan amisnya darah.
Kubersihkan belatung yang melekat kemudian memandikan tubuh papa dengan air hangat yang telah aku siapkan. Kubasahi tubuhnya bersama dengan baju terakhirnya. Setelah selesai, papa kubungkus dengan kain gorden rumah yang telah kusediakan kemudian dengan rakitan katrol sederhana yang aku buat, kuturunkan ayah secara perlahan-lahan kemudian menutupinya dengan tanah.
Aku tak tahu bagaimana cara mengubur dengan baik dan benar. Tapi setidaknya aku pernah melihat sedikit praktek menguburkan seseorang ketika aku di bawa ke acara pemakaman teman papa.
"Ayudiah, semua orang pasti akan merasakan mati. Hiduplah dengan memberi kebahagian bagi orang lain kemudian matilah dengan diiringi tangisan para pelayatmu."
Itulah pesan papa waktu itu. Sampai sekarang aku masih tidak mengerti artinya, tapi aku yakin artinya sangat berarti. Akupun melakukan hal yang sama ketika menguburkan mama.
Tak tertahankan lagi air mataku jatuh.
"Ayu sayang, engkau adalah putriku yang paling manis dan paling cantik."
Pujian mama begitu sederhana tapi sangat menyentuhku.
"Ayu sayang, kau bukanlah anak kandung kami. Tapi biarpun begitu engkau adalah buah hati kami yang sangat berharga."
Itulah yang mama ucapkan ketika kita berkumpul di meja makan ketika aku berumur 7 tahun, mama adalah orang pertama yang buka mulut ketika hendak mengatakan kalau aku hanyalah anak angkat. Dengan penuh kehati-hatian tutur kata dan sambil menahan air mata yang menumpuk di pelupuk matamu, engkau mengatakannya ketika kita sedang berkumpul di meja makan.
Awalnya aku kaget. Aku sempat bertanya siapa orang tua kandungku tapi kalian tidak mengetahuinya. papa dan mama hanya tahu bahwa kalian menemukanku di depan pintu rumah yang ketika hari sedang hujan deras. Tapi aku tak peduli dengan detil orang tua yang membuangku. Cukup kalianlah sebagai orang tuaku satu-satunya.
Selesai aku mengubur mereka. aku segera bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Uang dari celenganku masih lebih dari cukup untuk membuatku bertahan selama beberapa bulan kedepan selama aku berhemat. Setelah itu aku harus mencari cara untuk mencari pekerjaan. Mungkin sebagai tukang cuci tetangga sebelah cukup untuk membeli nasi bungkus dan segelas air mineral. Tapi untuk sekarang kurasa aku harus fokus untuk sekolah agar aku bisa bertemu dengan Kiki.
Setelah bersiap-siap. Kuambil sepotong roti dan kuoleskan selai coklat hazelnut yang sisa setengah dalam botol kemudian menyiapkan seragam sekolahku. Akupun berangkat dengan riang kesekolah pada jam 11.00 siang
"Mie Goreng plus nasi, mienya 2 bungkus plus nasi."
Aku memesan makanan kepada mbak penjaga kantin sambil menyerahkan uang Rp.6000.
Sebungkus Mie harganya Rp. 2500 dan nasinya Rp.1000.
Aku menunggu pesananku selesai sambil duduk santai di bangku panjang yang diduduki sekitar 4 siswa.
Ruangan yang sempit dan penuh sesak yang mirip seperti gubuk kecil tidak membuat kantin ini kehilangan pelanggannya.
Mau diapa, hanya inilah satu-satunya tempat tempat makan yang ada di sekitar sekolah, lagi pula tadi pagi aku bangun kesiangan sehingga lupa makan pagi.
"Yo, Rizki. Katanya kau mau kasih lihat pistol yang kau beli kemarin, mana?"
Salah satu teman kelasku bertanya padaku akan pistol mainan yang kubeli kemarin. Pistol yang disita oleh orang tuaku.
"Disita oleh orang tuaku, bro."
"Ah, payah kamu."
Teman kelasku itu kemudian pergi dengan kecewa. Ah kenapa jadi begini? Padahal niatnya aku ingin menyombongkannya pada teman-temanku. Mainan seperti itu lumayan langka di kota kecil ini, belum lagi kudengar pistol itu sudah dilarang beredar di kota besar karena berbahaya.
Tidak lama kemudian pesananku datang. Semangkuk mie goreng isi dua porsi beserta nasi putih di piring yang satunya. Segera kulahap pesananku sampai habis lalu masuk kelas untuk menunggu pelajaran selanjutnya.
"Jam kedua pelajaran hari ini adalah matematika."
Aku lihat jadwal yang kucatat dalam catatanku. sambil melihat jam dikelas. Jarum panjangnya berada di angka 5 dan jarum pendeknya agak lewat dari angka 11.
"Jam 11. 25 ya? Sisa 5 menit lagi"
Tidak berapa lama kemudian seseorang masuk dengan baju dinas lengkap, Tinggi, kekar, botak mulus dan berkumis sambil memegang mistar kayu. Pak Gatot. Teman-teman di kelasku pun mulai berbisik.
"Kok yang masuk pak Gatot? Bukannya yang harusnya masuk adalah ibu Tini?"
"Mati aku, pak Gatot yang mengajar. Dia kan galak sekali."
"Untung aku sudah kerja PR ku. Kalau tidak aku tanganku pasti akan bengkak."
Aku hanya diam sambil mendengar suara-suara temanku yang mengeluh dan protes karena guru yang mengajar tidak sesuai dengan jadwal dan juga tidak diharapkan karena kegalakannya.
Aku? Aku sama sekali tidak khawatir. PR ku sudah kukerjakan dan selama aku tidak macam-macam dikelas. aku tidak akan diapa-apakan pak Gatot.
Setelah Pak Gatot duduk di meja guru ia pun menyampaikan beberapa pengumuman.
"Ehm. Ibu Tini tidak bisa mengajar hari ini dikarenakan sedang ada masalah keluarga sehingga aku yang akan menggantikan beliau."
Kudengar teman-temanku mulai berbisik satu sama lain.
"Ah, pasti masalah tentang pacarnya Ibu Tini. Kudengar Ibu Tini dan pacarnya sedang melarikan diri karena hubungan mereka tidak direstui keluarga Ibu Tini" Cerita siswa cewek di belakangku.
"Eh?! Yang bener?" kata siswa cewek di dekatnya.
"Sumpe lo!" kata cewek yang satunya lagi.
"Dan kudengar mereka Kawin lari dan hidup di kota besar. Pacarnya itukan orang kaya." Kata Siswa cewek itu lagi
"Yang bener?!" kata cewek yang didekatnya
"Sumpe lo!" kata cewek yang satunya lagi.
Siswa cewek SD jaman sekarang. Gosipannya sudah kayak level Infotainment di TV. Rusak bener, tapi tentu saja aku hanya berceloteh dalam hati, karena jika aku katakan apa yang ada di pikiranku barusan sampai kedengaran siswa cewek dibelakang. Bisa tamat riwayatku dicakar-cakar oleh mereka.
'PTAK'
"DIAM SEMUA!"
Pak Gatot menghantamkan mistar kayunya di atas meja. Kami semua terdiam ketakutan. Seketika suasana kelas sudah sunyi senyap.
"Aku yakin minggu lalu Ibu Tini sudah memberikan kalian PR. Aku akan panggil menurut nomor absen kemudian kumpulkan buku berisi PR kalian diatas meja."
Satu persatu nama-nama temanku dipanggil. Merekapun bangkit sambil membawa buku catatan berisi PR mereka. Beberapa yang kuduga belum kerja segera bangkit dan mengumpulkan catatan mereka. kayaknya mereka berhasil mengerjakan PR mereka dengan segala cara di menit-menit terakhir. Memang luar biasa Power of Kepepet.
Dari nama-nama yang dipanggil kudengar nama Ayudiah Widyadara. Kulihat tempat duduknya yang kosong. Kelihatannya dia tidak hadir hari ini. Mungkin dia masih merasa kurang baikan karena luka di tangannya itu.
"Pak. Ayudiah kalau tidak salah sakit pak."
"Kalau tidak salah?"
Pak Gatot menatapku dangan mata melotot.
"Kemarin aku bertemu dengannya dan dia habis terluka karena digigit anjing."
Teman cewek sekelasku tiba-tiba menatapku dengan aneh.
Dan kudengar sebagian dari mereka saling berbisik.
"Eh… Rizki kok bisa tahu keadaan si dia?"
"Dia?"
"Si Ayu, dasar dodol kamu"
"Ehehehe."
"Mungkin memang tidak sengaja ketemu?"
"Atau mungkin si Rizki lagi Pedekate sama si Ayu?"
Itulah sedikit percakapan yang sempat kutangkap dari para siswa cewek itu. Dasar calon ibu-ibu penggosip.
'PTAK'
Suara mistar pak Gatot menenangkan suasana kelas kembali. Pak Gatot sedikit terdiam sambil memandangi absen. Tidak berapa lama kemudian kulihat gerakan tangannya memberi tanda pada absen.
Dia memberi tanda coret di absennya. Ayudiah diberi tanda tidak hadir. Bener-bener ini Pak Gatot. Sayangnya aku tidak cukup berani untuk mengutarakannya.
Tidak berapa lama kemudian Ayudiah muncul dari balik pintu.
Kami semua memandanginya. Pak Gatot juga memandanginya.
"Maaf, Aku telat."
Sunyi sejenak. Seluruh perhatian kelas kini teruju pada Ayudiah yang baru saja datang terlambat sampai-sampai kebablasan di jam kedua pelajaran.
"Namamu sudah kucoret dari Absen. Keluar dan berdiri di depan kelas sana!"
Ayudiah pun menurut saja perintah dari pak Gatot dan keluar dari kelas. Sungguh tidak beruntung nasibnya.
"Rizki, Rizki Armawan."
"Aku pak."
Segera kubuka ranselku kemudian mengacak isi tasku untuk mencari buku catatanku yang berisi PR yang kukerjakan semalam.
Tidak ada. Mati aku, kok tidak ada?! Aku harus ingat-ingat dulu dimana aku menaruh catatanku.
Buku catatan yang kurasa kutaruh dalam tasku tidak ada. Padahal PR yang sudah kukerjakan semalam dengan penuh perjuangan memeras otak… ehmm… lebih tepatnya perjuangan memeras otak agar dapat pinjam catatan dan contekan teman dalam waktu sekejap. Aku mencoba mengingat hal-hal apa saja yang kulakukan tadi pagi sebelum berangkat sekolah.
"Oy. Rizki! Cepat pakai bajumu, Sudah jam 06.30!"
Kuingat suara ibu meneriakiku, aku segera memakai pakaianku. dan merapikan meja belajarku.
"Merapikan meja belajarku." Aku terantuk di satu kalimat yang kuucapkan.
Aku hanya merapikan meja belajarku, tapi tidak memasukkan buku catatan yang berisi PR kedalam tasku. Aku bisa melihat dalam pikiranku sebuah buku catatan yang berisi PR ku tertata rapi di atas mejaku. Buku itu diam… dan tetap terdiam manis di meja belajarku..
Akupun kembali dari ingatanku menuju realita yang sangat kejam. Semua harapan telah musnah. Aku akan menghadapi amarah Pak Gatot.
"Kenapa semua ini bisa terjadi padaku oh tuhan" Teriakku dalan hati.
Akupun berjalan dengan pasrah menuju meja Pak Gatot.
Tanpa membawa apa-apa.
"Mana PR mu?"
"Lupa pak." Kukatakan sambil memasang senyum yang dipaksakan.
'PTAK.'
***
Aku menunggu di luar kelas karena habis diusir dari kelas. Aku sempat melihat kearah Rizki sebelum aku diusir keluar oleh pak Gatot.
Ah. Sungguh suram hari ini. Aku tahu aku pasti akan telat. Tapi aku tak pernah menyangka akan dikeluarkan dari kelas. Aku kira guru yang mengajar harusnya perempuan. Kalau tidak salah namanya Ibu Tini. Tapi kenapa si botak yang ada di dalam kelas?
Setelah menghela nafas dan tetap berdiri di dekat dinding kelas, seandainya ada bangku maka aku akan duduk tapi karena tidak ada jadi aku berdiri saja. Beberapa siswa dan guru yang lewat tahu kalau seorang yang berada di luar kelas berarti sedang dikeluarkan dari kelas. Hal itu sedikit membuatku malu karena dilihat oleh mereka.
Tidak lama kemudian pintu kelas terbuka. Seorang siswa keluar dengan tangan yang sedikit memar.
"Eh, Kiki!?"
Aku kaget melihat Kiki keluar dari kelas. Ia kemudian berdiri di dekatku sambil menyandarkan dirinya di tembok.
"Ehehe… kita senasib."
Kiki tertawa sampai giginya kelihatan sambil sesekali mengusap-usap tangannya yang memar. Kelihatannya dia juga kena usir oleh si botak, pak Gatot. Tangannya pasti kena pukul mistar kayu yang ada dimejanya.
"Kenapa kau dikeluarkan dari kelas, Kiki?"
"PR ku ketinggalan dirumah."
Ia menggaruk-garuk kepalanya ketika mengatakan bahwa PR-nya ketinggalan.
"Kau sendiri kenapa bisa sampai telat sekali datang ke sekolah? "
Pertanyaannya cukup sulit untuk kujawab. Tentu saja aku tidak mungkin mengatakan bahwa aku telat karena habis menguburkan mayat kedua orang tuaku.
"Ehm…. Aku ada urusan penting yang harus kulakukan tadi
pagi."
Mulut Kiki membentuk huruf O dan dia tak bertanya lebih lanjut.
"Suit suit, ada pasangan kena hukuman ni yeee, mesra amat"
Sekumpulan siswa yang lewat menggoda kami. Aku hanya cuekin mereka meskipun jujur saja ada perasaan malu berdiri berdua seperti ini. Aku malu karena mereka mengatakan hal itu. aku kan hanya temannya, tapi rasanya aku tidak keberatan kalau aku nanti bisa pacaran dengan Kiki. Tapi diakan teman pertamaku. Dan juga aku tidak tahu apakah dia menganggapku sebagai temannya. Belum lagi masa' masih kecil, apa lagi masih anak SD pacaran.
Suka sih suka tapi tidak juga selebai yang dikatakan mereka. papa dan mama juga pasti akan melarangku karena katanya aku masih terlalu muda untuk itu.
"Bagaimana lukamu?"
Kiki kembali menanyaiku, menghiraukan gurauan para siswa yang lewat.
"Sudah sembuh kok. Perbannya sudah kubuka."
Aku memperlihatkan tanganku. luka gigit itu sembuh dan meski menyisakan bekas luka, sungguh penyembuhan yang cepat untuk sebuah luka gigit seperti itu. Kiki pun kembali membuka mulutnya dan membentuk huruf O.
"Kau sendiri. Tanganmu bagaimana?"
Aku mencoba kembali bertanya padanya, diapun mengulurkan tangannya yang kena hantam mistar pak Gatot yang selalu aku sebut si Botak.
"Tidak apa-apa kok. Cuman sedikit nyut-nyut."
Kini giliranku yang membuka mulutku dan membuat huruf O, tapi entah kenapa si Kiki tertawa nyengir tidak jelas.
"Ke-kenapa, ada yang lucu?"
"Ehm… tidak, cuman mulutmu lucu tadi."
"Eh?"
Aku mencoba meraba mulutku. aku mengira ada yang aneh di mulutku, apakah ada sisa selai di mulutku, atau apa? Kiki makin tertawa melihat tingkahku, tentu saja aku menjadi salah tingkah.
"Kenapa sih kamu mengetawain aku?"
"Habisnya, kau megang-megang mulutmu, yang tadinya kubilang lucu itu mulutmu ketika membentuk huruf O."
"Tapikan, tadi mulutmu juga kayak gitu!"
Kamipun terdiam. Tidak lama kemudia meledaklah tawa kami. Sampai-sampai air mata kami keluar karena saking lucunya. Ternyata mulut O Kiki begitu lucu jika aku ingat-ingat. Dan kayaknya Kiki juga merasa lucu ketika aku membuat bentuk O pada mulutku. aku berusaha tertawa seelegan mungkin karena tidak pantas untuk seorang cewek tertawa lepas tanpa kendali. Sementara itu Kiki terus-terusan ketawa sambil menahan perutnya.
"Kemarin kau bilang kalau aku adalah teman pertamamu. Kok bisa?"
Sesudah kami tertawa lepas tadi. Akhirnya Kiki bertanya lagi. Jujur saja pertanyaan itu juga cukup sulit untuk kujawab. Dia langsung menanyakan pertanyaan yang tidak terduga.
"Itu karena…"
Aku tidak tahu mau jawab apa. Aku juga tidak tahu kenapa aku memilih dia sebagai teman pertamaku. Sejak kejadian dia mencoba menolongku. aku mulai memperhatikannya ketika dia membawaku ke rumahnya, ketika dia mengantarku pulang kerumahku dan semakin menjadi-jadi rasa perhatian ini sejak aku memperkenalkannya pada papa dan mama.
"Kalau menurutku. Teman itu adalah orang yang berada di dekatmu yang jika ia berkomunikasi denganmu kau merasa nyaman. Dan kau masuk dalam kategori itu, Kiki."
Merasa nyaman?... aku mencoba mencerna sendiri apa yang kukatakan pada Kiki. Dan ya, aku memang merasa nyaman ketika menghabiskan waktu bersama Kiki. Tapi aku tak merasakan apa-apa ketika siswa di kelasku mengajakku bicara. Jika hari ini mereka berbicara denganku, belum tentu esoknya mereka mengajakku berbicara.
"Jadi, kau merasa nyaman denganku sehingga kau menganggapku sebagai temanmu… Maksudku teman pertamamu?"
Kiki mencoba menyimpulkan pernyataanku barusan.
"Mungkin begitu. Kau itu unik. Kau menolongku saat aku diserang anjing. Belagak keren dengan pistol mainanmu, meski pada akhirnya aku yang mengurus anjing itu."
"Hah? Maksudmu mengurus anjing itu?"
Sial! Aku keceplosan. aku langsung gugup dan berpikir agar dia tidak pikir-aneh-aneh tentang diriku.
"Ah… Maksudku, mengurus anjing itu agar aku juga bisa melarikan diri. Ehehehe…"
Hampir saja. Kiki yang sedikit heran mencoba menerima saja alasan yang kuucapkan, meskipun alasan yang kuucapkan pasti membuatnya bingung. dia pasti akan kaget jika dia tahu kalau aku sebenarnya membunuh anjing liar itu dengan cutter kemudian menyeret dan membuangnya di semak-semak.
"Begitu yah, maaf kalau aku yang juga langsung lari ketika anjing itu mengejarku. Aku tak menyangka kalau anjing itu kembali lagi dan menyerangmu sehingga tanganmu terluka."
Ah, syukurlah dia berpikir seperti itu. Ketika anjing itu mengejar kiki. Aku juga mengejar anjing itu dan menikamnya. Meskipun anjing itu sempat mencakar tanganku.
"Ah, tidak apa-apa kok. Lagi pula lukanya tidak terlalu parah."
Aku mengelus tanganku yang bekas digigit anjing sembari memperlihatkan senyumku. Tentu saja tanpa memperlihatkan gigiku. Aku masih takut kalau dia melihat gigiku yang ompong.
"Ya, tidak terlalu parah sampai-sampai kau jatuh lemas."
Kiki berkata dengan nada menyindir. Diapun tertawa dan akupun ikutan tertawa karena mendengar ketawanya yang terbahak-bahak, walaupun sebenarnya aku jengkel disindir seperti itu. Aku sungguh merasa senang berada di dekat Kiki. Dialah orang yang kuanggap teman. Aku dan dia saling berkomunikasi dan aku merasa nyaman bersamanya. Tak terasa kami menghabiskan waktu tertawa bersama sambil membuat gurauan hingga bel berbunyi. Si botak itu keluar dan kami kembali masuk ke kelas untuk mengikuti mata pelajaran yang selanjutnya.
Tapi takdir tak begitu baik denganku. Tanganku harus berlumuran darah sekali lagi.
Tidak lama lagi.