Sebelumnya, izinkan aku menceritakan tentang dia. Dia hanyalah murid biasa. Tak ada yang spesial dari dirinya. pertemuan pertama kami secara resmi adalah ketika aku tidak sengaja bertemu dengan anjing liar. Itupun aku telah "mengurusi" anjing itu ketika dia kabur setelah memancing anjing itu untuk mengejarnya.
Seperti yang pernah kukatakan, dia sempat membopong, bahkan menggendongku ke rumahnya. Biasanya tindakan seperti itu aku anggap tidak sopan dan pasti akan membuatku sangat marah. Tapi luka yang kudapat karena anjing itu membuatku sangat lelah. karena darah yang keluar dari tanganku cukup banyak sehingga membuat pandanganku berkunang-kunang.
Dia memang hanyalah murid biasa. Salah satu teman kelasku, meski pada awalnya kami tidak pernah bertukar sapa dan hanya sekedar tahu kalau kami teman sekelas. Tapi semua mulai berubah ketika dia menolongku. dia menolongku saat diserang anjing liar, dia membawaku kerumahnya untuk mengobati lukaku, dan dialah yang mengantarku pulang sampai kerumahku. Tidak ada yang pernah melakukan hal seperti itu padaku selain dia. Dan mungkin hanya dialah yang orang yang dekat denganku sejak semua peristiwa "itu".
Ayah dan Ibunya sedikit aneh tapi lucu. Mereka juga ramah padaku. tapi papa dan mamaku jauh lebih baik dan lebih ramah.
Pada malam itu. Lukaku sudah membaik. Melalui perintah orang tuanya, aku diantar pulang olehnya. Cukup aneh menurutku, karena aku dan dia masih sampai saat itu tidak mengetahui nama masing-masing. Aku dan dia sudah lama bersekolah di sekolah yang sama dan bahkan sekelas. Tapi aku sama sekali tidak mengetahui namanya. Dan kurasa dia juga tidak mengetahui namaku.
Akhirnya kami sampai di rumahku. Dia mengantarku sampai ke depan pintu gerbang rumahku. Aku dapat melihat beberapa gundukan dimana aku mengubur para penyusup itu. Tapi kurasa tak akan ada yang tahu. Sebab aku telah menanam dan menata beberapa bunga diatasnya agar terlihat tidak terlalu mencurigakan.
"Kayaknya orang tuamu sedang keluar ya? Sebaiknya kau menginap saja dirumahku."
Dia yang melihat rumahku gelap mengira papa dan mama sedang keluar. Padahal kenyataannya, papa dan mama ada di dalam. Meskipun hanya tubuh tanpa nyawa.
"Mereka ada kok. Hanya saja aliran listrik rumahku sedang diputus. Tapi tolong jangan bilang ke siapa-siapa."
"Eh? Kok gitu?"
"Pokoknya jangan bilang, termasuk dengan orang lain, Ini jadi rahasia kita!"
Akan gawat jika dia memberitahukan orang sekitar. Kalau orang tahu dan mereka masuk kerumah. mereka akan menemukan mayat papa dan mama, dan aku masih ingin bersama papa dan mama. Nanti aku sendiri yang menguburkan mereka setelah aku mulai merasa dapat melepaskan kepergian mereka. Lagipula aku ingin sekali memperkenalkan dia pada papa dan mama. Karena dialah orang yang kuanggap sebagai temanku. Teman pertamaku.
Dia mengangguk. Kurasa semua akan baik-baik saja selama dia mau merahasiakannya. Tapi entah mengapa aku merasa gugup. Ini pertama kalinya aku membawa orang lain ke rumahku. Dan apakah dia mau menjadi temanku? Aku telah menganggapnya menjadi temanku, tapi aku tidak tahu apakah dia mau menjadi temanku. Ahh… aku jadi mulai deg-degan.
Aku mempersilahkan dirinya masuk kedalam rumah dan mempersilahkan dia duduk di ruang tamu. Aku sudah membersihkan bercak darah waktu aku mengurus penyusup itu. Meskipun ada sedikit noda yang mengeras dan tidak terlalu terhapus. Tapi kurasa kemeraman cahaya takkan membuatnya dapat melihat jelas noda-noda darah itu.
Akupun pergi ke dapur tanpa cahaya. Lilin sudah kutinggalkan di ruang tamu untuk menemaninya. Mataku sudah terbiasa dalam kegelapan. Aku cukup hafal luas rumahku ini. Dimana letak aku menaruh benda-benda.
Aku menyajikan sirup jeruk dengan menuangkan sirup ke gelas kemudian menambahkanya dengan air dengan mudah meski dalam kegelapan, tak lupa kutambah sedikit gula biar manisnya terasa pada sirup bikinanku. Tapi tetap saja aku khawatir. Aku takut nanti kemanisan atau malah keasinan. Aku takut salah ambil antara tempat garam dan gula, meskipun aku hapal tempat dimana aku menaruh letak gula dan garam, tetapi aku masih saja ragu.
Setelah merasa yakin dengan sirup jeruk yang akan kusajikan akan baik-baik saja. Aku sajikan sirup jeruk itu padanya. Ini adalah minuman yang pertama kali kubuat untuk orang lain selain papa dan mama, dan aku tidak menyangka rasanya begitu membuatku gugup.
Diapun meminumnya dengan perlahan. Kuperhatikan dia meminumnya dengan perlahan sampai habis. Rasanya manis dan ada rasa jeruk kan? Tidak asin, kan? Aku perhatikan lekat-lekat wajahnya agar terlihat jika sirupku terasa kemanisan atau malah keasinan. Aku takut salah campur. Melihat ekspresi mukanya biasa saja, kuyakinkan diriku bahwa yang kucampur dalam sirupnya adalah gula dan bukan garam.
"Bagaimana sirupnya?"
"Enak sekali… kamu benar-benar jago buat Sirup!"
"Masa? ehehehe."
Tapi semua itu hanya terjadi diimajinasiku saja. Aku hanya menatap dia yang juga sedang menatapku. Ternyata dia sudah selesai meminum jusnya. Seketika mukaku sedikit terasa panas. Perasaan malu dan gugup yang bercampur. Aku ingin menghapus rasa gugupku dengan tersenyum padanya tapi aku takut ia tertawa melihat gigiku yang ompong. Seketika aku benci dengan diriku sendiri yang terlalu gugup didepannya.
"Ahhh…. Bodohnya aku."
Aku berteriak dalam hati sementara dia melihat keadaan sekitar, melihat semua piagam, piala dan sertifikat yang terpampang di ruang tamu rumah. Diantara piagam dan piala itu terdapat pialaku. Aku berharap dia memujiku. Tapi sayangnya dia hanya sekedar melihat-lihat. Tak ada kata pujian.
Aku sedikit depresi, karena aku tidak tahu apakah sirup buatanku enak atau tidak. Aku kemudian menatap bajuku yang sedikit kebesaran, baju yang kupakai ini adalah baju miliknya. Aku tiba-tiba panik, aku kelihatan terlalu tomboy dengan baju kebesaran dan bergaya kelaki-lakian. Aku harus ganti baju!
"Tunggu sebentar… aku lupa sesuatu."
Aku beralasan lupa sesuatu tapi sebenarnya aku ingin ganti baju yang lebih feminim di hadapannya. Bukannya aku tak suka pakaian yang ia berikan. Tapi rasanya tidak pantas sebagai tuan rumah memakai pakaian yang tidak menarik untuk sang tamu. Tapi bukan berarti aku tak suka pakaian yang ia berikan…. Arrrrghh… kepalaku pusing akan kontradiksi yang terjadi di kepalaku. Tanpa banyak berpikir, aku segera bangkit dan masuk ke kamarku.
Aku sudah tahu segala letak barang-barang kamarku. 3 langkah kedepan lalu menghadap kanan lalu maju 2 langkah maka aku sudah bisa menyentuh lemari di depanku. Letak pakaianku pun sudah kuhafal. Aku tinggal meraba-raba jika ingin mengingat kembali pakaian yang aku cari. Ini pertama kalinya aku membawa teman kerumah. Aku menghayalkan papa dan mama menyambut temanku lalu kami saling berbincang bersama. Mungkin dia akan malu-malu, sama seperti aku yang tidak banyak bicara selama berada di rumahnya. Setelah memakai pakaian yang kurasa cocok akupun berjalan keluar dan membuka pintu kamarku.
'Bruak'
"Ugh keningku."
Aku membuka pintu dengan cepat… dan mungkin sedikit keras. Orang di depan pintuku mengaduh kesakitan.
Sepertinya aku menghantam keningnya ketika membuka pintu.
Dia yang memegang hidungnya yang memerah membuatku merasa bersalah. Aku melukai teman pertamaku. Dan kulihat baju yang kupakai. Setelan baju biru laut dan celana pendek hitam pendek, terlalu biasa, atau bahkan mungkin tidak terlalu matching menurutku.
"Uhhh… aku malu…dan aku ini sungguh bodoh."
Aku memarahi diriku sendiri.
Setelah diam beberapa saat akupun mengajak dia untuk bertemu papa dan mama. Ada sedikit rasa takut jika dia mengetahui keadaan orang tuaku. Tapi aku tetap bersikeras pada diriku. Aku sangat ingin ia bertemu kepada orang tuaku untuk terakhir kalinya. Aku sudah berniat untuk mengubur mereka besok.
Memasuki kamar papa dan mama. Aku dan dia duduk di dekat ranjang papa dan mama yang sedang terbaring disitu.
"Orang tuamu sakit… parah… ya?"
"Iya."
Dia sedikit terdiam, kurasa dia merasa kasian akan keadaan orang tuaku sehingga rumahku terlantar begini.
"Tolong jangan kasih tau siapa-siapa."
Diapun mengiyakan permintaannku.
"Pa, ma. Ini teman aku. Teman pertama aku. Namanya…"
Aku memperkenalkan dia pada papa dan mama. Karena aku tidak tahu namanya, aku berbalik kepadanya sambil memberi isyarat siapa namamu. Sungguh bodoh aku menganggapnya teman tapi aku tak tahu namanya. Dia terlihat sedikit kaget dengan apa yang aku katakan barusan pada papa dan mama.
"Rizki. Namaku Rizki Armawan. Salam kenal."
Dia mengenalkan dirinya kepada papa dan mama.
"Rizki… Rizki… Rizki…. Kiki."
Aku berulang kali menyebut namanya. melihatku memanggil namanya berulang kali sedikit membuatnya menatapku dengan sedikit aneh. Namun tidak lama kemudian ia kembali menatap papa dan mama. Raut wajahnya sedikit berubah.
"Pa-papa dan mama mungkin masih lelah.. mari kita biarkan mereka… Rizki"
Aku segera angkat bicara sebelum terbersit rasa curiga dipikirannya. Sungguh tindakanku sangat beresiko. Aku belum ingin ada yang tahu kalau papa dan mama telah tiada.
"Karena kau sudah tahu namaku. Bolehkah kau juga memberitahukan siapa namamu?"
Dia menanyai namaku. Aku sedikit gugup. Dengan mencoba untuk terlihat tidak gugup aku memberikan namaku. Namun aku malah sedikit tersipu suaraku keluar dengan nada rendah.
"Ayudiah Widyadara… panggil saja aku Ayu"
"Baiklah Ayu."
Dia menyebut namaku… teman pertamaku menyebut namaku.
Mukaku semakin memerah dalam kemeraman cahaya.
"Um. Ini sudah larut malam. Sebaiknya aku pulang. Ibuku pasti khawatir.
"Ah iya. Hati-hati dijalan. Kiki"
Aku menyebut namanya dengan nama lain… uhh, kenapa aku bisa berani sekali memanggilnya dengan nama lain, tapi karena dia sendiri tidak protes, jadi kurasa tidak apa-apa.
Sambil menatap dia pulang kerumah. Aku menatapnya menjauh dan kemudian menghilang ketika dia mulai lenyap dari pandanganku di belokan dekat rumah
"Papa, mama, aku punya sudah punya teman."
Sambil tersenyum kepada bulan purnama. Akupun masuk kerumah dan tidur bersama papa dan mama. Kulit mereka yang dingin dan sangat kasar dan keriput. Serta sedikit bau namun sudah biasa bagiku. Aku tertidur dengan senyum mengembang.
"Papa… mama… Aku punya teman… aku tak sendiri lagi."