Malam itu seorangan anak kecil terbangun dari tempat tidurnya karena mendengarkan suara pintu yang terbuka dari jendela depan rumah. Anak kecil yang bernama Ayudiah itu terkaget karena mendengar suara itu, tapi Ia memberanikan diri untuk memeriksanya.
Terlihat ada dua bayangan yang mengendap-ngendap sambil menyapu seisi rumah dengan cahaya senternya. Ayudiah kecil yang ketakutan melihat bayangan itu segera mencari persembunyian dan berhasil bersembunyi dibawah meja makan tanpa ketahuan.
Kedua bayangan itu mendekati kamar papa dan mama Ayudiah kecil.
"Hey, kau yakin ini rumahnya si Arya Eka?" kata bayangan yang satu dengan suara yang cukup berat."
"Tidak salah lagi. Kau lihatkan tadi papan nama pintu depan yang lewati tadi" kata bayangan yang satu lagi yang kelihatannya jauh lebih kurus dari bayangan yang satunya.
"Kalau begitu, segera kau buka pintu ini. Tugas kita adalah menghabisi keluarga ini kemudian mengambil paket yang disimpan di lemari besi."
"Sabar, sedang kukerjakan. Mencongkel pintu tanpa menimbulkan suara butuh keahlian dan kehati-hatian."
Bayangan yang bersuara berat sedikit membungkuk di depan pintu, kemudian mengeluarkan semacam berbagai perangkat kecil yang ia masukkan ke lubang kunci pintu kamar papa dan mama.
"Apa yang hendak mereka lakukan di kamar papa dan mama?" Itulah yang terlintas dipikiran Ayudiah.
Beberapa menit kemudian. Bayangan yang bersuara berat berhasil membuka pintu kamar papa dan mama.
"Apa yang harus kulakukan?"
Ayudiah kembali bergumam dalam hati sambil mengikuti bayangan itu. sesampainya di depan pintu Ayudiah kecil melihat bayangan si kurus mengangkat tangannya tepat disebelah papa tertidur, sedangkan di samping mama ada bayangan yang satunya.
Di tangan bayangan kurus itu gadis kecil itu melihat sesuatu. Dengan bantuan cahaya bulan yang masuk melalui celah jendela ia dapat melihat apa yang dua orang asing itu pegang.
Pisau.
Pisau itu meluncur... menghujam dan kemudian.
'Zleb'
"Arrrgh"
Papa mengerang kesakitan kemudian mencoba bangkit. Namun tak dapat karena tangan bayangan kurus itu menekan dengan kuat pisau yang menancap tepat di dada papa. Sedangkan mama yang seketika bangun dan melihat papa yang mengerang kesakitan tiba-tiba segera ambruk sambil memegang lehernya sambil mengeluarkan suara yang tak sampai keluar dari mulutnya. Suara itu tertahan di tenggorokan saja karena leher mama mengeluarkan banyak darah yang bermuncratan.
"Awwah. Kau ini terlalu banyak gaya. Lihat nih pakaianku kotor kena darah!"
Bayangan kurus memarahi bayangan yang bersuara berat dikarenakan darah yang mengenai bajunya. Ayudiah kecil melihat banyak bercak darah di sekujur bayangan itu.
"Sori sori, soalnya aku pengen pake cara yang tidak biasa, biar greget gitu."
Ayudiah kecil yang hanya terdiam di depan pintu hanya bisa menatap papa dan mama yang mulai tak bergerak sama sekali. dua bayangan itu mulai mengacak-acak kamar papa dan mama seakan mencari sesuatu.
"Oi, kesini. Ini lemari besinya, cepat buka!"
Si bayangan bersuara berat memanggil bayangan yang satunya sambil menunjuk lemari besi yang tersimpan di dalam lemari.
"Tep"
Tidak sengaja Ayudiah kecil membentur tembok karena mundur tidak sengaja. Kedua bayangan itu langsung menatapku dengan senter yang diarahkan pada Ayudiah kecil.
"Hey. Lihat tuh, ada anak kecil!"
Si bayangan kurus menunjuknya. Ayudiah ketakutan dan ingin lari. Tapi kakinya tak mau bergerak.
"Biar aku yang urus. Cepat kau buka lemari besinya, terus berikan ke Tono di luar."
"Ayo bergerak kakiku! Ayo bergerak!" Pikiran Ayudiah terus memerintahkan kakinya untuk bergerak.
Orang gemuk itu melangkah semakin dekat dan semakin dekat. Ketika tangannya hendak menyentuh Ayudiah, seakan teraliri listrik. Adrenalin menjalar keseluruh tubuh Ayudiah. Iapun langsung saja lari dari depan pintu kamar papa dan mamanya, sedangkan orang yang bertubuh gemuk itu mengikutiku dari belakang dengan pisau di tangannya
"Aku tak mau mati."
"Tapi papa dan mama sudah mati"
"Aku sendiri."
"Aku sendiri lagi."
"Kenapa aku harus sendiri lagi?"
Berkali-kali Ayudiah berteriak dalam hati. Rasa sakit di hati begitu perih ia rasakan, langkahnya semakin berat.
"Haruskah aku diam dan ikut mati ditangan orang-orang ini?"
"Aku akan mati, papa dan mama sudah mati, tapi mereka masih hidup!"
Rasa amarah yang begitu besar tiba-tiba menguasai Ayudiah.
"Takkan kubiarkan mereka hidup. Setidaknya akan kuseret juga mereka dalam kematian."
Ayudiah kecil berlari dengan cepat sampai-sampai orang yang bertubuh gemuk itu kehilangan Ayudiah dalam kegelapan. Sesampainya di dapur, Ayudiah mengambil sebuah pisau dapur kemudian langsung bersembunyi di bawah meja. Ayudiah terengah-engah dan tangannya gemetaran hebat namun ia coba untuk menenangkan diri.
Menghirup nafas kemudian keluarkan. Hirup lagi, keluarkan lagi. langkah kaki bayangan yang mengejarku semakin dekat.
"Cih, cepat juga larinya itu anak, tapi kurasa dia pasti takkan lari jauh."
Dia semakin mendekat dengan meja makan.
"BAAA!"
Dia mengagetkan Ayudiah kecil dengan menjulurkan kepalanya di bawah meja makan. Tapi saat itu juga, seakan sudah bertekad bulat, Ayudiah yang meluncurkan pisau dapur dengan kedua tangan tangannya tepat ke muka bayangan itu.
'Jrek'
Tangan Ayudiah kecil berdengung karena langsung menusukkan pisau ke muka pembunuh itu sedalam-dalamnya. orang yang bertubuh besar itu langsung tersungkur dan tak bergerak lagi.
Tubuh Ayudiah masih bergetar hebat. Ia mencoba mencabut pisau yang berlumuran darah dimuka orang itu dan merangkak keluar dari meja makan itu.
Menatap mayat yang tidak bergerak itu dan wajah pembunuh papa dan mama Ayudiah yang mati karena terjangan pisau Ayudiah. Gadis itu menggenggam-erat pisau itu dan langsung menyabet mayat yang takkan melawan itu.
'Jrass'
Sabetan pertama untuk papa
'Jrass'
Sabetan kedua untuk mama
'Jrass'
Dan sabetan ketiga untuk dirinya.
'Jrass'
'Jrass'
Gadis itu terus mengotori tangannya dengan menyabet-nyabet mayat itu.
Ia belum puas
belum puas.
Ia masih belum puas.
Terlebih lagi, ada rasa yang sangat menyenangkan ketika gadis kecil itu menyabet mayat yang telah membunuh papa dan mama gadis malang itu.
Pisau itu berlumuran darah seperti tangan kecilnya yang juga penuh lumuran darah .
Senyum Ayudiah mengembang seakan merasa sangat puas dan semakin puas ketika menyabet-nyabet orang ini.
"Oy, jangan terlalu sadis!"
Teriakan orang yang satunya lagi mengagetkan Ayudiah. Temannya yang satu terlalu sibuk mempreteli lemari besi yang ada di kamar papa dan mama. Dia tidak tahu kalau temannya sudah mati di tangan mungil Ayudiah.
Ayudiah pun kembali ke ruangan papa dan mama. Ruangan dimana papa dan mama meregang nyawa di tangan para pembunuh itu.
Namun mendengar langkah yang makin mendekat. Gadis itu kembali bersembunyi dengan pelan-pelan agar tak menimbulkan suara. Penyusup itu keluar dari kamar papa dan mama.
Bayangan yang berupa orang itu melewati tempat dimana Ayudiah bersembunyi dimana tubuhnya yang mungil ia sembunyikan dibalik pintu kamarnya yang berada di sebelah kamar papa dan mamanya.
Orang kurus itu langsung menuju pintu depan rumah. Di luar terdapat sebuah mobil sedan dengan seseorang Sopir di dalam mobil itu. dia tidak melihat mayat temannya yang sudah terbujur kaku di ruang makan. Cahaya senternya terlalu fokus menerawang ke pintu keluar rumah.
"Sudah selesai?"
Tanya orang yang ada di dalam mobil sedan yang menunggu di depan pagar rumah.
"Sudah, ini paketnya. Eko lagi mengurus anak kecil yang kebetulan melihat aksi kami. Kami akan balik setelah mengambil beberapa barang berharga untuk tambahan uang jajan."
"Baiklah, kalau sudah selesai segera melapor ke markas."
Setelah menerima paket dari orang kurus itu. Mobil itu melaju pergi.
Orang kurus itu kembali masuk ke rumah.
"Eko, kau dimana?"
Orang itu mulai sadar kalau situasi rumah ini terlalu sunyi. iapun berusaha mencari temannya yang satunya lagi, Sementara Ayudiah mengikutinya dari belakang dengan langkah yang sangat hati-hati.
Pria itu berjalan menuju sebuah meja makan yang menjadi tempat dimana Ayudiah menikam muka teman orang itu.
Lama pria mencari temannya sambil mengarahkan senternya ke sekeliling ruangan. Akhirnya ia menemukan darah yang menggenang dekat meja makan.
"Ah kau... Sudah kubilang bunuhnya biasa saja. Terlalu sadis kau ini..."
Diapun mulai mendekati meja makan itu kemudian terdiam karena menemukan bukan mayat anak kecil yang tergeletak dalam genangan darah itu, melainkan temannya sendiri.
"Paman... kenapa paman membunuh papa dan mama?"
Ayudiah yang telah berdiri di belakangnya berbisik pelan.
Orang itu langsung berbalik dan...
'Creskrek'
Ayudiah yang hanya setinggi pinggang orang itu langsung menyabet kaki orang itu dengan sekuat tenaga sampai kakinya orang itu hampir putus. Bunyi tulang yang patah serta darah segar bermuncratan mengenai baju dan muka mungil Ayudiah. Orang itu pun terjatuh dan menjerit keras.
'AAAAAAAAHHHHHHGGGGG!
Orang itu menjerit sangat keras. Kedua tangannya melepas pisau dan senter yang dipegangnya seraya hendak memegang kakinya yang hampir putus.
Setelah menyabet salah satu kaki orang itu sampai hampir putus, Ayudah menyabet kaki yang tersisa dari orang itu. Tangan Ayudiah serasa berdengung sakit karena memaksakan tenaga untuk menebas kedua kaki orang itu.
'AAAAAAAAHHHHHHGGGGG!'
Rasa sakit luar biasa membuat orang yang baru saja disabet kedua kakinya itu merasa bahwa dirinya berada dalam bahaya yang sangat besar, orang itu mencoba memohon ampun.
"AMPUN... AMPUN... JANGAN BUNUH AKU!"
Ayudiah memandang tatapan memelasnya dengan sinis. Seluruh kebencian tersirat di raut wajahnya yang mungil. Kembali ia mengingat kejadian yang baru saja merenggut papa dan mamanya. Mereka membunuh papa dan mama Ayudiah tanpa ragu sedikitpun, dan kini dihadapannya, salah satu paman pembunuh papa dan mama Ayudiah memelas minta ampun.
"TERUS BAGAIMANA DENGAN PAPA DAN MAMA?
Muka Ayudiah yang begitu menyiratkan kebencian membentak paman itu dengan suara serak karena sambil menangis. Bulir-bulir cairan hangat yang mengalir membasahi pipinya yang kotor karena darah yang muncrat sehingga Air mata bening yang mengalir di pipinya perlahan berubah merah.
"AAAAAAHHHHGGGG... NGHU... HU...HUU...."
Pria tidak bisa menjawab pertanyaan Ayudiah. Ia hanya kembali menjerit seraya menangis kesakitan. Ia ingin berkata tapi tidak bisa karena rasa sakit yang sangat luar biasa.
Ayudiah mulai gusar karena pertanyaannya tidak dijawab.
"KENAPA KAU MEMBUNUH PAPA DAN MAMA?!"
Tanpa menunggu jawaban orang itu, Ayudiah mengayunkan pisau di tangannya dan...
'Crekress'
"AAAAAAAGGGGHHHAAAAAA !"
Ayudiah kembali mengangkat pisaunya sementara orang itu menggeliat untuk memberontak namun tidak berdaya karena rasa sakit yang ia rasakan sama sekali membuatnya tidak berdaya.
'Crekress'
"UAAAAGGGGHAAAAA..!"
Pergelangan kedua tangan orang itu akhirnya putus karena pisau Ayudiah. Darah mengalir dengan deras dari tempat pergelengan tangannya yang terputus. Sambil merasakan sensasi yang unik setiap memotong bagian tubuh orang itu. Air mata Ayudiah terus mengalir deras.
"TIDAK ADA YANG AKAN MENDENGAR JERITANMU... DASAR PAMAN PEMBUNUH!"
Ayudiah membentak orang yang sedari tadi menangis dan berteriak setelah ditusuk kaki dan tangannya oleh Ayudiah.
Dengan suara rendah seakan kehilangan suara dalam rasa sakit yang luar biasa orang itu berkata.
"Kamu juga akan menjadi sama seperti kami jika membunuhku.... Kasihani aku, am-"
'Crepreprepeprek'
Sayatan berat dileher memutus pembicaraan orang itu, menyayat terus hingga kepala orang itu akhirnya putus.
"DIAM... DIAAAAAAAM!!!"
Ayudiah berteriak pada mayat tak berkepala itu kemudian jatuh terduduk lemas diatas tubuh tak berkepala disertai genangan darah disekitarnya.
Air mata gadis itu masih mengalir membasahi wajahnya yang kotor karena noda darah, ia sedikit mendongak keatas menatap langit-langit rumah sambil melemaskan tubuhnya yang lelah ketika menduduki mayat itu. tangannya yang sedari tadi kesakitan mulai bertambah sakit karena terlalu memaksakan diri.
"Papa.... ? Mama...?"
Panggilan gadis itu tidak ada yang jawab.
Papa dan mamanya hanya terdiam di kamar. Tidak mendatangi gadis yang memanggil mereka.
Rumahnya yang besar terasa sangat sepi bersama mayat-mayat ini.
Tengah malam itu juga Ayudiah bangkit dengan mata bagaikan mayat hidup dan mengambil sekop, cangkul dan tangga. Satu-persatu kemudian mengubur kedua mayat penyusup itu di pekarangan rumah. Mayat keduanya begitu berat sehingga Ayudiah kecil harus menyeret mereka keluar sehingga meninggalkan darah yang berceceran di lantai. Ia mengubur kedua mayat pembunuh ini dalam satu lubang. Ia kemudian membersihkan semua noda darah yang berceceran di dalam rumah.
Ayudiah melakukan semua sendirian bersama air mata yang masih saja mengalir, ekspresinya begitu datar bagaikan tak bernyawa karena peristiwa yang begitu mengguncangnya.
Selesainya Ayudiah mengurus mayat kedua mayat pembunuh itu, ia pergi ke kamar papa dan mama. Raut wajahnya yang datar kembali namun menunjukkan raut sedih ketika melihat papa dan mama yang telah terbujur kaku. Sambil mengucek-ngucek matanya yang kembali berair. Ia mulai mendekati tempat tidur papa dan mama yang masih saja tidak bergerak.
"Ayudiah sayang."
Terdengar suara lembut memanggil Ayudiah yang menangis. Dia terkaget dan mempercepat langkahnya arah suara yang berasal dari tempat tidur papa dan mamanya.
Namun...Tidak ada... tidak ada suara... Ia hanya berhalusinasi. Ia begitu berharap setidaknya papa atau mamanya masih hidup. Walau hanya salah satu dari mereka. tapi suara itu hanyalah ilusi dari kepalanya yang sangat menolak kenyataan ini. Rasa sangat kesal dan frustasi memenuhi kepalanya.
Bersama dengan rasa frustasi karena ilusi yang baru saja didengarnya, ia lalu naik ke ranjang papa dan mamanya lalu tidur diantara mereka. dalam tidurnya ia selalu berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Tidak ada gunanya jika aku hidup sendiri lagi, pikirnya.
***
Pagipun menjelang. Ayudiah yang sedari tadi telah bangun membiarkan papa dan mama tetap di tempat tidurnya. Ia lalu mengganti pakaian mereka dengan pakaian yang bersih sedangkan pakaian penuh darahnya ia cuci dengan mesin cuci. Sambil mengganti pakaian mereka, dibersihkannya darah yang melekat di bajunya maupun yang telah merembes hingga ke tubuhnya.
Ayudiah masih tak mampu mengubur papa dan mamanya secepat ini. Ia masih ingin mereka menemaninya di rumah ini meskipun hanya tubuh mereka yang dingin dan kaku yang tersisa.
Ayudiah tetap pergi ke sekolah seperti tidak ada yang terjadi di rumahnya. tabungan yang berasal celengannya lebih dari cukup untuk menghidupi dirinya selama lebih dari beberapa bulan kedepan. Untuk makan pagi masih bisa ia hemat dengan sisa makan yang ada di kulkas, meskipun suatu saat ia akan tetap mengeluarkan uang karena makanan yang ada di kulkas pasti akan basi.
Dan pada akhirnya, cepat atau lambat Ayudiah harus harus merelakan listrik rumahnya karena tabungannya tidak akan cukup untuk membayarnya terus menerus.
Namun pikiran untuk mengakhiri hidupnya masih terus berputar dipikirannya setiap melihat papa dan mamanya.
***
Beberapa hari telah berlalu...
Aku adalah seorang gadis kecil dengan rambut yang hanya sebahu. Dan di pagi hari ini aku pergi ke sekolah dengan langkah yang cukup bersemangat seakan tidak sabar untuk sampai ke sekolah.
Namaku Adalah Ayudiah Widyadara. Kemarin aku sempat terluka, seorang anak lelaki yang belagak jago menolongku. Namun meskipun begitu, dia menggendongku menuju rumahnya untuk merawat lukaku yang sampai-sampai membuat aku hampir pingsan. Sungguh rasa lelahku waktu itu membuatku tidak begitu kuat meski hanya sedikit berdarah. Namun ia kuat membawaku dengan menggendongku sampai ke rumahnya.
Entah kenapa hanya karena perbuatan dan perlakuannya padaku membuatku... sedikit aneh... sehingga aku begitu bersemangat ke sekolah. Seakan-akan perasaan ini timbul setelah peristiwa yang paling mengerikan terjadi. Yakni peristiwa yang merenggut kedua orang tuaku.
Masih ingatkah kalau aku selalu berpikir untuk bunuh diri? Niat itu tak pernah menjadi kenyataan, karena... Dia seakan memberikanku alasan hidup. Harapan ketika semuanya telah sirna setelah tiadanya papa dan mama. Seperti yang sudah kuutarakan, aku bertemu dengannya beberapa hari yang lalu. Dia adalah teman pertamaku sekaligus orang yang membuat hatiku sering berdebar-debar setelah apa yang dia perbuat padaku.
Aku memperkenalkan dia dihadapan papa dan mama. Dialah Rizki Armawan, yang kupanggil Kiki saat aku memperkenalkan ia pada papa dan mama.