Menjelang ibu selesai menyiapkan makan malam. Dia, perempuan yang kutolong keluar dari kamar tamu dan menatap kami dengan bingung. Sepertinya dia sudah cukup membaik. Perban di tangannya terlilit rapi dengan rembesan merah betadine.
Sambil tersenyum aku mempersilahkannya duduk di kursi meja makan.
"Duduklah, kita akan makan malam."
Dia mengangguk namun sedikit ragu menyambut ajakanku dengan duduk di kursi kosong meja makan. Sepanjang kami makan malam. Ayah dan ibu saling bercerita akan kegiatannya pagi tadi. Ayah bekerja sebagai seorang satpam di suatu perusahaan bersama ibu yang merupakan seorang ilmuwan di perusahaan tempat ayah menjadi satpam. Sungguh pasangan yang sangat... tidak disangka menurutku. Tapi mau diapa... mereka adalah orang tuaku. Dan... meski aku sedikit malu akan keanehan orang tuaku, aku cukup bangga kepada mereka yang bisa menghidupi aku dan keluarga kecil ini.
Aku tak punya kakek maupun nenek, ataupun saudara-saudara kandung. Ayah dan ibu adalah yatim piatu tapi mereka hidup dengan bahagia. Hal itu bisa dilihat dari keseharian yang setiap hari aku jalani. Dan salah-satunya adalah ketika ia menyambutku ketika sedang mengendong seorang anak perempuan dibelakangku.
***
"Antar dia pulang kerumahnya!" Perintah Ibu.
"Heh?!"
Setelah makan malam, Ibuku mengeluarkan perintah untuk mengantarkan dia pulang ke rumahnya.
"Tapi bu, diluar sudah gelap?"
"Orang tuanya pasti khawatir, belum lagi dia itu anak perempuan."
"Tidak bisa besok? Biarlah dia menginap disini untuk malam ini."
"No alasan, antar dia pulang!"
Campuran kata no yang artinya tidak, dengan kata alasan yang berasal dari bahasa Indonesia sungguh aneh. Apakah ibuku mau belagak keren kayak bule? Sementara itu aku menengok kearah perempuan itu yang merupakan teman kelasku. Dia menganggukkan kepalanya seakan setuju dengan perintah ibu untuk mengantarnya pulang.
"Tapi aku tidak tahu dimana rumahnya."
"Rumahku berada 4 Blok dari rumahmu... Dekat kok."
Akhirnya dia berbicara setelah hanya diam saja saat makan malam. Aku yang merasa tidak mendapat celah untuk berasalan hanya dapat mengiyakan untuk mematuhi perintah ibu.
Seusai makan malam, aku mengantarkannya pulang. Sepanjang jalan terdengar lolongan anjing liar. Maklum tempat dimana kami tinggal masih terbilang mirip pedesaan meskipun setahuku ini adalah kota kecil... kota kecil yang terpencil. Banyak tanah kosong dan jalan-jalan yang belum teraspal.
Sekitar 10 menit berjalan aku sudah sampai dirumahnya. Sungguh dekat sekali. Pagarnya cukup tinggi namun aku bisa melihat taman bunga di sela-sela pagar itu.Sayangnya belum ada yang berbunga. Tapi ada yang aneh. Kenapa rumahnya terlihat begitu gelap? Lampunya tidak ada yang menyala. Apakah orang tuanya lagi keluar dan tidak menyalakan lampu?
"Kayaknya orang tuamu sedang keluar ya? Sebaiknya kau menginap saja dirumahku."
"Mereka ada kok. Hanya saja aliran listrik rumahku sedang putus."
"Eh?"
"Tolong jangan bilang ke siapa-siapa."
"Kok gitu?"
"Pokoknya jangan bilang, Ini jadi rahasia kita!"
Dia memohon padaku. Aku diam sejenak bertanya dalam hati. Kenapa dia ingin merahasiakan hal ini?
Berdasarkan dari penampilan rumahnya. Dia bisa dibilang sebagai orang kaya. Namun kenapa aliran listriknya diputus? Apakah ada masalah dengan ekonomi orang tuanya dan ia malu kalau dibilang rumahnya besar tapi listrik tidak mampu membayar?
"Umm... Ok, ya sudah, lagipula aku sudah mengantarmu sampai ke rumahmu, aku balik dulu kalo begitu."
Kurasa meskipun dia sedang dalam masalah. Aku tidak bisa terlalu ikut campur.
"Tunggu dulu... tidak mau kah kau bertemu dengan orang tuaku dulu?"
Memperkenalkan diri kepada pemilik rumah adalah sesuatu yang wajar menurutku, apalagi salah satu anggota keluarganya mengajakku, jadi aku iyakan saja permintannya, lagi pula aku bisa gunakan kesempatan ini untuk minta maaf kepada orang tuanya karena tidak memberi kabar bahwa dia menginap di rumahku.
"Boleh-boleh saja."
Itulah jawabku sebelum aku dan dia masuk dalam rumah. Bagian dalam rumahnya begitu gelap. Aku bahkan tak dapat melihat apa-apa.
"Tunggu disini sebentar. Aku bawa cahaya dulu."
Cahaya yang dia maksud pasti cahaya lilin atau cahaya lampu minyak. Tidak beberapa lama menunggu akhirnya dia keluar dengan sebuah lilin yang ditempelkan pada dasar sebuah piring stainless steel kecil. Dia kemudian menuntunku masuk kedalam rumahnya.
"Duduklah disini sebentar. Aku buatkan minuman dulu."
"Ah... tak usah repot-repot. Aku kan hanya sebentar disini."
Dia tak mendengarkanku dan segera beranjak pergi ke dalam kegelapan yang kurasa dia sedang menuju dapur untuk membuat minuman untukku.
Dalam kegelapan ini aku hanya di temani cahaya lilin yang redup. Sedikit membuatku merinding. Tapi aku takjub juga dengan dia. Barusan dia masuk kedalam rumah mencari lilin untuk jadikan cahaya kemudian kembali lagi ke pintu depan, seakan-akan dia dapat melihat dalam gelap.
Apakah matanya sudah terbiasa melihat dalam gelap?
Tunggu dulu. Kalau begitu, dia sudah lama berada dalam kegelapan malam di rumahnya. Aku jadi kasihan melihat keadaan ekonomi keluarganya sungguh memprihatinkan. Rumah besarnya hanya sekedar hiasan saja.
Tidak berapa lama dia keluar sambil membawa segelas sirup jeruk yang tidak dingin. ya iyalah. Jika listrik tidak ada, maka kulkas ataupun pendingin air dispenser juga tidak berfungsi.
"Maaf aku tidak bisa menyediakan minuman dingin."
"Ah. tidak apa-apa."
Ketika meminum perlahan-lahan sirup yang diberikan. Aku merasa dia dari tadi menatapku yang sedang meminum sirup ini, tapi aku cuekin saja. Setelah itu kami cuma duduk diam. Dia menatap sirup yang aku minum seperti memikirkan sesuatu sedangkan aku melihat keadaan sekitar. Namun karena gelap. Aku tidak dapat melihat apa-apa.
"Silahkan tunggu sebentar... aku lupa sesuatu."
Dia kembali beranjak pergi. Rambutnya pendeknya sedikit menari-nari memantulkan pantulan bayangannya di tembok yang agak kusam ketika dia melangkah. Baju dan celana yang dia pakai adalah pakaian milikku sehingga dia terlihat sedikit lebih tomboy dan sedikit gombrang. Yah, wajar saja kalau dia pakai bajuku, soalnya bajunya kotor dan ada noda darah, jadi ibuku memberikan bajuku sebagai baju ganti untuk dia, tapi kurasa bajuku sedikit kebesaran di badannya. Kulihat bayangannya seperti memasuki suatu ruangan, tapi entah yang mana. Dari kegelapan aku tidak bisa melihat dimana ada pintu.
Aku kembali melihat ruang tamunya sambil membawa satu-satunya lilin untuk melihat sekelilingku. Foto, piala-piala serta piagam terpampang di salah satu lemari. Kulihat berbagai piala-piala yang bertuliskan juara 1 sampai 3 seperti lomba peragaan busana anak-anak, lomba sepeda santai dan berbagai lomba 17 Agustus-an berjejeran di lemari itu.
Di salah satu foto kulihat foto seorang lelaki tegap bersama dengan wanita yang cantik menawan bersama dengan gadis kecil yang tersenyum lebar. Senyuman menawan. Kayaknya yang kecil itu adalah fotonya waktu kecil. Maksudku lebih kecil lagi, sekitar 4-6 tahunan di bandingkan yang sekarang.
Wanita yang cantik menawan itu tidak salah lagi pasti ibunya. Kalau aku perhatikan baik-baik, beliau lebih cantik daripada ibuku. Tidak ada yang mencolok dari pakaiannya kecuali senyumannya yang terlihat begitu bahagia bersama suami dan anaknya.
Adapun foto Lelaki yang di depannya terdapat sebuah meja dengan papan nama sambil memakai jubah lab putih dengan suatu logo yang terpampang di jubah bagian atas kanan yang rasanya sering kulihat. PSI.
Ah. Aku pernah lihat tulisan itu di jubah kerja ibu. Berarti itu adalah tempat dimana ayah dan ibu bekerja tapi aku sama sekali tidak tahu singkatan dari PSI.
"Kepala Direktur: Dr. Arya Eka"
Itulah tulisan yang tertulis di bagian papan pengenalnya.
Apakah orang itu adalah Bosnya Ayah dan ibu? Soalnya ayah dan ibu sering berbicara tentang beliau ketika kami lagi makan malam.
Setelah puas melihat-lihat aku pun mulai berjalan menyusuri isi rumahnya. Dapurnya merupakan dapur mewah. Tunggu dulu. Kalau tidak salah dia ke dapur tanpa bantuan cahaya. Berarti dia bisa membuatkan minuman untukku tanpa bantuan cahaya sedikitpun. Haruskah dia kusebut Gadis pelihat-dalam-kegelapan.
…
Rasanya nama panggilan itu terdengar sangat payah, belum lagi nama itu kayaknya terlalu panjang untuk suatu nama panggilan.
Akupun keluar dari dapur kemudian melihat suatu jalan yang menuntunku ke salah satu lorong rumahnya. aku menemukan 2 pintu di sepanjang lorong itu sedangkan di ujung lorong aku bisa melihat sebuah meja kecil dengan bunga yang di taruh di dalam vas. terdapat papan nama di masing-masing pintu yang tulisan susah dibaca karena kurangnya pencahayaan dari lilin yang kubawa. Di salah satu pintu aku merasa ada seseorang yang melangkah mendekati pintu dari dalam.
Semakin dekat...
Dan semakin dekat...
Aku menunggu langkah itu semakin mendekat. Tepat di pintu dimana aku berdiri, Aku tidak tahu harus berbuat apa dan hanya mematung. Dan kemudian...
'Bruak'
"Ugh... Jidatku..."
Pintu itu terbuka keluar dan langsung menghantam jidatku.
Rasanya jidatku akan benjol.
"Ah maaf, aku tak tahu kalau kau ada di depan pintu"
Untung saja lilin yang kupegang tidak jatuh. Bisa gawat jika lilinnya jatuh kemudian padam. Aku tak bisa melihat dalam kegelapan setelah bermandikan cahaya lilin.
Dia berdiri di depanku sambil memperhatikan diriku yang masih memegang keningku yang masih nyut-nyut. Sepertinya dia habis mengganti baju. Baju biru dengan celana hitam pendek.. Tapi entah aku merasa ada yang kurang karena hanya dapat melihat dengan cahaya lilin sehingga tidak begitu kelihatan.
"Ayo kita ketemu orang tuaku."
Sambil memegang jidatku yang masih nyut-nyut. Aku mengiyakan. Aku mengikutinya ke ruangan yang berada di sebelah kamarnya.
Kami masuk bersama. Kemudian mengajakku untuk duduk di dekat kasur yang dimana diatasnya terdapat dua sosok yang terbaring. Kurasa mereka adalah orang tuanya.
"Orang tuamu sakit... ya?"
Dia diam sebentar kemudian menjawab;
"Iya, sudah beberapa bulan yang lalu."
Aku semakin merasa kasian terhadapnya. Apakah karena penyakit orang tuanya sehingga keadaan rumahnya menjadi begini? Haruskah kulanggar janjiku dan memberitahukan masalah ini pada ayah dan ibu?
Seakan membaca pikiranku dia berkata:
"Tolong jangan kasih tahu siapa-siapa akan keadaan orang tuaku."
Aku hanya diam dan mengangguk mengiyakan permintaannya.
Diapun kembali menengok kedua sosok itu seraya berbicara pelan dan lembut.
"Pa, Ma. Ini temanku. Teman pertamaku. Namanya..."
Aku sedikit kaget dengan apa yang dia katakan. Aku teman pertamanya?
"Rizki. Namaku Rizki Armawan. Om... Tante..."
Orang tuanya tidak menjawab ataupun membalas sapaan kami, mereka terlihat sedang tertidur... pulas. Aku kemudian menengok kearahnya dan dia sedang menatapku dan seakan mengucap namaku berulang-ulang. Seakan tersadar bahwa aku menatapnya, dia langsung canggung dan gugup.
"Pa-papa dan mama mungkin masih lelah.. mari kita biarkan mereka... Rizki"
Itu pertama kalinya dia menyebut namaku. Memang aneh sih selama ini kita tidak pernah menyebut nama bahkan tidak mengetahui nama satu sama lain... Hanya sekedar bilang kamu dan dia. Ah... kurasa dia sama sekali belum pernah menyebutkan namanya.
"Umm... maaf aku belum tahu namamu."
"Ah... bodohnya aku."
Katanya sambil menundukkan kepalanya. Kelihatannya dia malu karena selama ini kita tidak saling kenal. Meskipun sering bertemu di kelas tapi kami tidak pernah berkenalan. Sekalipun nama pernah disebutkan ketika absen. Tapi aku tidak begitu memperhatikan ketika namanya disebut dalam absen. Dan kelihatannya dia juga baru tahu namaku ketika aku langsung memberitahukan namaku pada orang tuanya.
Sedikit tersipu, dengan nada rendah dia mengucapkan namanya.
"Ayudiah Widyadara..."
Suaranya terdengar begitu pelan.
"Baiklah, Ayudiah, salam kenal"
Mukanya terlihat memerah malu namun samar dalam kemeraman cahaya lilin.
Setelah beberapa lama terdiam, dan takut orang tuanya bangun dan melihat aku dan dia dalam keadaan seperti ini aku lanjut bicara.
"Um. Malam sudah larut . Sebaiknya aku pulang. Ibuku pasti khawatir.
"Ah iya, hati-hati dijalan. Kiki"
Kiki?... tidak ada yang pernah memanggilku dengan nama panggilan itu, tapi sudahlah. Biarlah dia memberikanku nama panggilan. Akupun ditemani sampai depan rumah kemudian menyusuri jalan pulang ke rumah.
Hari ini aku dapat orang yang unik yang menganggapku sebagai teman pertamanya. Dia orangnya yang cantik dan manis, meskipun kelihatannya keadaan rumahnya tidak begitu baik.
Tapi entah ada satu hal yang aku rasa aneh. Di kamar orang tua Ayu.. ada bau aneh yang tidak mungkin kuberitahkukan kepada Ayu. Bau yang busuk, Seperti bau... Mayat.