Risa menggenggam pergelangan tangan Arin sangat erat, aku bahkan bisa melihat kulitnya yang halus tertekan cukup kuat.
Meski diperlakukan seperti itu, Arin masih tersenyum lembut dan sedikit menoleh ke arah Risa.
"Ada apa sih, Ris? Tanganku sakit tau?"
"Rin, kamu gak punya malu ya?"
Rin? Apakah Risa memang selalu memanggil Arin seperti itu? Ah, kalau begitu mereka pasti sudah berteman sangat lama.
"Aku gak ngerti deh maksud kamu, aku kan cuma pinjam buku punya Satria. Kenapa jadi kamu yang sewot?"
"Rin, masih banyak temen sekelas kita yang lain, tapi kenapa kamu cuma pinjam ke Satria terus, bukannya ke yang lain?"
Ah, tidak, kejadian di mana Arin meminjam PR milikku sangat jarang terjadi. Sepertinya Risa terlalu melebih-lebihkan.
"Terserah aku dong mau pinjam siapa juga. Lagian Satria gak keberatan bukunya aku pinjam"
Risa memandangku dengan sedikit aura kemarahan. Tubuhku rasanya sedikit merinding dan dingin, bahkan sampai sekarang aku belum bisa menghilangkan rasa takut pada Risa. Dalam kondisi yang memanas ini, aku bisa mendengar teman-teman kelasku berbisik satu sama lain.
"Wah, Arin lagi cari masalah sama Risa"
"Kayaknya bakal ada pertumpahan darah"
"Mau taruhan siapa yang bakal menang?"
"Pasti Risa lah, dia kan jago bertarung"
"Hei, kau melupakan bahwa Arin punya bodyguard sendiri?"
"Wah, serius?"
"Kudengar dia dari kelas 11 D, biasa lah anak cowok yang dimabuk cinta. Disuruh jadi babu pun mau"
Aku senang mendapat beberapa informasi, tapi situasiku semakin berat setelah mengetahuinya. Jika aku terus terseret oleh pertarungan mereka, aku hanya akan berakhir menjadi samsak tinju.
Oh, ayolah, tidak bisakah kita selesaikan ini dengan cara damai?
Aku melirik Ardi yang duduk di sebelahku, dia telah mengambil sebuah sapu dan memainkannya seolah itu sebuah gitar.
"Ehem, selamat pagi nona-nona. Saya akan membawakan sebuah lagu dari band Zivilia berjudul Aishiteru 3"
Setelah mengambil napas sebentar, Ardi melanjutkan.
"Ketika kau marah dan cemburu kau kelihatan begitu cantik, walau terkadang mengesalkan kau slalu bertanya, dan membuatku curiga, kutahu kau~ takut kehilanganku~
Begitupun aku maafkan yang slalu kasar marah padaku, meski tak lagi ada kata cinta terucap, sekedar basa-basi tapi hati~ ku~ masih milikmu~ milikmu~
Cemburu tanda cinta~ marah tandanya sayang. Kalau curiga, itu karena kutakut kehilangan. kalau dekat bertengkar~ kalau jauh kurindu~. Jadi serba salah, membuatku dilema, tapi aku slalu~ Aishiteru(mencintaimu)~"
Braaak!
Nyanyian Ardi berhenti karena mejanya digebrak oleh Risa dan Arin, wajah keduanya memerah.
Ah, sepertinya Ardi telah memicu sumbu peledak keduanya. Rona wajah itu jelas menunjukkan seberapa marah mereka berdua.
Selamat tinggal, Ardi. Aku senang menjadi temanmu. Tenang saja, aku akan menceritakan dongeng tentang keberanianmu kepada anak cucuku kelak.
Aku bisa melihat beberapa orang teman sekelas melihat Ardi dengan rasa kasihan.
Ardi menengok padaku dengan kaku seperti robot, wajahnya sudah dibasahi oleh keringat dingin.
Aku memalingkan wajah dengan sedikit canggung.
Maaf kawan, bahkan aku tidak tahu bagaimana cara mengatasi situasi ini. Aku sangat ingin menolongmu, tapi biarkan aku tertawa puas dalam hatiku lebih dulu.
Meskipun tindakan Ardi seperti menuangkan minyak ke dalam api, sudah tugas seorang sahabat untuk membantu…
Menyiramkan minyak lebih banyak.
Aku tau itu sedikit kejam, tapi begitulah cara seorang sahabat bekerja.
Sungguh, aku sangat ingin tertawa. Tapi mari lakukan itu setelah menolong Ardi.
Aku beranjak dari tempat dudukku, menarik sedikit napas untuk menenangkan hatiku dan mempersiapkan mental.
"Selamat pagi, Pak!" teriakku sambil menghadap ke arah pintu.
Semua orang yang semula terfokus pada kami sekarang beralih menatap pintu masuk kelas dengan serius. Tapi tidak ada seorang pun di sana.
Sekarang semua orang terfokus padaku.
Tidak, jangan memandangku seperti itu, aku tidak pernah berniat menipu kalian.
"Apaan sih, Satria?"
"Iya nih, udah tau hari ini jadwalnya guru killer. Kita lagi tegang nih"
"Betul, betul, betul"
Maaf, bisa tolong tendang keluar yang terakhir itu? Sepertinya dia salah masuk sekolah. Aku tau sebagian teman sekelasku memang suka dengan kartun dan anime, tapi tolong jangan mencampurnya dengan kenyataan.
Yah, meskipun kalian menganggapku berbohong. Aku tidak memiliki niat untuk membuat sebuah kebohongan pada awalnya. Tadi aku benar-benar mendengar suara langkah kaki dari luar kelas, meskipun terdengar sedikit samar, aku berusaha mencocokkan saat yang tepat dengan kemunculan orang itu.
Tapi untuk beberapa alasan, sepertinya perhitunganku meleset, atau mungkin orang itu berhenti melangkah untuk beberapa saat.
Tapi kemungkinan paling tidak ingin aku tau adalah 'dia' bukan orang. Berhubung kelas menjadi sunyi setelahnya, suara derap langkah kaki itu semakin jelas. Kami semua merasa tegang.
Baik yang muncul seorang guru killer atau bukan orang, keduanya menakutkan untuk mereka.
Aku pernah mendengar cerita bahwa sekolah ini dulunya adalah bekas rumah sakit.
Yah, aku tau. Cerita semacam itu memang ada di hampir semua sekolah, bahkan sekolah SMA ini tidak terkecuali.
Serius, siapapun yang membuat cerita itu, aku ingin melayangkan protes padanya.
Dari balik pintu kelas yang terbuka, sesosok bayangan terlihat, ternyata itu hanya Pak Supriadi, satpam sekolah kami.
"Loh, hahaha, kenapa pada melotot semua ya? Saya cuma numpang lewat"
Semua teman sekelasku menghela napas lega.
"Ah, bapak ini bikin tegang aja"
"Saya tadi denger Nak Satria ngucapin salam selamat pagi. Saya kira ada gurunya. Hahahah, maaf maaf. Yaudah, saya pergi dulu"
Entah bagaimana, suasana yang semula tegang karena perselisihan Arin dan Risa ditambah jadwal mengajar guru killer hari ini, berubah menjadi lebih santai setelah kemunculan Pak Supriadi.
Ya, itu hanya sementara, sebelum berubah menjadi kehebohan yang lebih besar.
"Eh? Bukannya Pak Supriadi hari ini ambil cuti karena sakit ya? Lha terus yang tadi siapa dong?"
Aku mengatakan itu tanpa ragu. Ya, aku yang paling dekat dengan beliau, karena itu pagi tadi aku hanya bertemu dengan Pak Imam yg menjadi pengganti sementara.
… Kelas berubah menjadi sunyi. Seperti ketenangan sebelum badai terjadi.
"Aaaaaaaaaaaaaa!"
Kelas menjadi rusuh seketika, beberapa anak perempuan berlarian ke pojok kelas dan saling bergerombol. Pengecualian untuk Arin dan Risa. Risa sepertinya tidak terlalu takut, tapi Arin berusaha keras menjaga kesannya sebagai gadis yang selalu tenang meskipun dia berkeringat dingin saat ini.
Dalam kekacauan, aku melihat Ardi hampir sujud syukur karena berhasil selamat dari Risa dan Arin.
Karena semua begitu ketakutan dan panik, aku mengambil peran untuk memastikan keadaan.
Berjalan dengan tenang menuju luar kelas, berusaha mencari sekeliling dengan saksama, tapi kehadiran Pak Supriadi yang sebelumnya benar-benar hilang seperti hantu.