Saat istirahat makan siang, aku sedang menunggu seseorang di bangku kayu yang terletak di samping lapangan olahraga.
Berteduh di bawah naungan pohon besar, aku menikmati angin sepoi-sepoi yang bertiup lembut.
Sangat jarang bagiku untuk menikmati suasana seperti ini selama istirahat. Untungnya aku telah menyelesaikan tugas yang diberikan hari ini pada istirahat pertama, sekarang setelah sembahyang, aku memiliki beberapa waktu luang untuk menenangkan diri.
Yah, perasaan ini tidak terlalu buruk untukku. Masih ada waktu sepuluh menit sebelum bel masuk berikutnya, aku ingin menghabiskannya tanpa masalah.
Hari ini entah kenapa Risa tidak melemparkan surat kertas padaku. Bukan maksudku untuk berharap bisa pulang bersamanya lagi, tapi… ini sesuatu yang lain.
Ah, pemikiran itu mengganggu, aku ingin melupakan kumpulan masalah ini sejenak dan memejamkan mataku. Aku tidak perlu khawatir tertidur di sini, lagipula aku tidak semudah itu untuk tertidur sambil duduk di atas bangku kayu yang keras.
Pada saat itu, aku dibangunkan oleh aroma manis yang membelai hidungku dengan lembut. Aku membuka mata, seorang gadis cantik memiringkan tubuhnya dengan manis di hadapanku. Rambutnya hitam dan panjang tampak berkilau diterpa sinar matahari, aku bisa tau dia baru saja keramas pagi ini hanya dari aroma rambutnya yang harum.
"Hai~ Satria, ngapain kamu tidur di sini?"
Karena sudut dari pencahayaan yang pas, dia membelakangi arah datangnya cahaya matahari dan membuatnya terlihat lebih bersinar.
"Eh, Arin?" Aku tertawa dengan sedikit canggung, "Aku cuma lagi nyantai, suasananya enak sambil ditemani angin sepoi-sepoi"
"Ooh gitu, boleh aku gabung?"
"Silakan"
Setelah mendapatkan persetujuan dariku, Arin duduk di sampingku. Aku tidak akan mengatakan bahwa kami duduk terlalu dekat, ada beberapa jarak yang terlihat, tapi aku tidak terlalu mempermasalahkan hal itu.
Aku kembali memejamkan mataku sambil menikmati perasaan yang menyenangkan. Suasana alam yang mendukung, terlebih lagi aku duduk bersama orang yang aku sukai, tidak ada yang lebih baik dari hal itu. Wajahku membuat senyum lembut tanpa aku sadari.
Aku juga bisa merasakan sebuah tatapan yang datang dari sampingku, tapi karena ada beberapa rasa permusuhan di dalamnya, aku berniat untuk mengabaikannya.
Aku tidak pernah berniat untuk mencari musuh, aku ingin hidup dalam kedamaian. Bagaimana pun, kedamaian adalah hal terbaik yang bisa aku syukuri. Karena itu, waktu yang damai seperti ini adalah hal yang paling berharga untukku.
"Satria, ngomong-ngomong kamu kemarin kenapa kok bisa pulang bareng Risa?"
Aku menjawab dengan enteng, "Aku diminta Risa, katanya orang tuanya lagi sibuk, jadi gak bisa jemput dia"
"Hmm, gitu ya…"
Aku tidak tahu kenapa Arin menanyakan hal itu, tapi aku tidak terlalu peduli dengan alasan di baliknya. Semua orang memiliki hak untuk privasi, aku tidak akan mencampuri urusan orang lain yang tidak perlu.
"Ngomong-ngomong… nanti boleh aku pulang bareng kamu?"
"Eh?"
Aku membuka mata dengan terkejut, aku melihat wajah Arin yang menampilkan bahwa dia sedang serius. Matanya menampilkan kilau keseriusan dan kejujuran.
Yah, aku tidak pernah melihat Arin pulang bersama anak laki-laki lain di sekolahku. Karena itu, sangat aneh bahwa dia meminta itu kepadaku yang hanya memiliki sepeda ontel tua.
Untuk memastikan, aku bertanya, "Kamu yakin? Sepedaku enggak terlalu nyaman loh diduduki, aku takutnya kamu nanti malah risih"
"Enggak masalah, aku punya bantal"
Eh, tunggu, kamu serius?! Apakah membawa bantal ke sekolah sedang menjadi trend atau semacamnya?
"Ok deh, sampai jumpa sepulang sekolah nanti"
Setelah mendapatkan persetujuan dariku, Arin kembali ke kelas.
Hatiku yang semula mengalir dengan tenang sekarang mulai memunculkan gejolak lembut perasaan bahagia dan bersyukur.
Hati ini ingin berteriak histeris penuh kebahagiaan, tapi hembusan angin lembut dan suara gemerisik dedaunan membuatku bisa menahan itu. Sangat tidak menyenangkan jika aku berteriak dengan keras dan didengar oleh banyak orang, itu memalukan.
Sampai batas tertentu, aku bisa menahan diriku sendiri untuk melakukan sesuatu yang konyol. Meskipun banyak orang yang memandangku sebagai orang yang menonjol dalam kemampuan akademik, aku tidak terlalu suka menjadi pusat perhatian pada hal lain.
Aku hanya orang sederhana yang bekerja keras, itu saja.
…
Sepulang sekolah, aku menunggu Arin datang.
Karena terlalu bersemangat, aku langsung lari ke sini ketika bel berbunyi. Aku sadar bahwa teman-teman sekelasku memandang tingkahku hari ini cukup aneh, karena biasanya aku pergi sedikit lambat ke tempat parkir untuk menghindari gerombolan panjang siswa yang pulang mengendarai motor.
Pulang berdesak-desakan itu tidak menyenangkan, mereka bersaing siapa yang keluar lebih dulu. Di sisi lain, aku dengan sabar menunggu dan tidak tergesa-gesa untuk pulang.
Dan seperti yang diduga, tempat parkir sedang sangat ramai ketika aku datang lebih awal. Meskipun aku datang ke sini dengan berlari, bagaimana bisa mereka sampai begitu cepat?! Apakah mereka punya kemampuan untuk berpindah tempat atau semacamnya?
Aku rela berdesak-desakan dengan mereka dan mengeluarkan sepedaku, ini memakan cukup waktu karena semua orang bersaing mencari kesempatan mengambil jalan duluan pada setiap celah yang ada. Beberapa orang protes karena didahului oleh yang lain.
Yah, aku rasa itu cukup biasa terjadi.
Mereka yang awalnya berselisih telah pulang, aku masih menunggu di sini dengan sabar. Hmm, mungkin sudah sepuluh menit berlalu, tempat parkir hampir kosong.
"Hayoloh!"
Seseorang menepuk pundakku dari belakang, aku sangat terkejut hingga hampir melompat, aku merasa jantungku hampir copot dibuatnya.
Aku hampir marah, tapi aku berhasil menahan diri sambil mengelus dada dengan sabar. Aku menengok ke belakang, itu seorang gadis yang sangat cantik dengan rambut panjang hingga pinggang, mata yang cerah dan figur wajah yang mempesona.
Itu Ayu, meskipun ini kali ketiga kita bertemu, aku masih terpesona oleh kecantikannya pada pandangan pertama.
"Eh, loh, Ayu? Kamu ternyata sekolah di sini juga?"
"Iyalah, soalnya rumahkukan dekat sini juga. Ngomong-ngomong, kamu kok belum pulang?"
"Aku lagi nungguin Arin"
"Arin? Tadi aku lihat dia udah pulang bareng kakaknya"
Eh? Kamu serius? Lalu apa artinya aku masih berdiam diri di sini?
Ponselku bergetar, ketika aku membukanya, aku melihat sebuah pesan masuk, itu dari Arin.
[Maaf ya, aku gak jadi pulang bareng kamu. Ada urusan mendadak, jadi tadi kakakku buru-buru jemput. Sebagai gantinya, lain kali kalau ada kesempatan, kamu mau kan aku ajak lagi?]
Aku terdiam melihat pesan itu, setelah beberapa saat, aku mematikan ponselku dan memasukkannya dalam tas.
Aku menghela napas dengan sedikit kecewa. Aku berharap banyak bisa pulang bersama Arin hari ini karena dia yang mengajakku, mungkin aku hanya terlalu banyak berharap. Arin pasti punya alasannya sendiri.