Chereads / Cinta Yang Tersesat / Chapter 9 - Deja Vu

Chapter 9 - Deja Vu

Aku langsung menuju ke kelas begitu selesai memarkir sepeda. Hari ini sepertinya Pak Supriadi sedang sakit dan digantikan oleh Pak Imam.

Akhirnya! Ini kemenanganku yang ketiga.

Tapi tidak ada yang perlu dirayakan, siapa pula yang mau merayakannya denganku selain Pak Supriadi? Jika beliau tidak masuk kerja, aku hanya akan merayakan kemenangan ini sendirian.

Itu cukup menyedihkan.

Kelas yang semula kosong, dengan cepat diisi seiring berjalannya waktu.

Masih ada sedikit waktu sebelum bel masuk berbunyi. Ardi yang duduk di sebelahku telah menggangguku dengan terus menyikut sejak tadi.

"Apaan sih?"

"Eh, denger-denger kemarin kau pulang bareng si Risa ya?"

"Kalau iya, emang kenapa?"

Ardi membuat seringai lebar. Aku tahu, setiap membuat senyuman itu, Ardi pasti sedang berpikir tentang sesuatu yang tidak biasa.

Yah, terserah lah, aku meneguk air minum yang aku bawa dari rumah. Entah kenapa tenggorokanku rasanya sedikit kering.

"Jadi… udah berapa lama kalian pacaran?"

Bugh!

Aku sedikit tersedak karena terkejut.

"Hah? Apa maksudmu? Kami belum memiliki hubungan semacam itu"

"Heeh… jadi 'belum' ya ~?"

Ugh! Sepertinya aku salah dalam pemilihan kata.

Kau tau, aku mulai merasa sedikit aneh tentang diriku sendiri belakangan ini. Yah, maksudku akhir-akhir ini nama Risa selalu terlintas dalam pikiranku. Ini cukup aneh bagaimanapun kau melihatnya.

Arin mendekati kami, aku dan Ardi secara tidak langsung menghentikan percakapan kami.

"Ardi, aku boleh kan pinjam buku PR kamu?"

Hmm, aku sedikit penasaran. Entah kenapa aku merasa hal ini pernah terjadi sebelumnya.

Apa ya sebutannya… Deja Vu(?)

Tapi di luar dugaan, Ardi terlihat tidak senang dengan kehadiran Arin.

"Ngapain juga aku harus kasih pinjam, si Satria kan ada, dia kan lebih pintar"

Oi! Jangan lemparkan tanggung jawab itu padaku! Aku tidak bisa menolak jika Arin meminta sesuatu dariku.

Arin sedikit menjulurkan lidahnya dengan ekspresi yang mengejek.

"Uu, dasar pelit"

Arin kembali ke mejanya bahkan tanpa meminta buku PR milikku. Aku sedikit senang sekaligus sedih di saat yang bersamaan.

Setelah Arin pergi, Ardi kembali menyikutku, "Bro, si Arin lagi malu-malu kucing tuh. Malu buat minta buku PR-mu"

"Ngayal aja terus, mana mungkin dia gitu"

Sejujurnya, aku sedikit berharap kalau yang dikatakan oleh Ardi itu benar. Maksudku, jika itu benar-benar terjadi, sepertinya aku memiliki sedikit kesempatan untuk mendekati Arin.

Tapi jika melihat resiko ke belakang, ada kemungkinan aku akan menjadi sasaran permusuhan kebanyakan anak cowok di sekolahku, dan itu tidak main-main.

Mungkin akan ada beberapa orang yang mengikhlaskan, tapi yang lain bisa saja tidak terima.

Yah, kau tau lah, kaum Jomblo bisa sangat anarkis kalau lihat ada orang pacaran.

Mau contoh?

Ok, cobalah untuk tidak tertinggal.

Berdoa hujan di malam minggu biar tidak ada orang pergi pacaran, nonton ke bioskop sendirian, meratapi nasib seharian, nangis darah liat gebetan ditikung teman, bentrokan cuma karena punya gebetan tapi malah jadian sama yang lain, mantan udah nikah tapi sendirinya masih sendirian, datang ke nikahan mantan bawa amplop kosong sama numpang makan, seharian cuma bisa peluk guling sambil bayangin punya pacar.

Ok, cukup, semakin lama ini semakin menusuk.

Aku berjalan dengan hati-hati dan waspada ke tempat parkir seperti orang yang sedang berniat mencuri. Tapi bukan itu niatku, kali ini aku mendapatkan sebuah surat kertas lagi selama istirahat.

[Satria.

Aku tunggu kamu sepulang sekolah nanti.

Yah, seperti permintaanku kemarin.

Awas saja kalau kamu tidak datang.

Nanti aku beritahu nama

Gadis yang kamu lihat tadi pagi di depan rumahku sebagai balasan]

Ya, aku senang kalau bisa mengetahui nama gadis cantik itu, tapi pulang bersama Risa adalah sesuatu yang lain. Aku tidak tau apa yang dia inginkan, tapi aku tidak berani melangkah lebih jauh dengannya.

Ini sudah bel pulang, tapi aku benar-benar mewaspadai keberadaan Risa saat ini, aku tidak bisa tenang.

Di gerbang sekolah, aku melihat Arin yang sedang sibuk mengotak-atik hp miliknya dan berusaha menelepon seseorang. Seperti Risa, biasanya ada seseorang yang mengantar dan menjemput Arin sekolah, tapi sepertinya hari ini orang itu tidak ada. Hasilnya, ada beberapa anak laki-laki yang menawarkan tumpangan kepada Arin, tapi sepertinya dia menolak mereka semua.

Meskipun yang dibawa oleh mereka adalah motor dengan kualitas bagus dan kapasitas mesin yang besar, Arin masih menolaknya.

Ah, sepertinya aku bahkan tidak punya kesempatan untuk mendekatinya. Yang menjadi standar Arin adalah sesuatu yang sangat jauh di atasku. Perhitungan 100% kegagalan untukku bukanlah sebuah lelucon, ini adalah kenyataan pahit yang paling aku pahami.

Tapi jauh di dalam hatiku, aku tidak bisa menahan perasaan berharap untukku bisa bersama dengannya. Targetku mungkin terlalu tinggi, tapi tidak ada yang tau nasib dan takdir manusia. Tidak ada salahnya mencoba segala cara selama itu tidak bertentangan dengan ajaran agama yang aku anut.

Banyak orang yang bilang cinta itu buta. Ya, aku setuju dengan itu, tapi sedikit pengecualian untuk orang yang materialistik. Mereka memandang harta dan kekayaan lebih dari kebahagiaan dalam cinta itu sendiri.

Bahkan beberapa orang menganggap bahwa cinta bisa membuat seseorang menjadi bodoh. Tidak jarang kau bisa melihat seseorang bertindak konyol hanya karena cinta. Yah, aku tidak bisa meneriakkan hal itu dengan keras seperti orang lain, karena pada dasarnya aku termasuk ke dalamnya.

Menyedihkan untuk orang sepertiku, tapi tidak ada yang bisa aku lakukan tentang itu.

Sangat banyak pandangan orang terhadap cinta dan jodoh.

Ada yang bilang, "Jodoh di tangan Tuhan". Aku tidak masalah dengan kalimat itu, tapi aku sedikit bermasalah dengan bagaimana cara mereka menghindar. "Tapi kalau belum ketemu jodoh, mungkin jodohmu di tangan yang lain"

Itu konyol!

Ini tidak seperti bermain tebak benda yang disembunyikan di salah satu tangan! Kau pikir ini permainan anak kecil?!

Astaga, hidup ini akan menjadi sebuah lelucon jika kau menganggapnya serius.

Tapi lain kali, aku mungkin akan mempertimbangkan beberapa hal dalam lelucon itu.

Jika aku masih belum menemukan jodohku, mungkin aku masih belum pantas untuk menerimanya. Maka hanya ada satu hal yang perlu aku lakukan, berusaha menjadi lebih baik dan terus berdoa.

Tunggu, itu dua hitungan!

Ah, terserah lah, itu hanya detail kecil yang bisa diabaikan.

Mari berjalan dengan hati-hati menuju sepeda dan berusaha sebaik mungkin agar Risa tidak menyadarinya.

Aku merasakan tamparan keras di belakang punggungku, "Hayoloh, mau pergi ke mana kamu hah?!"

Sial, itu suara Risa! Bagaimana aku bisa ditemukan begitu cepat?!

"Eh, Risa, kamu makin cantik aja hari ini"

"Makasih, tapi tidak ada gunanya kamu mengatakan itu sekarang"