Akhirnya semua persiapan selesai, masih ada lima belas menit sebelum waktu pertemuan yang ditentukan.
Ketika aku hendak berangkat dengan mengambil sepedaku, Ardi menghentikanku.
"Kawan, kamu serius mau berangkat gitu aja? Gak bawa duit sepeserpun?"
Bahkan jika diminta seperti itu, aku tidak memiliki banyak uang yang bisa aku gunakan. Sebagian besar tabunganku digunakan untuk membayar uang sekolah. Memang apa yang lebih penting dari itu?
Ardi menempelkan tangannya ke dahi, "Kawan, seorang pria tidak memiliki harga diri di depan wanita jika tidak memiliki uang"
Ya, mungkin yang dikatakan Ardi itu memang benar. Tapi itu terkesan semua wanita memandang seorang laki-laki hanya dari kekayaan yang dimiliki. Dan aku sama sekali tidak setuju dengan itu. Masih ada wanita baik di luar sana yang memiliki cinta yang tulus tanpa memandang harta, aku yakin itu.
Ardi menyerahkan amplop putih yang sedikit tebal, "Nih"
Aku bertanya dengan heran, "Apa ini?"
"Uang lah, apa lagi memangnya?"
Aku membuka amplop itu, isinya adalah uang dua ratus ribu rupiah. Aku melihat Ardi karena sedikit ragu untuk menerimanya, tapi Ardi mengangguk puas penuh persetujuan, jadi aku menerimanya tanpa bertanya lebih lanjut.
Aku pergi menaiki sepedaku setelah berterima kasih kepada Ardi.
Ahh, padahal biasanya hari minggu seperti ini aku habiskan di rumah, menonton acara kesukaan di depan tv, semacam anime dan sebagainya.
Ya, sejak pagi hingga siang setelah aku menyelesaikan pekerjaan rumah, itu adalah hal yang selalu aku lakukan.
Benar-benar hari yang menyenangkan, tapi karena aku telah berjanji dengan Ayu, aku harus menepatinya, meskipun harus mengorbankan waktu santai yang aku miliki.
Aku benar-benar tidak tahu apa pun tentang kencan, bahkan setelah menerima penjelasan panjang dari Ardi sepanjang malam. Apa bedanya itu dengan pergi bersama teman biasanya?
Sungguh, aku tidak mengerti gunanya menyebut hal ini sebagai sebuah kencan.
Setelah sekitar lima belas menit, aku tiba di depan rumah Risa, tapi aku tidak melihat Ayu di depan rumah.
Aku melihat penjaga rumah Risa, beliau membukakan gerbang untukku.
"Maaf, Mas cari siapa ya?"
"Saya cari Ayu pak"
"Ohh… Non Ayu. Masuk aja atuh, nanti ketuk pintu"
"Iya Pak, makasih"
Setelah dipersilakan masuk, aku memarkir sepedaku dan mengetuk pintu sambil mengucapkan salam, "Assalamu'alaikum"
Tok tok tok
Aku menunggu sebentar, tapi tidak ada respon yang datang dari dalam. Aku putuskan untuk mengetuk sekali lagi.
Tok tok tok
"Assalamu'alaikum"
Tapi tetap saja tidak ada jawaban. Aku menengok ke samping dan menemukan pria paruh baya yang sedang membersihkan kebun, sepertinya beliau bekerja sebagai tukang kebun di rumah ini.
Beliau menatapku dengan heran, "Mas, ngapain ngetuk pintu segala? Itu di samping pintu kan ada bel rumah" sambil tertawa getir melihat sikap bodohku.
Oh, aku malu sekali! Aku tidak melihat ada bel rumah sebelumnya, dan aku menurut begitu saja apa yang dikatakan penjaga rumah itu.
Kali ini aku membunyikan bel rumah sambil sedikit menunggu, tapi tetep tidak ada respon.
Tukang kebun itu memanggilku lagi, "Mas, ngapain pencet bel pintu? Orangnya lagi keluar semua"
… apa?
Lantas kenapa aku disuruh pencet bel pintu kalau memang tidak ada orang di rumah?!
Argh! Aku ingin marah dan berteriak.
Tapi aku untungnya bisa menahan kemarahanku. Aku menarik napas dalam dan menghembuskan lewat mulut, sekarang aku merasa sedikit tenang.
Bapak-bapak tukang kebun itu cekikikan dengan puas, aku merasa seperti menjadi bahan lelucon di sini.
"Eits, jangan marah dulu Mas. Mending ikut saya sambil ngopi dulu"
Aku menghela napas dengan sedikit bermasalah, aku menerima permintaan beliau tanpa banyak mengeluh.
Kami duduk bersama dengan penjaga rumah yang duduk di depan pos jaga samping gerbang masuk. Kami mengobrol santai ditemani tiga gelas kopi hitam yang masih hangat.
Ketika aku menyesap kopi hitam itu, rasanya tidak terlalu manis dan sedikit pahit, rasa ini persis seperti kesukaan bapakku. Apakah selera semua orang dewasa memang seperti ini?
Dibandingkan sensasi kopi hitam ini, aku lebih menikmati perbincangan ini. Mereka banyak bercerita tentang keluarga dan anak, aku benar-benar memperhatikan setiap yang mereka katakan. Ini bisa menjadi ilmu yang berguna suatu saat nanti.
Yah… kalau sudah menikah sih.
Tidak lama kemudian aku melihat mobil putih yang berhenti tepat di depan gerbang, si penjaga rumah buru-buru membukakan gerbang agar mobil bisa masuk.
Begitu mobil diparkirkan, aku melihat Ayu keluar dari kursi depan bersama seorang pria yang berumur sekitar 30 tahun.
Ayu melambaikan tangan dan mendekat ke arahku, "Eh, Satria, kok kamu udah sampai? Padahal baru jam 06.30"
Eh? Tapi jam di rumahku menunjukkan 06.45 sebelum aku berangkat.
…!
Ahh, aku baru saja ingat. Jam rumahku dipercepat oleh ibuku sebanyak tiga puluh menit lebih awal agar aku tidak pernah terlambat. Pantas saja rasanya aku melewatkan sesuatu sebelum berangkat ke sini.
Bapak tukang kebun membuat lelucon lagi, "Non, ini pacarnya dari tadi nungguin loh"
"Yaudah, yuk masuk dulu"
Ayu mengajakku masuk tanpa memperdulikan lelucon yang dibuat oleh tukang kebun.
Aku disuruh menunggu di ruang tamu, pria yang tadi naik mobil bersama Ayu juga menghampiri kami.
Ayu memperkenalkan kami, "Ayah, ini Satria, temanku di sekolah yang pernah aku ceritakan. Satria, ini ayahku"
Aku menjabat tangan beliau sambil sedikit menunduk dengan rasa hormat, "Selamat pagi Pak"
Beliau menatap tajam ke arahku, "… Tono, panggil saja saya Om Tono. Kamu gak perlu terlalu formal ke saya, kamu kan teman putri saya"
"Baik, Om Tono"
Kami berdua duduk saling bersebrangan di atas sofa, dipisahkan oleh meja kaca yang tidak terlalu lebar.
"Yaudah, aku tinggal dulu ya, aku mau ganti baju dulu. Kamu ngobrol aja dulu sama Ayahku"
Ayu pergi ke lantai dua setelah mengatakan itu.
Suasana berubah menjadi keheningan yang canggung, terlebih lagi Om Tono menatap sangat tajam hingga terasa seperti menembusku.
Beliau merajut jarinya dan meletakkan dagu di atasnya, aku menelan ludah dengan gugup. Entah kenapa suasana ini berubah menjadi lebih serius.
"Jadi… kapan kamu berencana melamar putri saya?"
Eh— tunggu, eeeeeeeeeeh?!
Kenapa pembicaraan ini berjalan begitu cepat ke arah sana?!
Bukankah seharusnya aku ditanyai tentang hal yang biasa?! Seperti berapa lama kami berteman atau semacamnya? Kenapa kami tiba-tiba harus membicarakan pernikahan?
Aku belum benar-benar siap untuk itu! Aku masih berumur 17 tahun, kelas 11 SMA, dan aku sudah mendapatkan wawancara pernikahanku yang pertama kalinya.
Seseorang, tolong katakan padaku apa yang sedang terjadi di sini! Aku hampir tidak mengerti apa pun di sini.