Chereads / Cinta Yang Tersesat / Chapter 17 - Panti asuhan

Chapter 17 - Panti asuhan

Ayu dan aku bermain dengan riang bersama anak-anak panti asuhan. Aku sedikit terkejut, mereka masih bisa tersenyum bahagia meskipun tanpa perawatan orang tua kandung.

Sejujurnya, aku bersyukur bahwa penilaianku terhadap mereka sebelumnya salah. Mereka terlihat lebih bahagia dari yang aku kira. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak berumur delapan tahun dan yang paling dewasa adalah seorang anak berumur sembilan tahun. Anak yang paling tua itu bersikap sebagai pemimpin dan mengatur anak-anak lainnya dengan tertib.

Anak itu bernama Raihan. Tidak aku sangka anak yang terlihat polos dan ceria ini sebenarnya mampu bersikap lebih dewasa.

Raihan menatap Ayu dan aku secara bergantian lalu membuat ekspresi rumit di wajahnya.

"Kak Ayu, orang ini siapa? Pacar kakak?" tanya Raihan sambil memiringkan kepalanya.

Ayu buru-buru menutup mulut Raihan dengan kedua tangannya, "Bu-bukan kok. Kamu ini masih kecil udah mikir pacaran. Itu gak baik buat pertumbuhan kamu. Udah, kamu lanjut main lagi sana"

"Ehh, gitu ya. Yaudah deh"

Raihan pergi bersama anak lain setelah mengatakan itu.

Ayu tampak sedikit kesulitan untuk mengatasi rasa penasaran Raihan. Yah, anak itu benar-benar tumbuh dewasa terlalu cepat.

Tidak lama kemudian, aku mendengar suara mobil yang berhenti di depan rumah. Mobil itu adalah mobil klasik dengan cat hitam yang elegan. Arin turun dari mobil bersama dengan seorang pria sekitar umur 30 tahun.

Ayu menjelaskan, "Pria itu adalah salah satu donatur panti asuhan ini. Dia adalah Pak Revan, beliau sering datang ke sini dan memberikan sumbangan beberapa kardus buku baru untuk anak-anak di sini"

Hmm, ternyata beliau adalah orang yang baik. Hanya saja, aku sedikit penasaran dengan hubungan Arin dengan pria itu.

Ayu menarik tanganku, "Yuk kita keluar, mereka pasti bawa banyak barang. Sekalian bantu mengangkut barang. Kamu kuat kan?"

Aku hanya mengangguk. Sebagai laki-laki, aku tidak bisa menunjukkan sisi lemahku di depan Ayu.

Kami mengangkut semua kardus yang berisi buku ke dalam rumah. Sejujurnya, tiap kardus terasa cukup berat, tapi ini sedikit lebih ringan daripada tumpukan batu bata.

Bagaimana aku bisa tahu itu?

Yah, dulu aku pernah diajak bekerja di sebuah pabrik pembuatan batu bata rumahan. Kebetulan aku selalu mendapat bagian untuk mengangkut tumpukan batu bata ke truk. Itu benar-benar pekerjaan yang melelahkan. Bahkan tanganku masih berdenyut ketika aku pulang ke rumah.

Dibandingkan dengan itu, tumpukan buku bukanlah masalah besar.

Atau… begitulah yang aku pikirkan pada awalnya. Aku cukup kelelahan karena mengangkat lima kardus yang dipenuhi dengan buku yang berat.

Sementara aku mengangkut semua itu sendirian, Ayu dan Arin hanya bersorak dari samping seperti sedang mendukung tim kesayangannya dalam sebuah lomba.

Hei! Apakah tidak ada orang yang berniat membantuku di sini?!

Pada akhirnya aku tetap kelelahan, aku memutuskan untuk beristirahat di sebuah kursi di luar. Nah, aku hanya ingin menikmati suasana angin sepoi-sepoi di luar sini.

Arin, Ayu dan Pak Revan sedang sibuk membagikan buku ke anak-anak panti. Aku tidak ingin terlalu ikut campur. Bagi mereka, aku masih orang asing, aku tidak ingin dianggap sebagai orang yang membagikan buku secara mencurigakan.

Di saat aku sedang menikmati suasana yang tenang dan hampir menutup mata, Arin keluar dari dari balik pintu dan mendekatiku.

"Satria, kamu ngapain di sini sendirian?"

"Eh, Arin, aku cuma lagi istirahat aja kok"

"Hmm, gitu ya"

Arin mengambil kursi lain dan duduk di sampingku, "Ngomong-ngomong, maaf ya soal waktu itu"

"Waktu itu?"

"Itu loh, waktu aku janjian mau pulang bareng sama kamu tapi aku batalin karena dijemput. Waktu itu beneran ada urusan mendadak"

"Oh, iya. Aku gak masalah kok, aku paham"

"Satria, aku baru tahu kamu ternyata orang yang pengertian"

"Ahaha, mungkin. Aku sendiri juga kurang paham, tapi aku puas dengan sifatku yang seperti ini"

Setelah percakapan singkat itu, kami berdua duduk dalam diam.

Aku ingin memulai pembicaraan lain, tapi aku bahkan tidak tahu topik apa yang bisa kami bahas bersama dengan nyaman. Mungkin aku buruk dalam mencari topik percakapan.

Awalnya aku melihat Arin beberapa kali seperti berniat mengatakan sesuatu, tapi entah kenapa dia menahan diri untuk mengatakannya.

"Satria, yuk masuk dulu. Kita mau ngajarin anak-anak sebentar, kamu mau bantu kan?"

"Dengan senang hati"

Aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan sangat menyesal memberikan jawaban itu. Ya, semua penyesalan ini dimulai ketika aku berusaha mengajari anak kecil untuk membaca huruf alfabet dan huruf arab. Beberapa dari mereka memberontak dan tidak mau membaca.

Aku hampir kehilangan seluruh kesabaranku untuk meladeni keinginan mereka.

Arin juga ikut mengajar bersamaku, tapi kami jelas berbeda dalam hal metode pengajaran. Arin mengajar dengan lembut dan sabar, bahkan dia tidak marah ketika anak yang dia ajari merengek, sebaliknya dia justru membujuk dengan lemah lembut seperti kasih sayang seorang ibu.

Yah, aku memang tidak memiliki profesi sebagai tenaga pengajar resmi. Aku hanya anak SMA yang sedang berusaha mengajari orang.

Aku akui, pada awalnya memang sangat sulit karena harus berurusan dengan anak-anak yang nakal dan jahil.

Untungnya anak-anak ini juga bersekolah pada hari biasa, jadi aku tidak akan merasa terlalu bersalah karena memberikan pengajaran yang buruk.

Jika melihat cara Arin dalam mengajar anak kecil, aku mulai berpikir, "Arin pasti akan menjadi sosok ibu yang baik di masa depan nanti"

Maaf jika aku berpikir begitu seenaknya saja, tapi itu adalah pendapat yang tulus dari hatiku.

Ketika aku sedang sibuk mencari keberadaan Ayu, ternyata dia sedang berada di dapur bersama Tantenya. Mereka berdua sedang sibuk mempersiapkan bahan masakan seperti ikan, sayur, dan daging.

Aku tidak bisa banyak membantu dalam hal ini. Yah, sejujurnya aku sangat buruk dalam memasak. Bahkan hanya menggoreng telur pun bisa gosong.

Itu adalah rasa yang tidak pernah bisa aku lupakan. Rasa telur yang sedikit asin karena garam dan gurih pahit dari bagian yang gosong. Bahkan aku tidak bisa menahan diri untuk membuat senyum masam ketika memakannya. Ini benar-benar penyiksaan secara mental.

Setelah kurang lebih setengah jam, masakan telah matang dan kami semua sarapan bersama.

Ikan yang digoreng renyah menggugah selera makanku meskipun aku sudah makan sebelumnya. Selain itu, sayuran segar dan daging yang terlihat lezat membuat perutku merasa lapar lagi hanya dengan melihatnya.

Ketika aku merasakan gigitan pertama, rasa gurih dan sedikit pedas. Kulit ikan yang gurih dan daging yang lembut bercampur dengan sambal terasi yang nikmat. Lidahku seperti dimanjakan hanya dengan masakan biasa.

Padahal ibuku juga pernah memasak masakan yang sama, tapi kenapa rasanya berbeda?