Ayu melihatku yang sedang kecewa dengan tatapan sedih. Bagaimana pun, aku merasa kecewa karena menaruh beberapa harapan pada sesuatu yang tidak pasti.
Jika diibaratkan dalam pribahasa Jawa akan menjadi 'Cebol nggayuh lintang'. Artinya Cebol yang berusaha meraih bintang. Maksud dari pribahasa ini adalah mencoba meraih sesuatu yang tidak bisa digapai.
Yah, ini rasanya cukup menyedihkan, tapi aku tidak ingin melepaskan harapanku begitu saja. Sebuah harapan yang selama ini aku genggam dengan erat melalui setiap rintangan dan cobaan.
Aku tidak bisa menghitung lagi berapa banyak aku merasa kecewa karena Arin. Tapi… aku menjaga diriku untuk tetap bertahan dengan mengingat kejadian hari itu.
Ya, saat di mana aku jatuh cinta pada Arin.
"Halo~, Satria?"
Aku melihat Ayu yang sedang melambaikan tangannya di depan wajahku. Sepertinya dia sedikit khawatir karena aku diam saja sejak tadi.
"Ah, maaf, aku agak melamun tadi"
Ayu menghela napas, "Kalau kamu banyak pikiran, mendingan kamu cepat pulang aja terus istirahat"
"Iya, ini aku juga mau pulang"
Aku menaiki sadel sepedaku, Ayu duduk di kursi belakang dengan alas bantal kecil yang dia bawa.
Tunggu, ini sedikit salah.
"Loh, Ayu, kamu kok naik di situ?"
"Hmm? Aku kan mau pulang bareng kamu"
Eeeeeeeeeeh?! Kamu serius? Beberapa hari belakangan rasanya aku seperti menjadi tukang ojek yang mengantar pulang anak sekolah. Ya bukan berarti aku tidak mau, lagipula hal itu justru menghindarkanku dari rasa kesepian pulang sendirian.
Aku mencoba untuk tetap tenang, tapi pelukan erat Ayu hampir meruntuhkan akal sehatku. Oh, sial, andaikan kami berpacaran, aku bisa merasakan kebahagiaan ini setiap hari.
Tapi aku menyadari apa yang sedang coba dilakukan Ayu saat ini, dia hanya sedang mencoba menghiburku yang sedang kecewa.
Jika kalian bertanya apakah aku memiliki indera keenam hingga mengetahui hal itu, jawabannya 'tidak'. Aku tidak punya kemampuan semacam itu, dan bahkan jika aku punya… aku tidak ingin berurusan dengan dunia lain.
Tidak ada hal menyenangkan yang bisa diraih darinya, karena itu aku benci berurusan dengan mahluk halus.
Selama perjalanan, kami berada dalam kesunyian, tidak ada percakapan yang terjadi.
"Satria, kamu hari minggu besok ada acara?"
"Besok ya? Kayaknya enggak ada sih, emang kenapa?"
"Besok ikut aku yuk"
"Ke mana?"
"Ada deh, besok kamu juga tau sendiri"
Meskipun aku tidak terlalu yakin tujuan Ayu mengajakku, aku tidak berani menolak permintaan darinya.
"Besok jemput aku ya jam 8 pagi"
"Tapi aku cuma punya sepeda ini loh, aku gak punya motor"
"Gak masalah. Yang jadi masalah kalau kamu gak mau jemput aku"
"Iya deh, iya"
Sungguh, aku tidak mengerti niat Ayu.
…
Setelah membantu bapak di sawah, aku pulang dan menemukan Ardi yang sedang menungguku di depan teras rumah.
"Kok gak masuk?"
"Gak enak, pemiliknya lagi keluar semua masa aku masuk seenaknya? Nanti aku malah disangka maling sama warga sekitar"
"Hahahaha, yaudah, yuk masuk"
Ya, ini rutinitas yang biasa kami lakukan ketika besok cuti sekolah. Orangtua Ardi sangat keras dalam hal kedisiplinan, karena itu dia selalu disuruh untuk belajar dengan giat dan tidak boleh keluar rumah sebelum tugasnya selesai.
Hasilnya sekarang Ardi membenci diberi PR lebih dari siapa pun di sekolah.
Karena aku sedikit penasaran dengan niat Ayu yang mengajakku, aku sedikit berdiskusi dengan Ardi tentangnya. Aku menceritakan bagaimana kami awalnya bertemu, tentunya sambil menyembunyikan alamat rumahnya dan asal sekolahnya. Jika aku tidak melakukan ini, Ardi akan mencari tahu lebih dalam tentangnya.
Setelah aku menceritakan tentang ajakan Ayu, Ardi menyipitkan matanya dan memandangku dengan tatapan aneh. "Teman, aku tahu kamu sangat cerdas dan bisa menebak reaksi orang lain dengan tepat. Tapi kenapa kamu tidak bisa memahami sesuatu yang begitu sederhana? Jelas-jelas ini ajakan untuk kencan"
"Kencan? Apa itu? Apakah sejenis kacang-kacangan?"
"Aku tidak tahu kamu pura-pura bodoh atau memang tidak tahu. Inilah sebabnya kamu masih menjadi jomblo yang menyedihkan"
Seseorang, tolong ambilkan cermin untuk orang ini. Dia melihat dengan jelas kenyataan pada orang lain, tapi selalu mengabaikan kenyataan pahit dalam nasibnya sebagai jomblo.
Kau tahu, banyak teman di kelasku yang meminta saran dalam percintaan kepada Ardi, dan anehnya dia bisa memberikan saran yang bagus meskipun dia sendiri menjomblo selama ini.
Aku heran bagaimana dia mendapatkan semua ide itu. Dan kenapa tidak dia terapkan sendiri untuk mendapatkan seorang pacar?
Banyak orang bilang bahwa jomblo mendapatkan nilai 100 dalam teori tentang cinta, tapi 0 dalam praktik. Sepertinya Ardi adalah contoh terbaik dalam hal itu.
Tolong jangan katakan itu padanya, dia mungkin akan berusaha menepis hal itu sambil berusaha lari dari kenyataan yang pahit.
Baiklah, mari kembali ke masalah awal, kenapa Ayu mengajakku untuk kencan?
"Soal kencan, ini baru pertama kali aku mengalaminya. Apa yang harus aku lakukan?"
Ardi menyeringai dan menunjuk dirinya sendiri dengan jempol, menandakan dia sangat percaya diri, "Tenang saja, serahkan urusan ini kepada 'dokter spesialis cinta' ini"
Itu rasa percaya diri yang luar biasa, sangat besar hingga membuatku ingin menangis.
Tolong, siapa pun, tolong sadarkan orang ini ke dalam kenyataannya! Aku tidak tahan lagi dengan tingkah yang berjauhan dari realita.
…
Hari minggu, satu jam sebelum waktu yang dijanjikan.
Ardi datang ke rumahku sejak jam 6 pagi, kami mendiskusikan beberapa hal seperti pakaian macam apa yang harus aku pakai dan semacamnya. Tapi… meskipun diminta seperti itu, aku tidak memiliki banyak pakaian yang bisa dipilih. Bahkan pakaian paling bagus yang aku miliki adalah perlengkapan seragam sekolah.
Selebihnya, aku hanya memiliki beberapa kaos sederhana dan satu set celana panjang dari kain yang tipis.
Karena rasa iba, Ardi bersedia memberikan beberapa baju lamanya yang jarang dia pakai. Itu masih bagus menurutku, dan lagi celana panjang yang dia berikan adalah model yang sangat cocok dengan bajunya.
Aku tidak tahu apakah itu akan cocok dengan ukuran tubuhku. Banyak tetanggaku bilang bahwa aku memiliki postur tubuh yang proporsional. Tubuh tinggi, otot yang tidak terlalu tebal, dan otot perut aku dapatkan melalui kerja keras sehari-hari.
Terkadang aku merasa heran ketika aku membuka bajuku karena kepanasan, gadis yang melihatku langsung berteriak seperti sedang kerasukan.
Seperti…
"Kyaaa! Otot perutnya…"
Mereka mengatakan itu sambil menutupi wajah mereka.
Sungguh, aku bingung ketika mereka melakukan itu. Apakah memiliki otot perut begitu buruk di mata mereka?
Yah, aku tidak mengerti selera seorang gadis.
Aku mencoba baju yang diberikan Ardi satu persatu sambil menghadap cermin besar di rumahku.
Setiap aku mencobanya, Ardi akan berkomentar seperti, "Sialan, bagaimana bisa semua baju itu memiliki kecocokan yang lebih bagus padamu daripada saat aku mencobanya?!"
Itu penilaian yang jujur dan penuh dengan kebencian.