- Luka itu terbuka, menganga, membekas. Semua karena lisanmu yang pedas -
- May -
*****
Hingar-bingar keriuhan ibu kota di malam hari terdengar oleh rungu setiap insan manusia yang melintasi jalanan di jam pulang kantor. Tak pelak suara bising klakson nyaris terdengar di setiap meter jalanannya, memekakkan telinga setiap warganya. Ditambah dengan volume kendaraan yang makin bertambah saja setiap harinya, semakin menyesakkan setiap ruas jalanan.
Kesibukan ibukota yang sudah menjadi momok inilah yang membuat Maira sebenarnya semakin tidak betah untuk tinggal, bahkan mengadu nasib disini. Namun setidaknya, Maira bersyukur karena pekerjaan yang dimilikinya saat ini sangat membantunya melepaskan diri dari penat hiruk-pikuk ibukota.
Sejak tadi netranya tidak lepas memandang ke arah jalanan yang sedang dipadati oleh berbagai macam jenis kendaraan. Hanya itu yang bisa dilakukannya sembari menunggu kedatangan sahabat lamanya yang tak kunjung tiba di warung angkringan langganannya itu. Sambil sebentar-sebentar melirik jam tangannya. Sudah telat setengah jam dari waktu yang dijanjikan. Maira pun mulai bosan.
Pandangannya beralih ke gelas yang tadinya berisi wedang jahe di hadapannya. Kini gelas itu telah kosong.
"Mang Dadang, bajigurnya satu ya." Maira setengah berteriak pada sang pemilik warung langganan yang sudah dikenalnya sejak SMA.
"Asyiaaap, Neng!" Mang Dadang mengangkat tangannya ke atas dahi layaknya prajurit yang sedang hormat pada sang komandan. Ia pun segera menyiapkan pesanan Maira.
"Neng Ruri-nya belum dateng juga?" Mang Dadang bertanya pada Maira sembari meletakkan segelas bajigur di atas mejanya.
"Belum nih, Mang. HP-nya juga enggak aktif. Padahal tadi udah bilang jam tujuh ketemuan disininya." Maira menjawab dengan nada kecewa.
"Ya ditunggu aja atuh, barangkali kejebak macet." Mang Dadang mengomentari lalu segera berlalu dari hadapannya. Ia masih disibukkan dengan pesanan pengunjung lainnya.
Maira mengedar pandangan ke seisi warung angkringan yang beratapkan tenda lumayan besar itu. Kini pengunjungnya terbilang ramai. Ia teringat dulu pertama kalinya mengunjungi warung ini, Mang Dadang hanya bermodalkan sebuah gerobak untuk menjual wedang ronde, bajigur dan sego kucing andalannya.
Saat itu Maira tak sengaja melihat gerobak Mang Dadang setelah lelah bersepeda kesana kemari untuk menghilangkan kekesalannya setelah dipermalukan oleh cinta pertamanya, yang tidak lain adalah Razi. Pria yang ternyata kembali dipertemukan dengannya oleh takdir.
Hari itu, entah pikiran macam apa yang merasuki Maira hingga ia memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya pada kakak kelasnya itu, yang juga mantan wakil ketua OSIS. Saat itu sebenarnya Maira hanya ingin mengungkapkan perasaannya yang di masa ABG itu sedang menggebu-gebu. Karena Maira sendiri memang tipe orang yang blak-blakkan. Terbiasa menyuarakan apa yang ada di hati dan pikirannya. Maira yakin cintanya tidak bertepuk sebelah tangan, ada alasan dibalik keyakinannya itu. Namun, ia tidak mau terlalu jumawa. Saat itu Maira pun telah mempersiapkan mentalnya jika nantinya pernyataan cintanya itu ditolak. Karena Ayahnya pernah berpesan padanya, selalu siapkan diri untuk menghadapi yang terburuk. Karena segala sesuatunya tidak selalu berjalan seperti yang manusia inginkan. Dan satu hal yang tidak pernah diperkirakannya, adalah cara Razi menolaknya.
"Maaay!" Terdengar suara memanggil dari arah pintu masuk tenda. Maira pun segera tersenyum melihat kehadiran Ruri, sahabat yang ditunggu-tunggunya sejak tadi.
Ruri segera menghampiri dan duduk berhadapan dengan Maira. Napasnya tersengal-sengal seperti orang yang habis berlari marathon.
"Haduuuh, capek gue!" Ruri melempar kepalanya untuk tertidur di atas meja.
"Kenapa lo?" Maira menatapnya heran.
Setelah beberapa kali mengambil napas, Ruri kembali mengangkat kepalanya.
"Tau nggak siiih? Ban mobil gue bocor! Kayaknya nggak sengaja nginjek paku deh. Untuuung aja jalanan masih rame, jadi enggak ada yang berani macem-macem pas gue lagi ngecek ban. Hari gini gitu lho, kejahatan di jalanan makin merajalela!"
"Terus, mobil lo gimana? Ditinggal? Terus, lo jalan kaki sampai ngos-ngosan begini?"
"Iya, gue tinggal. Soalnya nggak lihat ada tukang tambal ban di sekitaran. Biar entar laki gue yang ngurus, deh. Untuuung aja dia punya kunci cadangan." Ruri yang bercerita masih dengan separuh napas, mengambil minuman bajigur milik Maira untuk diteguknya hingga habis.
"Eh eh, minuman gue! Ckckck...habis gali sumur, Bu?" Maira menggeleng-gelengkan kepalanya melihat minumannya yang ditenggak hingga tetes terakhir dalam hitungan detik.
"Gali terowongan sekalian! Capek gue abis jalan kaki berapa kilo nih! Untung aja bawa sendal jepit di mobil. Ya kali, marathon pake heels!" Ruri memutar bola matanya.
"Rempong amat sih lo! Kenapa nggak pesan ojek online?" Maira menopang dagunya di atas meja.
Mendengar pertanyaan Maira, Ruri segera mengeluarkan ponselnya yang dalam keadaan mati dari dalam tas.
"Nih! Gimana mau order? Makanya gue mau pinjem HP lo nih. Mau SMS pak suami buat ngurus tuh mobil."
"Pantesan aja, gue telepon nggak aktif. Di WA cuma centang satu. Lagian, emangnya lo nggak bawa power-bank?" Maira menyerahkan ponselnya pada Ruri.
"Ketinggalan di kantor. Pokoknya gue lagi apes banget!" Ruri pun langsung menyibukkan jarinya menutul layar ponsel Maira.
"Eh Ceceu, situ lebay deh! Setidaknya, masih ada yang bisa lo syukuri. Tadi lo sendiri yang bilang, untung nggak ada orang yang niat jahat pas lo lagi ngecek ban."
"Iya sih, Ceu! Alhamdulillah ya. Oh iya, jadi ada apa nih lo ngajak ketemuan? Tadi katanya mau cerita. Tumben!" Ruri yang masih sibuk mengetik pun bertanya.
"Emmm...itu Rur, lo inget 'kan cerita gue waktu itu? Yang gue bilang nyokap mau jodohin gue sama anak sahabatnya."
"Hmmm. Terus?" Ruri menganggukkan kepalanya dengan mata masih fokus menatap layar ponsel
"Nyokap 'kan masih maksa gue terus tuh biar ketemuan sama si cowok itu."
"Terus?"
"Tapi 'kan gue berkali-kali nolak terus tuh, pake alasan kerjaan. Cuma lama-lama gue males juga di-push terus."
"Terus?"
"Terus tadi pas jam maksi, akhirnya gue mutusin dateng ke pertemuan itu. Ketemulah sama pihak keluarga si cowok. Awalnya niat gue datang juga untuk langsung menolak perjodohan itu di hadapan mereka semua."
"Terus?"
"Terus nabrak!"
Mendengar pernyataan Maira, Ruri yang sejak tadi mendengarkan sambil sibuk berbalas SMS dengan suaminya, akhirnya mengangkat kepala.
"Enggak lucu deh, May!" Ruri melempar pandangan datar.
"Ya abis, lo udah kayak tukang parkir aja, teras-terus! Gue lagi serius cerita nih! Fokusnya ke gue, dong!" Maira memprotes sahabatnya itu. Ruri pun akhirnya mengembalikan ponsel itu kepada pemiliknya. Kini pandangannya fokus menatap sahabatnya itu.
"Gue dengar, May! Jadi, lo udah bilang di hadapan mereka semua kalo lo nggak setuju dijodohin?"
Maira menganggukkan kepalanya dengan lemah. Beberapa detik kemudian raut wajahnya berubah manyun. Maira menundukkan kepalanya sembari memejamkan matanya.
"Ya terus, apa masalahnya? Eh...eh...bentar-bentar, tadi siang 'kan di telepon lo sempet nyebut-nyebut abis ketemu sama si cowok brengsek itu. Jangan-jangan..." Ruri memutus kalimatnya, sejenak ia tampak ragu untuk melanjutkan. Ia membekap mulutnya yang terlanjur menganga lebar.
"Iya! Cowok yang mau dijodohin sama gue...Dia! Si brengsek Aji itu!"
"Hah? Serius lo?! Si Aji? Arsan Fahrurazi kakak kelas kita itu? Cowok yang pernah lo tembak itu?" Ruri melebarkan bola matanya yang seakan tidak percaya.
"Iyaaa, si Aji itu!" Maira mengepal kedua tangannya. Wajahnya menunjukkan raut kekesalan. Apalagi mengingat kejadian memalukan tadi siang.
"Kok bisa lo nggak sadar mau dijodohin sama dia? Emangnya pas nyokap lo cerita soal dia, enggak ada nyebut namanya gitu?"
"Bunda cuma bilang namanya Razi. Ya mana gue kepikiran kalau itu ternyata si Aji."
"Terus, tadi lo beneran nolak dia?" Ruri memajukan wajahnya untuk menatap Maira lebih dekat. Ia semakin penasaran untuk mendengar ceritanya.
Maira pun akhirnya menceritakan kejadian tadi siang dari awal ia datang hingga pasca melayangkan tamparan di pipi Razi.
Ruri pun mendengarkan dengan seksama. Pandangannya tetap lekat pada sahabatnya itu.
"Serius lo nampar dia? Again?" Ruri membelalakkan matanya.
"Gue kesel, Rur! Dari dulu enggak pernah berubah 'tuh manusia! Lambe-nya masih aja isinya sambel mercon level 30."
"Ah, omongannya pedes gitu juga lo tetap aja suka sama dia. Beneran 'kan lo masih suka?" Telunjuk Ruri menunjuk Maira.
"Iihhh...amit-amit! Sok tau lo!" Maira menurunkan telunjuk sahabatnya.
"Beneran amit-amit? Ngaku deh, lo belum bisa ngelupain dia! Buktinya, cowok seganteng Dida aja lo tolak. Padahal kurangnya dia apa coba? Mapan iya, jabatan Direktur Marketing. Mana anaknya Wakil Menteri pula. Rajin sholat lagi! Ah, calon suami idaman kayak Dida aja cuma numpang lewat doang di mata lo. Masa cowok sambel ulek model Kak Aji bisa betah ngetem di hati lo?"
"Ya ampun, Rur...gue tegasin ya. Gue enggak suka sama cowok sambel gledek kayak dia!"
"Neng May, hati-hati lho kalo ngomong. Jangan takabur, Neng! Yang namanya jodoh rahasia Allah." Mang Dadang ikutan menimbrung.
"Eeeh, Mang Dadang! Apa kabar, Mang?" Ruri langsung menyapa pria berumur 45 tahun itu.
"Alhamdulillah sae, Neng Ruri. Kamana wae, Neng? Asa pangling."
"Hehe...hampura, Mang. Sibuk ngurusin suami."
"Suaminya Neng Ruri mah sudah kurus. Ngapain coba dikurusin lagi?"
"Iiihh...Mang Dadang garing deh! Mang, mau bajigurnya juga dong. Dua sekalian deh, gantiin punya si May nih." Ruri mengangkat gelas Maira yang sudah kosong.
"Siaaap! Keantosan sakeudap ya." Mang Dadang pun segera menyiapkan bajigur favorit mereka berdua.
"Eh, May! Bener 'tuh kata Mang Dadang tadi. Hati-hati lo kemakan omongan sendiri. Yang namanya jodoh udah rahasia Allah. Buktinya gue, emangnya pernah nyangka bakalan berjodoh sama kutu buku model Mas Galang?"
"Kutu buku gitu juga gape cari duit, 'kan Rur."
"Ehem, gape bikin gue puas juga." Ruri menaik-turunkan alisnya.
"Heiii...dilarang ngomong jorok!" Maira menoyor dahi Ruri.
"Siapa juga yang ngomong jorok! Lo tuh yang pikirannya jorok! Maksud gue, gape bikin gue puas dengan cintanya. Mas Galang itu romantis. Suka ngasih kejutan, ngasih bunga, mau mijitin gue kalo gue lagi capek, masakin makanan kesukaan gue. Makanya, buruan nikah biar bisa ngerasain puasnya hidup berumah-tangga! Jemput tuh jodoh!"
"Isssh, udah-udah! Enggak usah bahas masalah jodoh lagi, deh. Jadi mual gue! Yang jelas, gue masih belum mau me-ni-kah! Apalagi sama makhluk yang namanya Aji itu!" Maira berkata dengan tegas.
"Baru juga diingetin, jangan takabur! Lo enggak bisa mengelak dari takdir, May. Kalo misal takdirnya Allah bilang lo akan menikah minggu depan sama si Aji, gimana? Lo mau kabur kayak Runaway Bride?"
"Ih, kebanyakan nonton film lo!" Sekali lagi toyoran Maira mampir ke dahi sahabatnya.
"Lagian, tadi gue sudah menolak dengan terang-terangan di depan semuanya. Kalo nanti ternyata Bunda masih maksa gue untuk nikah sama si brengsek itu, gue bakal cabut dari rumah!"
"Jangan bilang lo mau kabur ke rumah gue ya! Gue ogah terlibat drama Oh Mama Oh Papa!"
Maira memutar bola matanya dengan memasang mimik wajah mengejek bersamaan dengan datangnya Mang Dadang meletakkan dua gelas bajigur di meja mereka. Mang Dadang pun tertawa melihat mimik konyol Maira.
I found a love for me
Darling just dive right in
And follow my lead
Well I found a girl beautiful and sweet
I never knew you were the someone waiting for me
'Cause we were just kids when we fell in love
Terdengar lantunan lagu Perfect dari Ed Sheeran yang menjadi nada dering panggilan masuk dari ponsel Maira.
Maira pun melirik nama yang tertera di layar ponselnya. Bunda Sayang.
Maira tidak langsung mengangkat panggilan itu. Sejak kejadian tadi siang, sudah beberapa kali panggilan masuk dari Bundanya ia abaikan. Maira menerka Bundanya pasti mau melontarkan omelannya terkait kejadian di restoran tadi.
"May, kok nggak diangkat? Bunda tuh!"
"Ogah ah! Palingan mau murka sama gue. Udah dari tadi siang itu" Maira menenggak bajigur-nya teguk demi teguk.
"Su'udzhon aja lo sama orangtua sendiri! Angkat, May! Barangkali penting."
"Ya apalagi urusannya kalo bukan mau ngomelin gue gara-gara kejadian sama si Aji tadi?"
"Feeling gue sih kayaknya bukan. Udah angkat aja! Kalo lo nggak mau, gue yang jawab nih!" Ruri hendak meraih ponsel Maira, namun dengan cekatan Maira mengambilnya dari atas meja, lalu segera menekan tombol di layar.
"Assalamu'alaikum. Ada apa, Bun?"
Maira terlihat diam sejenak seperti sedang mendengarkan suara Bundanya dengan seksama. Raut wajahnya pun terlihat seperti terkejut akan sesuatu.
"Hah? Emangnya sakit apa, Bun?"
"Iya Bun, May nyusul kesana. Wa'alaikum salam." Maira menutup panggilannya. Lalu ia terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu. Maira melepas ikatan rambutnya untuk merapikan ikatannya.
"Ada apa, May?" Ruri yang baru saja menghabiskan bajigurnya bertanya penasaran.
"Sorry, Rur! Gue harus cabut nih sekarang."
"Bunda lo sakit?"
"Bunda lagi di rumah sakit."
"Hah? Kenapa nyokap lo?"
"Bukan nyokap gue, tapi nyokapnya si Aji yang masuk rumah sakit."
"Kok bisa? Kenapa?" Ruri semakin penasaran.
"Gue juga belum tahu cerita detailnya. Yang jelas nyokap nyuruh gue kesana."
"Terus, nanti lo bakal ketemu dia dong?"
"Urusan dia, lihat gimana nanti aja deh. Sekarang gue lebih khawatir sama kondisi Tante Winda. Orangnya baik, beda banget sama anaknya."
"Eciyeee...yang khawatir sama camer."
Maira memicingkan matanya ke arah Ruri. Memberinya isyarat untuk berhenti meledek.
"Kok gue mendadak kepo ya? Gue ikut deh, May. Biar nanti sekalian Mas Galang jemput gue di rumkit."
"Tapi janji lho ya, nggak ngomong macam - macam!" Maira mengangkat satu telunjuknya.
"Siiip! Eh, helmnya gimana? Lo bawa dua helm?"
Maira menepuk dahinya. Ia memang hanya membawa satu helm. Sudah cukup sering ia harus berhadapan dengan pihak aparat yang menjalankan razia motor. Dan selama ini, Maira belum pernah sekalipun mendapat surat tilang. Jangan sampai karena sahabatnya itu tidak mengenakan helm, Maira berresiko mendapat 'surat cinta' yang satu itu untuk pertama kalinya.
"Neng Ruri lagi butuh helm?" Mang Dadang yang sedang mengantar pesanan untuk meja di belakang mereka pun bertanya, setelah sukses menguping pembicaraan mereka.
"Iya, Mang. Mau ikut nebeng motornya May. Cuma kalo enggak pake helm, takutnya kena razia lagi."
"Pake helmnya saya aja, Neng. Entar saya telpon si Dudung aja minta dibawain helm dari rumah." Mang Dadang menyerahkan helmnya.
"Bener nih, Mang? Nuhun ya. Besok saya balikin. Yuk cusss, May! Oh iya Mang, ini duitnya! Ambil aja kembaliannya, buat jajan Dudung!" Maira meletakkan selembar uang 100.000 di atas meja.
Dengan membonceng Ruri, Maira pun segera mengendarai motornya menuju rumah sakit. Kepalanya dipenuhi dengan segala tanya. Harapnya semoga saja tidak terjadi sesuatu yang buruk terhadap wanita baik hati itu.
*****