"Za, ini bangunan tinggi banget. Kayaknya juga mewah, ini hotel?" Tanya Nita mulai katrok, sudah tahu ada tulisan ZEM corp masih bilang hotel.
" Sepertinya bukan, Za, apakah ini perusahaan tempat mu bekerja? Lalu Suami mu itu juga kerja di sini? Sebagai apa? Jabatannya sama Tanvir gede mana? Tinggi mana?" Giliran Rico yang menggebu -gebu. Padahal beberapa waktu yang lalu Maulana sudah mengatakan kalau Tanvir itu owner ZTM dan Zein adalah Owner ZEM, mereka punya kedudukan yang sama dalam perusahaan masing-masing.
" Sudalah, kalian jangan banyak bicara. Aku gugup mau minta tolong sama mas Zein, bagaimana kalau dia sedang sibuk atau aduh ..." Jantung Faeyza berdebar tidak karuan hanya karena membayangkan wajah pria yang baru saja dinikahinya.
" Aduh ... Aduh kenapa? Za, kamu jangan membuat orang panik dong, kamu baik-baik saja kan? Kamu tidak gila mendadak kan?" Tanya Nita takut saja kalau sahabatnya mulai kejang walau tidak ada riwayat seperti itu.
" Mana ada, tapi sungguh tidak berani masuk," tukas Faeyza tidak sadar kalau di belakangnya sudah seperti antrian sembako.
" Za, sebaiknya kita kembali dulu deh kalau kamu belum siap, coba lihat di belakang kita." Rico tidak enak hati karena pintu diblokir mereka bertiga.
Faeyza menoleh kebelakang, matanya melebar melihat antrian panjang tersebut. Ia pun segera masuk bersama ke dua temannya, rasanya tidak enak hati mendengar gerutuan mereka.
"Sudah, lebih baik sekarang kita masuk saja. Bismillah, pasrahkan pada Allah. Semoga kamu diberi kelancaran," kata Nita menyemangati sahabatnya.
Faeyza mengangguk, ia pun berjalan lalu masuk lif. Sampaikan di depan ruangan Zein, hal serupa kembali terjadi. Mereka bertiga berdiri di depan pintu ruangan hampir satu jam hanya menatap pintu tersebut, karyawan yang melihat awalnya tidak perduli tapi lama-lama heran, kemudian menjadi terganggu ketika seorang Menejer ingin bertemu dengan Boss mereka.
" Sebenarnya kalian bertiga untuk apa berdiri di depan pintu? Mas Zein juga tidak akan mendengar apa yang kalian katakan kalau kalian meggunakan bahasa kebatinan." Seorang pria memakai kemeja putih membawa sebuah map yang entah apa isinya menatap ketiga manusia itu heran.
" Siapa juga yang menggunakan bahasa kebatinan," sewot Faeyza jengkel karena dianggap menggunakan ilmu kebatinan.
" Lalu kenapa masih berdiri? Atau kalian merasa pintu ini begitu menarik hingga tidak ingin melepaskan pandangan, Ya Tuhan semoga mereka tidak berniat melepaskan pintu ini," balas pria itu.
" Bukan, pak." Rico jengah terus menerus dianggap yang tidak-tidak.
"Lalu?" Tanya Menejer semakin bingung.
" Ingin bertemu Suami," jawab Rico. Menejer itu melotot horor, ia membayangkan kalau Zein orang yang begitu alaihim ternyata menimpang, bahkan punya Istri anak muda.
" Ti-tidak mungkin, mas Zein itu orang yang baik. Beliau tidak mungkin memiliki seorang Istri..." Ucapnya menggantung karena tidak enak kalau harus menyinggung.
" Kenapa mas Zein tidak mungkin memiliki seorang Istri? Mas Zein adalah pria normal, dia kuat dan pantas menjadi seorang Imam," sahut Faeyza tidak terima karena pria itu tidak percaya.
" Justru karena mas Zein itu pantas menjadi Imam, mangkanya tidak mungkin memiliki seorang Istri sesama jenis," kata Menejer semakin tidak percaya.
" Pak, justru kalau sesama jenis itu baik. Allah itu menciptakan manusia berpasangan-pasangan dari jenis mereka sendiri, kenapa semakin tidak mungkin?" Faeyza ngotot dengan pemikirannya.
Memang Allah menciptakan manusia berpasangan-pasangan dari jenis mereka sendiri yang artinya manusia dengan manusia, jin dengan jin, hewan dengan hewan, tumbuhan dengan tumbuhan. Tapi yang dimaksud Menejer itu adalah sesama laki-laki hingga mereka salah dalam menafsirkan.
Zein memejamkan matanya mendengar keributan di depan pintu ruangannya, konsentrasi tidak full kalau seperti ini. Ia bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan ke arah pintu dan membuka pintu tersebut." Mohon maaf, apakah ada tulisan dalam pintu ruangan ku, kalau di sini tempat untuk keributan umum?"
Menejer, Faeyza, Rico dan Nita terkejut karena tiba-tiba pria itu keluar. Seperti biasa, Nita selalu tersepona dengan pria rupawan tersebut.
"Iza, kenapa kamu kesini?" Tanya Zein saat melihat Istrinya berdiri di antara pertengkaran.
" Anu mas ... Aku ingin ..." Rasanya sangat susah untuk mengatakan bahwa dirinya ingin meminta bantuan.
" Mas, pria ini mengaku sebagai Istri mas Zein." Menejer itu menunjuk Rico .
Rico melotot galak." Jangan fitnah kamu, siapa yang mengaku sebagai Istri Tuan Maulana?!" Sungutnya.
" Tadi, bukankah tadi kamu bilang kalau kamu berdiri hampir satu jam di depan ruangan mas Zein untuk bertemu Suami. Artinya apa coba kalau bukan kamu mengaku sebagai Istri mas Zein," jelas Menejer.
" Kamu salah paham!" Faeyza galak, bahkan sangking kesalnya sampai membentak orang yang lebih tua darinya.
" Maaf, Menejer Adi. Sepertinya yang dimaksud mas ini adalah Iza mencari ku, hanya kalimatnya kurang lengkap. Maafkan juga karena Istri ku berbicara sedikit kasar terhadap mas." Zein mencoba untuk menengahi, tidak enak juga kalau harus ribut.
" Tidak apa-apa, mas Zein. Saya yang salah, saya sudah salah paham. Mas Zein, saya ingin menyerahkan laporan yang mas minta," balas Menejer tidak enak hati karena Bossnya itu sampai harus minta maaf.
" Ah, terimakasih. Mas Adi boleh kembali ke tempat mas kerja," balas Zein.
" Mas Zein ini sopan dan ramah banget, kalau sampai aku disakiti orang, apakah dia akan bertindak tegas?" Batin Faeyza ragu.
" Iza, mari masuk. Kalian juga boleh." Zein meraih tangan Istrinya lalu menuntunnya masuk kedalam ruang kerjanya.
Selama dalam ruangan, Faeyza duduk di depan Zein yang berdiri sambil memeriksa laporan dari Menejernya tadi. Rico dan Nita memperhatikan sahabatnya tersebut, tatapan gadis itu terlihat sangat lapar.
" Mas Zein sungguh sangat menggoda, kemeja yang pas di tubuhnya membuat orang ingin nemplok," katanya tanpa sengaja.
" Hmm? Iza, mengatakan sesuatu?" Tanya Zein ketika mendengar Istrinya seperti mengatakan sesuatu, ia menaruh laporan itu di atas mejanya lalu duduk di samping sang Istri.
Rico dan Nita tersenyum sendiri, tidak menyangka kalau sahabatnya bisa berpikir mesum melihat pria tampan.
Faeyza terhenyak, sepertinya dia sudah salah bicara." Tidak, mas." Terlalu dekat membuat jantungnya semakin bermasalah.
Zein mengulurkan tangannya meraih bahu gadis itu dan memeluknya, menariknya pelan agar bersandar di dadanya." Iza, kamu kenapa? Wajahmu merah, apa kamu sakit?" Tanyanya penuh perhatian.
' Aduh ni cwok nggak peka banget si, aku nervous dekat dengan mu. Tangan ku gatel ingin peluk-peluk kamu, elus kamu tapi gengsilah' batin Faeyza, kalau saja tidak ada Rico dan Nita, mungkin sudah diserang pria itu.
Faeyza menarik dirinya dari pelukan sang Suami."Mas, jangan peluk orang sembarangan dong. Jantungku bermasalah setiap mas melakukan itu, tahu mas akan datang saja aku sudah jantungan."
" Ckakakakaka ..." Nita tertawa terbahak-bahak melihat kepolosan sahabatnya tersebut.
" Za, kamu begitu karena jatuh cinta pada Suamimu. Nggak usah malu-malu tapi ngarep gitu kali, udah kalau kamu merasa malu karena ada aku dan Nita, kami keluar dulu. Santai, kita paham kok. " Rico menarik tangan Nita lalu membawanya pergi.
Faeyza semakin tidak karuan hanya karena berduaan dalam satu ruangan bersama Suaminya, rasanya bingung sendiri harus berbuat apa.