Azka melihat Dion dan Ayudia kembali berpelukan erat, kemudian keduanya melepaskan pelukan itu. Dia melihat Ayudia mengangguk pelan. Tahulah dia saat ini semua pasti sudah baik-baik saja.
Dia melangkah kembali ke meja itu lalu duduk di kursinya. Dia mendengar Ayudia bercerita Fatir memintanya untuk menikahinya dan meminta Ayudia untuk berhenti bekerja. Hingga tiba-tiba datanglah istri Fatir ke restoran itu.
"Aku bingung kok istrinya tau kami di sana?" ucap Ayudia dengan kedua kening yang saling bertaut. Azka memperhatikan wajah gadis itu, tidak ada lagi air mata yang membanjiri kedua pipinya. Dia sudah terlihat membaik.
"Untuk orang sekelas Fatir, istrinya pasti punya uang yang cukup buat memata-matai suaminya. Dia punya perusahaan batu bara dan perkebunan sawit, dan salah satu yang terbesar di pulau ini." Dion coba menganalisis yang terjadi. Azka mendengarkan dengan saksama.
"Iya, kayaknya sih gitu. Berarti aku gak bisa pulang ke kontrakanku dong? Mungkin dia juga tau di mana rumahku. Aku gak mau masalah ini sampai ke rumah segala. Aku gak mau semakin dipermalukan." Ayudia semakin cemas dengan nasibnya.
Azka dan Dion saling berpandangan cukup lama. Azka bisa menangkap isi pemikiran Dion.
"Gak bisa kalau di Galeri. Ayahku datang pagi-pagi setiap hari. Ini demi kebaikan Ayu juga. Aku gak mau orang tuaku berpikiran macam-macam," terang Azka dengan nada berat.
"Ayu, gimana kalau sementara kamu tinggal di hotel aja? Biar aku aja yang bayar. Gak papa. Aku gak ada maksud apa-apa. Jangan salah paham," ucap Azka sambil memandangi Ayudia. Dia takut gadis itu salah paham karena dirinya mengajak Ayudia tinggal di hotel.
Ayudia menarik napas panjang memandangi mereka berdua, lalu dia kembali memandangi Azka. "Kamu baik banget, tapi maaf aku gak bisa terima. Aku gak mau nyusahin kamu. Tinggal di hotel selama beberapa hari duitnya gak dikit, Ka!" Gadis itu menundukkan wajah dalam-dalam.
"Ya udah gini aja. Ayu, tanteku punya ruko kosong. Kamu bisa tinggal di situ sementara beberapa hari ini. Kamu bisa nenangin diri dulu di sana. Nanti aku ngomong sama tanteku. Gimana, kamu mau?" tanya Dion kepada Ayudia.
"Apa gak ngerepotin? Apa gak jadi masalah sama tante kamu?"
"Enggak lah! Mungkin dia malah senang ruko itu ada yang nempatin."
"Boleh. Kalau gak ngerepotin, aku mau. Makasih kasih banyak, ya," ucap Ayudia.
"Azka, kamu bisa temani Ayu gak? Rukonya serem juga kalau sendirian," pinta Dion kepada temannya sambil tersenyum penuh arti. Tentu dia ingat sahabatnya itu meminta izinnya untuk mendekati Ayudia.
"Gak papa gak ditemenin. Aku bisa sendiri kok," ucap Ayudia saat melihat keengganan di wajah Azka.
"Engga, Yu. Harus ada yang temenin kamu. Jadi kalau kamu perlu sesuatu, ada yang bisa pergi keluar untuk cari. Azka aku mau ngomong bentar." Dion menggerakkan dagunya mengisyaratkan agar mereka menjauh dari Ayudia dan bicara berdua saja. Azka mengangguk pelan, mereka pun beranjak dari kursi dan berjalan sedikit menjauh.
"Dion, aku gak bisa. Aku takut khilaf." Azka menggeleng dengan cepat.
"Khilaf kenapa?" Dion tertawa gelak.
"Ah, pakai acara pura-pura gak ngerti lagi!" Azka berdecak kesal.
"Udahlah gak akan terjadi apa-apa. Aku percaya sama kamu," ucapnya sambil tersenyum dan menepuk lengan sahabatnya.
"Tapi ini beda!" Azka tetap menolaknya. "Dia tuh bikin aku—ah!" desahnya gusar.
"Dia harus ditemanin saat ini. Takutnya terjadi apa-apa. Aku gak bisa. Kan kamu tau aku harus ngantar ibuku ke pasar subuh untuk belanja kebutuhan warung."
"Iya juga, sih." Azka mengangguk pelan. "Kenapa dia enggak sendiri aja, sih?"
"Jangan, dalam keadaan begini, dia sangat rentan. Aku takut terjadi apa-apa." Dion memandangi wajah Azka lekat-lekat sarat permohonan.
"Ya udah deh kalau gitu." Azka mengangguk pasrah. Tidak bisa lagi menolak permintaan sahabatnya. Tiba-tiba saja dia merasa gugup. Dadanya berdegup kencang. Dia sangat takut akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Walaupun dia sangat ingin, tapi tidak saat ini. Tidak saat gadis itu dalam keadaan terpuruk.
Mereka kembali melangkah ke kursi. Dion tersenyum memandangi wajah sedih Ayudia. "Azka yang nemenin kamu. Gak papa 'kan?" tanya Dion.
"Yu, jangan salah paham, kami gak ada maksud apa-apa, gak ada pikiran mau ngoper kamu atau—" ucap Azka dengan gugup.
"Gak papa. Aku malah senang ada yang temenin," ucap Ayudia sambil tersipu saat melihat sikap Azka. Tampak jelas lelaki itu merasa serba salah.
Gadis itu bisa menangkap kekhawatiran Azka. Dia tahu pasti Azka takut dirinya akan salah paham dan menganggap Azka mencari kesempatan untuk bisa berduaan dengannya. Dia ingat mereka pernah jalan-jalan bersama, dan betapa manisnya sikapnya. Azka bahkan meminta izinnya hanya untuk sekadar memegang tangannya. Dia adalah orang yang sangat sopan dan sangat menghargai perempuan di matanya. Jelas sekali lelaki itu bukanlah tipe orang yang suka mengambil kesempatan.
"Terima kasih, Dion." Ayudia memeluk Dion penuh rasa syukur dan terima kasih.
Dion mengusap punggung Ayudia dengan hangat, "Gak masalah, kamu bisa datang ke aku kapan aja," ucap Dion sambil tersenyum hangat.
Azka memalingkan wajahnya saat melihat mereka berpelukan, dia menarik napas panjang dan berat. Perasaannya menyesak.