Gak mau! Enak aja! Terus aku gimana?! Aku enggak dapat apa-apa?! Setelah semua yang kulakukan?!" Ayudia mulai menangis lebih keras. Pilu sekali.
Dion memeluk gadis itu, menenangkannya di dalam pelukannya yang hangat. "Yu, kita harus kembalikan uang itu. Nanti aku antar kamu menemui orang itu." Dion mengusap punggung Ayudia dengan perlahan dan hangat.
Ayudia melepaskan pelukan Dion dengan kasar. "Enggak mau! Aku gak mau!" Ayudia marah. Ia tak rela jika jerih payahnya sia-sia.
"Gini, biar aku yang selesaikan ini. Nanti aku yang ngomong sama dia. Aku pastikan dia pasti kasihkan uang itu ke kamu. Kamu enggak perlu takut. Aku hanya mencoba melindungi kamu. Aku gak mau kalau kamu sampai kenapa-napa. Kamu gak percaya sama aku?" Dion memandangi wajah Ayudia dalam-dalam. Ia ingin mencari kepercayaan di wajah gadis itu.
"Oke." Ayudia melunak. "Tapi—"
"Tapi kenapa?" Kening Dion mengkerut.
"Gimana nanti kalau kalian sampai ribut? Berantem di situ?" tanya gadis itu khawatir.
"Gak akan. Gak akan sampai ribut." Dion menenangkan.
"Kamu yakin? Janji?"
"Iya, aku janji," ucap Dion dengan sunguh-sungguh.
"Oke." Ayudia mengangguk.
"Kamu hubungi dia. Bilang sama dia kamu udah ngambil uangnya sebanyak perjanjian kalian. Kalau dia gak mempermasalahkan, ya kita gak perlu datang, tapi jika dia tetap mau uangnya, maka kita harus datang." Wajah Dion berubah menjadi dingin.
"Aku gak punya nomor teleponnya, tapi mungkin temanku punya. Mereka pernah pergi bareng." Ayudia memeriksa kontak di ponselnya dan menghubungi temannya. Meminta nomor lelaki yang tadi malam menggunakan jasanya.
Beberapa kali dia mencoba menghubunginya, lelaki itu masih belum menjawabnya. Ayudia berdecak kesal. "Mungkin dia masih tidur," ucapnya kepada Dion.
"Ya udah, tunggu pagi aja." Dion mengangguk pelan.
Keduanya pun membicarakan hal lain sambil menunggu pagi. Hingga dia melihat Dion tertidur dalam keadaan duduk. Dia merasa kasihan kepadanya, dan juga perasaannya menjadi sukar untuk dijelaskan. Betapa lelaki itu selalu ada untuknya.
Ayudia pun keluar dari kamarnya mencari nasi kuning untuk sarapan mereka dan meletakkannya di atas meja, dia menunggu Dion bangun agar bisa menyantapnya bersama-sama.
"Halo." Ayudia berhasil menghubungi lelaki itu.
"Halo,ini siapa?" Suaranya terdengar malas dan serak. Sepertinya karena ia masih tidur.
"Bang, aku Ayu. Cewek yang tadi malam sama Abang. Aku ngambil uang Abang di dompet, tapi gak lebih dan gak kurang jumlahnya sesuai dengan perjanjian kita sebelumnya." Ayudia sangat gugup.
Dion pun bangun mendengar suara Ayudia. Dia menatap gadis itu dengan perasaan cemas.
"Apa?!" Lelaki itu terkejut. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Barulah dia menyadari tidak ada siapa pun di dalam kamar itu.
"Aaah kamu ini! Kamu cepat ke sini!" perintahnya dengan nada gusar.
"Oke. Aku ke sana." Ayudia mengakhiri pembicaraan.
"Dia mau kita ke sana," kata Ayudia gugup, memberitahukan kepada Dion.
"Gak papa. Ayo kita ke sana." Dion mengangguk.
"Makan dulu, Yon. Aku beliin nasi kuning," ucap gadis itu.
"Gak usah, nanti aja. Kita ke sana aja langsung. Aku cuci muka dulu."
"Iya." Ayudia mengangguk pelan.
Setibanya di hotel, tepat di depan kamar itu, Dion bersembunyi dan bersandar pada dinding di sisi pintu. Dia menghindari penglihatan lelaki itu jika saja ia mengintip dari lubang penilik di daun pintu.
Dion mengangguk pada Ayudia. Dia bisa melihat kegugupan terpancar jelas di wajah gadis itu.
Ayudia menekan bel. Terdengar alunan nada dari dalam kamar.
Pria itu semringah membuka pintu saat melihat Ayudia.
"Heeeiiiii. Sayaaaang! Ayo masuk," ucapnya riang. Dia hanya mengenakan handuk yang dililitkan di pinggang.Tidak ada rona kemarahan di wajahnya. Justru ia sangat bahagia Ayudia sudah datang.
"Aku bisa mengulanginya lagi," ucap lelaki itu bergumam di dalam hati. Seulas senyum licik mengembang di wajahnya. Senyuman itu sangat menjijikkan bagi Ayudia. Ia bahkan sampai bergidik melihatnya.
Begitu Ayudia masuk. Lelaki itu menutup pintu. Betapa terkejutnya ia pintu itu tidak bisa ditutup. Dion menekan daun pintu menggunakan tangannya sekuat tenaga.
Wajah pria itu berubah pucat. Bahkan jika mungkin, perut tambunnya itu akan menyusut saking ia terkejutnya. Dengan sigap Dion segera ikut masuk ke dalam kamar. Dengan gagah penuh percaya diri dia berdiri di belakang Ayudia.
Lelaki itu masih berdiri mematung di depan pintu kamar. Ia keheranan. "Ada apa ini?!" Nada suaranya tidak senang.
"Bisa kita ngomong bentar, Bang?" Dion mengawali kata-katanya sambil tersenyum dingin. Ah, wajah tampannya menjadi lebih memikat berkali-kali lipat.
"Ngomong aja kalau mau ngomong!" Lelaki itu berjalan masuk lalu duduk di bibir kasur.
"Ini si Ayu, dia cerita katanya dia sudah mengambil uang Abang tanpa izin. Aku bilang gak boleh gitu. Dia harus kembalikan uang Abang." Dion berbicara dengan sangat hati-hati. Seulas senyuman tipis meremehkan tersemat di bibirnya.
"Oh, masalah itu. Ah gak papa. Aku gak masalah. Ambil aja!" ujarnya dengan nada yang terdengar cuek. Kelelakiannya merasa tertantang karena Dion yang notabenenya adalah seorang lelaki kini ikut bicara dalam masalah ini. Dia merasa malu jika dianggap tidak mau membayar.
"Oke. Kalau gitu udah gak ada masalah lagi, ya. Ya udah kami akan langsung pulang aja." Dion menarik tangan Ayudia keluar dari kamar hotel itu.
Ayudia hanya terdiam menyaksikan kejadian itu. Dia sangat bersyukur ada Dion. Dia bagaikan malaikat pelindung. Seperti kakak lelaki yang tak pernah dimilikinya.
***
Ayudia Kembali mengingat kejadian hari itu. Hal itu begitu melekat dalam ingatannya. Serasa baru kemarin ia mengalaminya. Dia merasa banyak sekali berhutang budi kepada Dion.
Gadis itu mengarahkan pandangan ke arah tangga saat mendengar suara derap langkah kaki mendekat. Dua pemuda tampan sedang berjalan ke arahnya. Dion dan Azka datang bersama. Ayudia tersenyum bahagia melihat mereka berdua.