Seorang lelaki bernama Azka Febrian bersandar pada dinding yang berseberangan dengan lift di sebuah gedung kelab malam berlantai enam. Azka lelaki tampan berusia 24 tahun, anak lelaki dari Brata Jaya—pemilik galeri seni yang besar dan sangat terkenal. Rambutnya panjang ikal sepundak, dibiarkannya tergerai hingga membuat kesan tengil, tetapi begitu menawan hati dan sangat memikat.
Misai tipis nan rapi menghiasi kontur rahangnya yang tegas. Tubuhnya tingginya yang proporsional ia balut dengan t-shirt ketat dilapisi kemeja yang dibiarkan terbuka, membuat dada bidangnya terukir jelas. Sepasang sepatu sneakers terpasang bagus di kedua kakinya. Manik matanya hitam legam, sangat indah layaknya berlian hitam.
Azka mengeluarkan ponsel dari saku. Memilih menu pesan lalu mulai mengetik.
{Kamu di mana?} tanya Azka pada temannya yang bernama Dion Andareksa.
{Aku udah di dalam. Kamu di mana?} balas Dion.
{Di depan lift, tungguin di depan pintu, ya} Azka kembali mengirim pesan.
{Oke} balas Dion lagi.
Azka pun memasuki pintu berjejalan dengan para pengunjung kelab lainnya. Beberapa wanita tersenyum padanya, mencoba menarik perhatiannya, tetapi dia hanya membalasnya dengan senyuman manis tanpa berniat lebih.
Ketika lift berhenti dan sudah sampai di lantai enam, ia pun keluar dan mendapati Dion sudah berdiri di sana. Senyum Azka mengembang melihat sahabatnya.
Dion Andareksa, lelaki nan tampan rupawan berwajah separuh western, tetapi kulitnya tidak terlalu putih. Ia memiliki mata sangat indah, berwarna kuning terang seperti madu. Rambutnya disisir rapi ke belakang. Senyumannya sebenarnya manis, tetapi dia terkesan sangat dingin. Dion seusia dengan Azka, keduanya berteman sangat dekat, bahkan sejak masih sama-sama sekolah pada masa kanak-kanak.
"Banyak orangnya di dalam?" tanya Azka pada temannya.
"Iya, lumayan banyak." Dion mengangguk sembari berjalan masuk di sisi sahabatnya.
"Aku sebenernya males datang, tapi si Irfan maksa," keluh Azka pada temannya.
"Sebenernya aku juga. Sama seperti kamu, tapi enggak enaklah, katanya si Irfan ulang tahun," seloroh Dion membujuk sahabatnya.
"Hem ... em. Iya." Angguk Azka pelan. Keduanya terus berjalan memasuki area private room di kelab malam itu. Hingga mereka membuka pintu masuk sebuah ruangan yang menjadi tujuan kedua lelaki tampan itu.
Mata keduanya memperhatikan ke sekeliling, ruangan itu dipenuhi teman-teman mereka dan juga para gadis-gadis muda yang mengenakan pakaian dengan warna sama satu dengan yang lainnya. Keduanya yakin, mereka adalah para wanita yang bekerja di kelab ini, disediakan untuk para pelanggan yang ingin ditemani para wanita cantik.
Azka mendekati Irfan. "Hei … selamat ulang tahun," sapanya memeluk temannya dengan hangat.
"Azka! Terima kasih udah bersedia datang." Irfan menepuk punggung Azka dengan senang.
"Hum ... em, ya." Tawa Azka hambar, dia tidak akan datang jika tidak dipaksa Dion.
"Ya udah, ke bawah gih, pilih mau yang mana." Irfan menawarkan Azka pendamping perempuan untuk menemani malamnya.
"Gampanglah nanti." Azka tersenyum menghargai tawaran Irfan.
"Pilih aja, nanti masukin ke room aku aja tagihannya."
"Iya." Angguk Azka.
Irfan pun menawarkan minuman untuk Azka dan Dion. Mereka pun minum menghormati temannya yang ulang tahun. Sesekali keduanya bernyanyi memeriahkan suasana.
Malam semakin larut, Azka mulai bosan. Pemandangan di dalam room itu mulai 'panas' tidak terkendali. Para wanita melekat erat di pangkuan para lelaki, tak terhitung berapa kali sudah dia melihat cumbuan panas yang mereka lakukan. Tempat itu penuh asap rokok. Gelas dan botol kosong bergelimpangan.
Azka mulai gerah, bukannya dia iri, hanya saja dia memang tidak berkeinginan untuk melakukan hal yang sama. ia berdiri mendekati Irfan. "Fan, aku balik duluan, ya?"
"Kok gitu, sih? Janganlah!" jawab Irfan keberatan dengan suara terseret khas orang mabuk. "Nanti aja. Kamu cari temen sana."
"Ya udah deh, aku ke bawah dulu." Ifran mengangguk pelan. Dilihatnya Dion sahabatnya pun duduk berdampingan dengan seorang gadis cantik. Sepertinya masih gadis, perempuan itu tampaknya masih muda.
Azka mendesah pelan, dia melangkah ke balkon ruangan itu. Di bawahnya adalah area khusus diskotik sementara dirinya berada di lantai atasnya karena berada di private room. Separuh ruangan yang digunakan Irfan adalah area untuk karaoke.
Manusia di bawah sana berjejalan penuh sesak, pada area panggung ada tiga orang penari yang meliuk-liukkan tubuh mereka dengan indah, gemulai dan tentu saja erotis.
"Ayo, aku antar ke bawah, cari cewek." Irfan mendekati Azka.
"Gak usah, aku bisa sendiri." Azka mengangguk. "Ya udah aku ke bawah, ya."
"Iya …." Azka berlalu dari hadapan Irfan.
Azka pun ke turun ke lantai tiga, menuju ke ruangan khusus. Melihat-lihat para gadis yang duduk di dalam ruangan kaca. Ruangan itu ditutup dengan kaca satu arah sehingga para gadis itu tidak melihat jika ada orang lain di sisi luar.
Azka mengedarkan pandangan.
"Silakan pilih, Mas," kata seorang Mami menawarkan anak-anaknya.
Para wanita itu cantik-cantik, Azka tidak memungkirinya, tetapi tidak ada satu pun yang menarik perhatiannya.
"Jadi mau yang mana?" tawar sang Mami dengan nada hangat dan ramah.
Azka menarik napas dalam-dalam. "Nanti aja, Mam. Saya tunggu teman dulu, nanti bareng-bareng aja. Dia belum datang," tolak Azka dengan nada lembut seraya tersenyum hangat.
"Ya udah." Si Mami tersenyum seraya mengangguk pelan.
Azka keluar dari tempat itu memasuki diskotik. Dia memilih meja kosong dan duduk di kursi. Manik hitamnya mengedarkan pandangan ke seluruh tempat itu sejauh matanya mampu memandang. Lautan manusia memenuhi tempat itu. Dia menyalakan pemantik memanggil waiter lalu memesan minuman untuk dirinya.
Sambil menunggu, Azka menyalakan rokok dan mengamati keadaan sekitar, dia tidak terlalu menyukai tempat ini, meskipun sesekali dia pergi juga ke kelab malam untuk menghadiri undangan temannya, seperti halnya malam ini. Namun, dia tidak pernah benar-benar menyukainya. Dia lebih suka menyendiri di galerinya, melakukan hal sangat disukainya.
Beberapa wanita mendekatinya, berdiri di sisinya dan mengajaknya bicara. Seketika itu juga Azka mengibaskan tangan, menyuruh mereka pergi. Dia tidak ingin didekati dan dia memang sangat tidak mudah untuk didekati. Dia hanya ingin sendiri.
Saat ia menolehkan wajah ke samping, seketika pandangannya tertuju pada perempuan yang baru saja datang berdiri di sebelahnya. Azka memperhatikannya, perempuan itu berwajah cantik. Ya, meski pencahayaan di dalam sini remang-remang, tetapi jelas terlihat gadis itu cantik sekali di mata Azka.
Dia memiliki rambut ikal dan panjang sebatas punggung. Tubuhnya dibalut pakaian kasual, hanya t-shirt putih sederhana dengan model v-neck rendah. Belahan dadanya sedikit terlihat. Celana jeans ketat dan panjang berwarna biru gelap membungkus tubuh bagian bawahnya serta sepang sepatu sneakers.
Lelaki itu menatap sang gadis lekat-lekat. Sesaat terdiam dan terpaku, tak bisa mengalihkan pandangan darinya.
"Hmmm … menarik," gumam Azka di dalam hati.
Gadis itu menatap jauh ke depan pada khalayak ramai. Tidak sedikit pun melihat ke arah Azka.
Azka berdiri di sampingnya dan berbisik di telinganya agar suaranya tidak tenggelam dalam hingar bingar kerasnya musik "Mau minum?" tawarnya pada gadis itu.
Gadis itu melihat sekilas ke wajah Azka lalu menggeleng cepat. Dia seakan tidak peduli dan tidak tertarik.
Kening Azka mengkerut dan dia tersenyum rumit. "Hmmm … gadis yang aneh. Mungkin dia enggak bisa minum?" gumamnya di dalam hati. Ia menyodorkan gelasnya yang berisi minuman.
"Mau rokok?" tawar Azka lagi masih berusaha mendekatinya.
Kembali gadis itu melihat ke arahnya. Dia tidak bicara sepatah kata pun, hanya menggeleng sambil mengibaskan tangan.
Azka mencebikkan bibir. "Baiklah … dia enggak mau semua yang kutawarkan." Dia meletakkan rokoknya di atas meja. "Apa yang dia mau sebenarnya?" dirinya diliputi rasa penasaran yang besar.
"Kamu—" Kata-kata Azka tiba-tiba terputus. Gadis itu meninggalkannya begitu saja.
Azka menatap kepergiannya dengan tatapan bingung dan heran. "Sombong amat!" pekiknya nyaring yang tentu saja tidak didengar gadis itu karena suaranya tenggelam dalam bisingnya suara musik yang menghentak nyaring.