Azka menghentikan motor sport-nya di halaman rumah Dion. Mengetuk pintu rumah sahabatnya yang sebenarnya memang sudah terbuka.
"Dion!" panggilnya nyaring.
"Ka! Masuk." Dion keluar dari kamarnya.
"Gak usah. Di sini aja." Azka mendudukkan diri di atas kursi yang tersedia
"Mau kopi?" tawar Dion pada Azka.
"Boleh, deh." Angguk Azka.
Dion pun pergi ke dapur membuatkan kopi untuk sahabatnya kemudian kembali dengan membawa segelas kopi di tangannya beralaskan nampan. Kepulan uap dari gelas yang dibawanya mengudara. Membawa aroma kopi yang harum menyapa indera penciuman dengan lembut. Menghadirkan rasa ingin segera menikmatinya.
"Dari mana, Ka?" tanya Dion sambil menyurungkan kopi ke atas meja.
"Dari Galeri."
"Oh." Dion mengangguk.
Azka meraih kopinya dan menyeruput perlahan. Terasa masih panas, namun terasa nikmat dan lekat di indera pengecap dan tenggorokannya. "Yon," ucapnya sambil meletakkan kembali gelas kopinya ke atas meja.
"Ya?" Dion menatap lekat wajah tampan sahabatnya. Ah, Dion pun mengakui betapa menarik wajah Azka. Kesan maskulin begitu tampak pada setiap garis wajahnya.
"Siapa cewek kemarin namanya?" tanya Azka dengan nada ragu.
"Cewek yang mana?" Dion mencoba mengingat dengan kedua kening yang mengkerut.
"Yang tadi malam sama kamu. Yang kamu ajak ke meja kita terus dia pergi." Azka menerangkan. Sangat besar harapannya dia akan mendapatkan informasi tentang gadis yang terus dirinya itu.
"Oh … si Ayu."
"Iya … Ayu namanya?" Azka memastikan lagi, meski dia sebenarnya mengingatnya. Hanya saja, dia tidak ingin terlihat terlalu bersemangat.
"Ayudia. Memangnya kenapa?" Dion menatap Azka penuh selidik.
"Enggak papa. Tanya aja." Azka tersenyum manis. "Hum … kamu kayanya deket sama dia?"
"Lumayanlah … kami cukup dekat." Dion menangkap ada sesuatu dari wajah Azka. "Kenapa, sih?" Manik kuning madu-nya memandangi Azka dalam-dalam.
"Gak papa. Kenalin dong!" pinta Azka menyatakan langsung tujuannya.
Dion menatap dalam wajah Azka dengan diam.
"Kayanya dia orangnya asik, kamu kenal di mana?" tanya Azka penasaran.
"Oh … waktu itu …."
***
Setahun enam bulan yang lalu di sebuah Mall ....
Ayudia memilih-milih pakaian lalu membawanya ke kamar pas untuk dicoba, apakah terlihat bagus jika dipakainya. Dia tersenyum puas melihat refleksi bayangannya di cermin.
Dia membawa beberapa lembar pakaian yang disukainya ke kasir. Dengan sabar dia menunggu antrian yang cukup panjang hingga sampainya gilirannya.
Sambil menunggu sang kasir menghitung total belanjaannya, Ayudia mencari dompet di dalam tasnya.
'"Satu juta dua ratus dua puluh lima ribu," kata kasir itu membacakan nominal yang harus dibayarkan Ayudia.
Seketika wajah Ayudia pucat pasi. "Mbak … sebentar, ya. Saya cari dompet dulu. Sepertinya kececer," ucapnya sambil terus mencari-cari ke dalam tasnya. Dia begitu gugup.
"Memang gak ada!" ucapnya lirih dengan mata berembun. "Bentar ya, Mbak," pinta Ayudia dengan wajah malu dan juga memelas.
"Baik, saya simpankan dulu," kata kasir itu dengan nada ramah.
Ayudia pun berlari menyusuri tempat-tempat yang pernah dilewatinya. Rasa takut dan resah menyergapnya erat. Bukan hanya karena uang di dalamnya, tetapi dia akan sangat kerepotan harus mengurus ID card dan juga kartu ATM.
Puas dia mencari, lelah langkahnya yang gemetar berputar-putar. Sayangya dompetnya tidak juga dia temukan. Ayudia pun keluar dengan langkah gontai dari area perbelanjaan itu dengan perasaan sedih.
Dia duduk di kursi tunggu yang disediakan di mall itu. Ditangkupnya kedua telapak tangan ke wajah. Sesenggukan dia menangis sedih. Ah, uang yang yang hilang di dalam dompetnya mungkin tidak besar bagi sebagian orang, tapi untuk dirinya, itu uang yang banyak dan harus dicarinya dengan susah payah. Benar-benar susah payah.
"Perhatian-perhatian, kepada pengunjung Mall, barang siapa yang merasa kehilangan dompet, bisa mengambilnya di bagian pusat informasi. Terima kasih," kata-kata itu menggema ke seluruh mall.
Ayudia terkejut, diangkatnya wajahnya yang bersimbah air mata. Segera dia menyeret kakinya yang gemetar berlari ke bagian pusat informasi.
"Maaf, Mas. Saya kehilangan dompet," kata Ayudia penuh harap.
"Dompet seperti apa? Warna apa?" tanya karyawan yang bertugas di sana. Tersemat nama Dewa di dadanya.
"Dompet hitam, Mas. Di dalam ya ada KTP saya, atas nama Ayudia Ambalika."
Dewa pun membuka dompet yang tadi dititipkan kepadanya, lalu mengambil KTP yang terdapat di dalam sana dan mencocokkan namanya dengan nama yang baru saja disebutkan Ayudia. Dia mengangguk pelan lalu memperhatikan foto yang terdapat di kartu tanda pengenal itu dengan wajah Ayudia. Keningnya mengkerut.
"Kenapa, Mas?" tanya Ayudia saat melihat ada gelagat tidak mengenakkan yang di raut wajah Dewa.
"Hum … kok mukanya beda, ya?" ucap Dewa lalu mensejajarkan KTP dan juga wajah Ayudia. Dia mencoba mencari kesamaan.
"Beda apanya. Mas?" tanya Ayudia heran. KTP miliknya kini sejajar dengan wajahnya. "Itu saya, Mas. Itu KTP saya."
"Beda, Mbak. Mbak-nya lebih cantik dari pada foto di KTP ini," puji Dewa sambil terseyum kemudian menyerahkan dompet dan KTP Ayudia.
"Mas-nya bisa aja! Kaget saya." Ayudia tersenyum lega dan senang.
Dewa juga tertawa pelan. "Sama-sama. Cek dulu, Mbak."
Ayudia memeriksa dompetnya, semuanya lengkap dan sama seperti yang terakhir kali dilihatnya tidak kurang satu apa pun. "Siapa yang balikin ya, Mas? Ada datanya? Saya mau ucapkan terima kasih."
"Oh ada. Sebentar," kata Dewa memeriksa bukunya. Dia pun memberikan nama dan nomor telepon seseorang yang tadi telah mengembalikan dompet Ayudia.
Ayudia pun menghubungi nomor yang diberikan Dewa. Beberapa lama dia menunggu akhirnya terdengar suara di ujung sana. "Halo—"
"Halo, Mas. Dengan Mas Dion?" tanya Ayudia dengan hati-hati.
"Iya," jawab lelaki itu dengan nada suara terdengar hati-hati.
"Mas, saya orang yang dompetnya Mas temukan tadi."
"Oh iya, Mbak."
"Makasih banyak ya."
"Sama-sama."
"Mas di mana? Masih di mall sini?"
"Iya. Masih di sini."
"Em … Mas, saya masih di depan pusat informasi. Bisa kita ketemuan di sini? Saya tunggu."
"Maaf, mau apa, ya Mbak?"
"Em …." Ayudia terdengar ragu. "Saya mau kasih Mas-nya sesuatu sebagai ucapan terima kasih."
"Eh gak usah. Gak papa. Saya gak mau minta itu."
"Gak papa, Mas. Jangan ditolak."
"Jangan, saya gak mau," tolak lelaki yang bernama Dion itu dengan tegas.
Ayudia diam sejenak, dari nada bicara lelaki itu terdengar jelas dia memang tidak mau diberi apa-apa pun. "Ya udah kalau gitu kita minum aja di food court, ya? Jangan ditolak lagi. Cuma minum aja. Ya … tolong."
"Ya udah. Mbak-nya di mana sekarang?"
"Masih di depan konter pusat informasi."
"Ya udah saya ke sana."
Ayudia bernapas lega. Setidaknya dia ingin mengenal dan berteman dengan orang baik dan jujur yang menolongnya. Dia menunggu beberapa saat. Matanya mengamati seorang lelaki tampan nan gagah yang berjalan mendekat.
"Mas Dion?" Ayudia memastikan.
"Iya." Angguk Dion dengan senyuman manis. Manik matanya kuning terang seterang madu.
Ayudia tersenyum senang. Ah, lelaki yang jujur dan baik hati yang menemukan dompetnya adalah seorang pemuda tampan. "Mimpi apa aku semalam," ucapnya di dalam hati.
"Ayu … Ayudia Ambalika." Ia menyurungkan tangan sambil tersenyum canggung dan salah tingkah. Lekat matanya memandangi setiap garis wajah Dion yang mempesona.
Dion pun mengulurkan tangan menyambut tangan Ayudia dengan erat. "Dion," ucapnya dengan nada hangat. Lekat manik matanya yang indah menatap Ayudia. Gadis cantik yang ramah.
"Ayo … mau ke mana?" tawar Ayudia.
"Terserah aja." Dion tersenyum senang.
Mereka pun memilih minum secangkir kopi di food court yang tersedia di mall itu. Larut keduanya dalam perbincangan ringan membicarakan hal-hal sederhana.
***
"Oh … jadi begitu ceritanya." Azka mengangguk senang. Senyuman lebar tersemat di bibirnya yang indah. "Minta nomor telepon dia dong," pinta Azka tanpa malu-malu.
"Nantilah, aku tanya dulu. Gak enak kalau ngasih tanpa izin," tolak Dion halus.
Azka berdecak kesal. "Kaya aku mau apa aja." Dia mendelik pada temannya.
"Iya, soalnya dia gak suka ditelepon orang-orang gak jelas."
"Eh, maksud kamu apa? Aku orang gak jelas?" protes Azka.
"Bukan begitu. Dia kan enggak kenal sama kamu. Kamu aja diteleponin orang gak kenal tiba-tiba ngajak kenalan gimana?"
"Hihihi, iya juga sih."
"Nah makanya, yang ada nanti dikira kamu tukang tipu, yang bilang-bilang menang undian itu."
"Ya enggaklah! Aku kan bisa bilang teman kamu."
"Nah itu dia masalahnya! Nanti aku dikira bagi-bagi nomor dia sembarangan," elak Dion dengan nada sedikit