Setahun yang lalu ….
Dion menemani bos-nya ke tempat hiburan malam. Sebuah karaoke paling besar di kota. Saat ini dia berada di depan ruangan kaca satu arah, di dalam ruangan itu berjejer wanita cantik duduk di sofa dengan pakaian sewarna satu dengan lainnya.
Sang Bos yang bernama Adrian pun memilih wanita yang akan menemaninya. "Yon … kamu mau yang mana?" tawarnya pada teman sekaligus bawahannya.
"Gak usah, Pak. Bapak aja." Dion menggeleng sungkan.
"Jangaaan. Ayo … cepetan!" ucapnya dengan nada perintah.
Mau tak mau Dion pun mengedarkan pandangan ke dalam ruangan itu, meneliti para wanita di dalam sana satu persatu. Pencariannya pun terhenti saat melihat seorang perempuan di dalam sana. Dia tidak bisa menahan keterkejutan saat melihat seseorang yang sangat dikenalnya duduk manis di dalam sana.
Dion memicingkan mata, mencoba mengenali dan melihat lebih jeli apakah wanita itu orang yang sama? Seseorang yang sangat dikenalnya?
"Saya mau yang itu, cewek yang duduk di sofa barisan kedua nomor tiga dari kiri," ucapnya dengan nada lirih kepada sang Mami.
"Baik. Nanti diantarkan ke room," kata sang Mami mengangguk seraya tersenyum senang.
Adrian dan Dion pun memasuki ruang VIP karaoke di tempat itu. Tidak lama setelahnya mereka menekan tombol untuk memanggil waiter dan memesan minuman dan juga cemilan.
Tidak lama kemudian datanglah dua orang wanita ke dalam ruangan mereka.
"Halo," sapa keduanya dengan nada ramah dan hangat.
"Halo … Mira," kata salah seorang dari wanita itu mengulurkan tangan pada Adrian dan Dion untuk memperkenalkan diri. Adrian dan Dion memperkenalkan diri mereka dengan nama lain agar tidak dikenali identitas asli mereka.
"Duduk sini," pinta Adrian menepuk sofa. Mengisyaratkan bahwa dirinya-lah yang sudah memesan Mira.
"Halo … Ayudi ... a." Perempuan yang dipilih Dion mengulurkan tangan. Betapa terkejutnya dia saat mendapati seseorang yang memesannya adalah Dion.
Dion melihat raut keterkejutan di wajah Ayudia. Ya, selama enam bulan dia mengenalnya tidak pernah gadis itu mengatakan dengan jelas apa sebenarnya pekerjaannya. "Halo," sapa Dion menyambut tangan Ayudia yang terasa sangat dingin.
Ayudia pun berganti menjabat tangan Adrian. Dia duduk di sisi Dion dengan perasaan canggung. Tentu saja Dion melihat hal itu. Dia melihat jelas bahasa tubuh gadis itu.
Mira menuangkan minuman untuk Adrian lalu bernyanyi untuk memeriahkan suasana.
"Jadi kamu kerja di sini?" bisik Dion di telinga Ayudia.
"Hem ... em." Angguk Ayudia malu.
"Kenapa enggak pernah cerita?" tanya Dion lagi.
"Gak papa, malu aja sama kamu," lirih gadis itu sambil memainkan kuku-kuku jarinya.
Dion tersenyum hangat. Dirangkulnya bahu Ayudia merapat ke dada. "Udah. Gak papa. Santai aja."
Ayudia menggigit bibir. Ah, rasanya sungguh tidak nyaman. Mereka berteman dan jika seperti ini kejadiannya akan seperti apa jadinya? Dia sangat malu dengan kejadian ini dan dia tidak ingin jika pertemanan yang dijalinnya akan berakhir dengan cara seperti ini. Berakhir menjadi pembeli dan penjual.
"Jadi gimana? Masih mau temenanan sama aku? Meski tau aku kerjanya gini?" tanya Ayudia dengan bibir yang bergetar.
Dion tersenyum hangat sambil menghela napas panjang dan berat, Diraihnya kepala Ayudia dan dikecupnya puncak kepalanya. "Udah jangan ngomong yang aneh-aneh."
Ayudia merasa risi dengan perlakuan Dion. Sebelumya, lelaki itu tidak pernah melakukan hal seperti ini kepadanya. Apakah karena Dion mendapati dirinya berada di sini? Bekerja seperti ini? Hingga dia merasa bisa melakukan apa saja? Ah, tetapi keadaannya memang benar seperti ini. Dia adalah perempuan yang dibayar untuk menemani Dion di tempat ini.
"Hem … jadi gimana sekarang? Kamu jadi … hem … jadi … tamu aku?" Susah payah Ayudia mengucapkan kata-kata itu.
Dion tertawa miris. "Enggak lah. Biasa aja. Kaya kita biasanya aja. Oke?"
Ayudia mengangguk senang sambil menghela napas panjang. Susah sekali dijabarkan bagaimana perasaannya saat ini. Dia merasa kacau balau dan seperti tidak tahu harus berbuat apa.
Bagaimana dia tidak begitu? Biasanya dia dan Dion bercanda, berbincang hangat selayaknya sahabat, jika saat ini dia harus berlaku mesra, memberikan senyum penuh kepalsuan, bukankah itu sangat tidak mengenakkan? Ah, meskipun Dion sudah berkata begitu, tetap saja dia merasa tidak nyaman saat lelaki itu tahu pekerjaannya yang sebenarnya. Pekerjaan yang selama ini disembunyikannya rapat-rapat. Namun, memang kehidupannya berjalan begitu dramatis. Hal yang begitu dia sembunyikan justru terbuka sendiri dengan cara yang luar biasa.
Dion berusaha mencairkan suasana dan bersikap biasa saja seakan tidak terjadi apa-apa. Keduanya pun larut dalam kehangatan seperti biasanya, tentu saja bukan kehangatan yang bersifat romantis.
Dion menarik napas panjang dan berat mengingat itu semua. Ada perasaan sesak di dalam dadanya. Perlahan dia pejamkan mata, mencoba untuk tidur meski rasa kantuk masih belum juga bersedia tuk menyapanya.
***
Beberapa hari kemudian ….
Azka memarkir motor sport-nya di halaman rumah Dion. Dia melihat temannya itu sedang duduk bersantai di pelataran rumah berbincang dengan teman-temannya yang lain.
"Yon, ayo! Kapan lagi?" desak Azka.
"Apanya yang ayo? Mau ke mana?" Dion heran dengan kedatangan sabahatnya yang baru saja tiba sudah mendesaknya untuk pergi.
Azka berdecak kesal. "Ketemu Ayu."
"Oh itu … palingan dia lagi sibuk. Mungkin dia lagi kerja."
"Telepon dulu, di mana dia? Kalau dia kerja, ya, nanti pas pulang kerja. Bentar aja bisa kan?" paksa Azka pada sahabatnya.
Dion mengambil ponsel dengan wajah enggan. Dia menghela napas panjang dan menekan menu panggilan pada ponselnya lalu meletakkan di daun telinganya. Nada sambung terdengar beberapa kali.
"Buka loudspeaker-nya!" Azka lagi-lagi memaksa dengan tidak sabar. Dia ingin sekali mendengar suara gadis itu. Gadis yang memikat hatinya, gadis yang tidak pernah satu kali pun berbicara kepadanya, tetapi sudah membuatnya selalu gelisah.
"Heeeh!" desah Doin dengan wajah kesal. Meski begitu, tak membuatnya menolak permintaan Azka.
"Halo," sapa Dion.
"Halo, Yon," jawab Ayudia di seberang sana.
"Yu, kamu di mana?" tanya Dion sambil menatap wajah Azka yang kegirangan karena mendengar suara Ayudia. Ah, senyumannya begitu lebar hingga susunan giginya terlihat.
"Di kost-an, nih. Kenapa, Yon?"
"Oh … gak kerja?"
"Enggak. Aku off malam ini."
"Aku mau main ke kost-an kamu." Dion melongokkan kepala ke dalam rumah melihat jam di dinding, waktu sudah menunjukkan jam 8:30 malam.
"Ya udah main aja."
"Bener nih gak papa?" tanya Dion ragu.
Azka memutar matanya sambil berdecak kesal. "Udah dibilang gak papa!" gerutunya di dalam hati. Entah kenapa dia merasa Dion memang enggan mempertemukan dirinya dan Ayudia.
"Gak papa. Buruan sebelum kemalaman, nanti gak enak sama tetangga."
"Ya udah kalau gitu. Aku sekarang ke sana."
"Oke." Keduanya mengakhiri panggilan.
"Asiiik. Ayo sekarang!" ajak Azka penuh semangat. Matanya berbinar karena bahagia. Senyumannya lebar dan manis sekali. Dia segera menaiki motornya.
"Iya … iya!" Dion tampak lesu tidak bersemangat, tetapi toh, dia tetap saja menuruti kemauan Azka dan duduk di belakangnya.
"Kamu aja deh yang bawa. Biar enak, kan udah tau jalannya." Azka turun dari motor dan Dion pun berpindah ke depan. Perlahan ia membawa motor Azka membelah jalanan kota di malam ini.
"Yon, Ayu kerja di mana, sih?" tanya Dion nyaring agar suaranya tidak tenggelam dalam kebisingan jalanan dan juga deraan angin yang mereka lewati.
"Di Olympic," jawab Dion dengan nada datar.
"Di Olympic?" terdengar nada keterkejutan dalam suara Azka. "Maksudnya gimana? Dia jadi cewek di sana? Jadi waitress, atau gimana?"
"Iya dia jadi cewek yang 'disediakan' Olympic." Dion mengangguk pelan.
"Ah … begitu rupanya, tapi kok dia—" Kata-kata Azka terputus.
"Kenapa dia?" Kening Doin mengkerut, penasaran dengan apa kata-kata Azka yang tiba-tiba terputus.
"Enggak papa. Cuman, waktu itu aku pernah ketemu dia."
"Terus?" Dion semakin penasaran.
"Aku deketin malah kabur. Kalau dia kerjanya gitu, kok malah kabur, ya?" Perasaan heran menghampiri Azka. "Kan biasanya cewek yang deketin aku," ucapnya dengan nada bangga.
"Hah?! Kabur?" Dion tertawa gelak. "Kabur gimana maksudnya?"
"Iya … ditawarin minum enggak mau. Ditawarin apa-apa gak mau, malah pergi. Mungkin aku kayak residivis kali ya? Yon, apa mukaku ini keliatan seperti penjahat?" Azka terus bicara. Sementara Dion tertawa semakin gelak.
"Mungkin! Bisa jadi menurut dia kamu PK."
"Pe Ka? Apaan Pe Ka?" tanya Azka heran.
"Penjahat kelamin," jawab Dion asal dengan nada datar.
"Enak aja! Kamu tuh yang PK," seloroh Azka dengan wajah cemberut.
"Enggak lah!" elak Dion sambil tertawa.
"Halaaah. Itu waktu si Irfan ulang tahun aku lihat kamu dempet-dempetan sama cewek."
"Oh … kan tempatnya emang penuh, lagian masa iya aku jauh-jauhan. Mau ngomong apaan? Deketan aja harus teriak-teriak ngomongnya."
"Iya juga, sih." Azka tertawa.
"Yon, kamu sama Ayu ada hubungan apa?" tanya Azka hati-hati.
"Temenan," jawab Dion pendek.
"Cuma temen?" desak Azka.
"Iya temenan. Kami dekat banget malah." Dion tersenyum hambar.
"Bener nih cuma temenan?" Azka kembali mendesak sahabatnya.
"Iya." Dion mengangguk dengan cepat.
"Boleh aku deketin dia?" izin Azka dengan nada ragu.
"Boleh laaah. Kenapa enggak? Asal bener-bener aja. Kasian dia," ucap Dion sambil menghela napas panjang. Tidak terasa sampailah akhirnya perjalanan mereka sudah hampir sampai di depan gang kost-an Ayu. Dion pun mengambil ponsel dan menghubungi gadis itu.