Chapter 12 - Tua buta Agam

Mendapat serangan dari lima belas prajurit Tuban, lelaki bersorban tak menunjukkan gentar. Meskipun matanya buta, terlihat ia dapat melihat adanya serangan. Ia lalu melompat berdiri dan berjalan ke arah penyerangnya. Dengan langkah tak beraturan karena si buta lupa dengan tongkatnya, ia meliuk-liukan tubuhnya. Dahsyat gerakannya itu justru menyelamatkan dia dari serangan musuh.

Lima belas orang penyerangnya justru saling pukul sendiri. Mereka tersungkur karena pukulan dan tendangan itu justru mendarat di tubuh kawan sendiri. Penonton yang tadinya takut mendengar adanya keributan, sekarang justru berkumpul di dekat perkelahian dan bersorak-sorai untuk si buta.

"Aduuuuh, awas pak buta. Aduh, kok bisa begitu ya. Hahahahaha... lucu, lucu pak buta!" Demikian teriakan massa dari pinggir arena perkelahian.

Si buta masih tetap berjalan keluar dari kerumunan pengeroyoknya yang kini tingga empat orang saja yang masih berdiri tegak. Sisanya telah bergulingan di tanah karena kena jotos kawannya sendiri. Soka Lulung tak mampu menahan kagumnya. Ia menerka-nerka jurus yang digunakan si buta.

"Ini mungkin jurus langkah ajaib yang pernah diceritakan gurunya. Belum pernah aku melihat ada orang yang menguasai jurus ini. Kisah yang ia dengar hanya ada satu orang buta yang menguasai jurus ini. Ia berasal dari tanah ujung Sumatera. Julukannya si tua buta Agam." Soka Lulung bicara sendiri.

"Salam hormat orang tua. Kalau aku tidak salah kira, engkau adalah Si Tua Buta Agam. Apakah gerangan yang menuntunmu hingga kemari? Maafkan jika prajuritku tadi salah paham." Suara Soka Lulung melunak. Tak ada untungnya mencari ribut dengan orang sakti ini, begitu bisik hatinya.

"Subhanallah walhamdulillah. Kau anak muda sungguh bijaksana. Tak ada tujuan hamba ke wilayah ini kecuali mengikuti kaki melangkah. Biarkan hamba mencari rezeki di tempat lain. Tolong jangan kau halangi lagi langkahku," suara si buta tetap lembut tetapi mengandung tenaga dalam sehingga terdengar jelas oleh lawan bicaranya.

Si Tua Buta lalu mengambil tongkat dan mangkok batok kelapanya. Selanjutnya ia berjalan menuju kota meninggalkan prajurit Tuban yang barus saja jadi korban kepandaiannya. Soka Lulung memberi isyarat dengan tangannya agar prajuritnya membiarkan Si Tua Buta pergi. Ia lalu meminta seluruh prajuritnya juga pergi dari depan warung kopi. Sementara penglihatan Soka Lulung yang tajam sepintas menangkap ada dua telik sandi di warung kopi. Langkahnya diayunkannya ke dalam warung kopi. Ia lalu mengambil duduk di depan meja Bujang Jawa.

"Apa khabar kau Bujang Jawa. Janganlah engkau memata-matai Tuban. Huru-hara di antara Kanjeng Gusti Arya Penangsang dengan Pajang, kami tidaklah ikut campur. Tuban hanya berikrar setia dengan kerajaan Demak. Kedatanganmu ini membawa khabar dari Pajang atau mencari khabar di Tuban?"

Pertanyaan Soka Lulung yang tanpa tedeng aling-aling itu langsung mengusik Punggawa Tuan. Akan tetapi dilihatnya Bujang Jawa nampak tenang, ia pun sedikit lega melihatnya.

"Aih..., aku hanya kebetulan lewat di sini. Tetapi lewatnya aku disini juga sekaligus ingin memastikan apakah Tuban telah melaksanakan perintah junjungan kami."

"Pertanyaanmu itu seperti menyelidik aku, Bujang. Sebagai kawan lama, biarlah kita menghabiskan segelas kopi dan sepiring penganan, sebelum kita bertutur tentang negara. Hai pelayan, berikan aku kopi dan penganan terbaikmu!"

Soka Lulung dan Bujang Jawa lalu berangkulan. Kedua prajurit itu memang terhitung masih saudara seperguruan. Bujang Jawa pernah menimba ilmu kepada Raden Umar Said. Di tempat itulah mereka pertama kali berkenalan. Kini setelah lama tak bersua, mereka dipertemukan dalam tugas negara.

"Oh ya, kenalkan ini rekanku, bernama Tuan. Ia memang selalu menjadi tuan karena namanya itu, meskipun aku tahu ia tak pernah punya anak buah."Bujang Jawa terkekeh. Punggawa Tuan dan Soka Lulung berjabat tangan.

Ketiganya kemudian asyik berbincang-bincang tentang masa lalu, tentang Demak dan tentang Tuban. Dalam obrolan itu banyak informasi yang didapat Bujang Jawa. Soka Lulung kemudian membisikkan tentang perubahan rencana atas permintaan Pajang menghadang rombongan pelarian di perairan Tuban. Pasukan Tuban dua hari lalu telah berangkat ke wilayah Trucuk karena memperkirakan pelarian Djipang pasti akan menghindari pelabuhan Tuban yang ramai. Setelah menyampaikan informasi penting tersebut, Soka Lulung pamit. Dibisikannya kata-kata yang membuat Bujang Jawa tertegun.

"Aku tak tahu engkau sekarang di pihak mana, Bujang. Tetapi yang aku tahu engkau adalah saudaraku. Tuban tidak ikut campur dengan urusan konflik antara anak cucu gusti Raden Fatah, tetapi Tuban hanya setia kepada kerajaan Demak. Jika Engkau pun memiliki kepentingan dengan Djipang, aku anggap Djipang hingga saat ini masihlah ibukota kerajaan Demak. Meskipun aku tahu bahwa Kanjeng Gusti Arya Penangsang telah tewas, tetapi belum ada siar resmi dari Kerajaan Demak. Olahlah informasi dariku, untuk kepentinganmu dan kepentingan Demak di masa depan. Nanti malam kau singgahlah di rumahku!"

(Bersambung)