Chapter 15 - Terlibat urusan Tuban

"Aku tidak berani menerima keris Kyai Layon. Baiknya paduka menyerahkan langsung kepada Kanjeng Gusti Adipati Tuban, Raden Haryo Balewot. Aku akan segera menghadap beliau malam ini. Jika ia berkenan mungkin bisa langsung menerima paduka." Mimik wajah Soka Lulung berubah serius.

"Aku belum selesai bertutur, kisanak. Keris Kyai Layon ini sudah ditakdirkan untuk menjadi pemicu pertumpahan darah antara pewaris tahta Kadipaten Tuban. Masa itu tak lama lagi akan tiba. Raden Haryo Balewot telah memegang tahta dalam kurun waktu yang lama. Sedangkan putra mahkota Pangeran Sekar Tandjung lebih suka berkelana menimba ilmu kanuragan dan jarang berada di tempat. Kondisi ini akan menimbulkan kesempatan bagi para abdi keraton Tuban untuk lebih dekat dengan Pangeran Ngangsar. Ini yang terjadi saat ini!"

Bekel Soka Lulung memandangi mimik wajah orang tua buta itu. Si Tua Buta memang dikenal karena pandangannya tentang masa depan. Banyak sekali hal-hal yang diucapkannya ternyata terbukti di masa mendatang.

"Pandanganmu sangat tajam, Paduka. Meskipun engkau tak dapat melihat, tapi engkau justru lebih tajam melihat masa depan dibandingkan orang yang bisa melihat. Aku tak berani mengomentari apa yang baru saja engkau sampaikan, tetapi memang harusnya engkau langsung yang bertemu kanjeng Adipati Tuban," Soka Lulung kembali menyarankan agar orang tua itu bertemu langsung Adipati Tuban.

"Menurut tatapanku, Keris Kyai Layon ini akan menjadi prahara bagi kedua anak Raden Haryo Balewot. Aku tak ingin dicatat sejarah sebagai orang yang menyerahkan pusaka yang akan jadi huru-hara di Tuban. Keris Kyai Layon ini akan memakan darah salah satu pangeran anak dari Raden Haryo Balewot dan akan terjadi perebutan tahta di Tuban terus menerus. Baiklah jika engkau tak mampu menyampaikan pesanku ini kepada Raden Haryo Balewot, biar aku saja yang menghadapnya sekarang!"

"Mohon maaf kepada semua yang disini, aku hanya ingin silaturahmi di kediaman sahabatku dan tak ingin terlibat urusan keris Kyai Layon dan tahta Tuban. Aku mohon izin undur diri." Bujang Jawa tak ingin terlibat urusan ini lebih jauh lagi. Kedatangannya ke ibukota Tuban ini adalah bagian dari mencari berita tentang perintah Pajang untuk menghalangi jalan pelarian junjungannya.

"Engkau justru ditakdirkan terlibat dalam urusan ini telik sandi. Takdirmu melekat dengan Keris Kyai Layon!" Orang tua buta itu kembali bersuara. "Engkau akan menjadi tujuan pelarian keturunan Raden Haryo Balewot di masa depan. Barang siapa yang membawa keris ini kepadamu, maka engkau harus menjadi penuntunnya agar mendapat tanah perdikan."

Bujang Jawa dan Punggawa Tuan terkejut. Kabar buruknya adalah mereka berdua harus berurusan dengan urusan negara orang lain, tetapi kabar baiknya adalah mereka akan selamat dalam pelarian ini.

"Baiklah jika begitu. Aku akan menghadap Kanjeng Gusti Adipati Tuban, kalian tunggulah di sini!" Soka Lulung langsung mengambil keputusan.

Selepas kepergian Bekel Soka Lulung, Bujang Jawa dan Punggawa Tuan nampak gelisah. Keberadaan mereka di rumah Bekel prajurit Tuban ini tidaklah menguntungkan mereka. Satu-satunya alasan mereka bertahan di rumah ini adalah belum adanya khabar tentang keberadaan Raden Kuning. Dalam kegelisahannya itu dilihatnya orang tua buta itu mencorat-coret sesuatu di atas kain putih. Ia sepertinya menangkap kegelisahan Bujang Jawa dan Punggawa Tuan. Tulisan itu sepertinya berisi pesan yang hendak ia sampaikan kepada Soka Lulung.

"Ayo cepat kita pergi dari sini," suara orang tua buta itu seperti yang diharapkan oleh dua orang prajurit Djipang itu. Mereka segera bergegas berlompatan dari rumah kayu apik itu.

Baru saja meninggalkan rumah Bekel Soka Lulung, tiba-tiba pelarian mereka terhenti oleh barikade prajurit Tuban yang telah berada di alun-alun Kota Tuban. Mereka dipimpin langsung oleh Senopati Glagah Watu yang terkenal memiliki ilmu kesaktian tinggi.

"Kalian bertiga, harap segera menyerah. Kami sudah tahu maksud kedatangan kalian hanya akan mendatangkan huru-hara di Tuban." Suara itu sontak menghentikan pelarian mereka.

"Tak sudi aku menyerah dengan anak kemaren sore seperti engkau Senopati Tuban. Biarkan kita mengadu ilmu!" Si Tua Buta langsung menyerang ke arah Senopati yang terkenal bijaksana itu. Sementara Bujang Jawa dan Punggawa Tuan langsung merangsek menyerang prajurit Tuban. Kegaduhan di alun-alun Kota Tuban itu langsung membuat kawula sekitar masuk ke dalam rumah. Warung-warung yang berada di sekitar alun-alun pun seketika ditutup pemiliknya.

(Bersambung)