Chapter 21 - Tenaga Kawedar

Raden Kuning tidak sempat lagi berpikir panjang. Hawa panas tenaga yang disalurkan Eyang Kyai semakin membesar dan kembali tidak dapat ia kontrol. Jika sebelumnya tenaga itulah yang menyadarkan ia dari mati suri di fase kedua, maka saat ini tenaga yang mendatangkan hawa panas tersebut kembali menjadi sesuatu yang mematikan. Dengan hati mantap Raden Kuning memejamkan matanya. Keputusannya telah bulat. Ia akan memanfaatkan tenaga liar yang mengalir dalam tubuhnya untuk menghancurkan semua tenaga dalam, hasil latihannya selama ini.

"Jika memang keputusanku ini salah, maka aku akan menjadi orang biasa tanpa kepandaian kanuragan. Mungkin itu memang takdirku," gumamnya.

Raden Kuning mengumpulkan sisa tenaga aslinya di bawah pusar. Kemudian ia menyalurkan tenaga murninya itu ke tujuh titik yang menjadi tempat masuk tenaga Eyang Kyai. Tenaga murninya itu akan ia pakai sebagai penutup tujuh titik pintu masuk tenaga yang diberikan oleh Eyang Kyai. Hawa panas dari tenaga liar terus bergolak tanpa dapat dikendalikan. Anehnya ketika tenaga murni Raden Kuning telah selesai disalurkan di leher, kedua pundaknya, dua titik di belikat dan dua titik di pinggang kanan-kiri yang berjumlah tujuh titik syaraf, tenaga liar itu mengikuti pergerakan hawa murni milik Raden Kuning.

Jalan inilah yang ditunggu oleh Raden Kuning. Sebagaimana yang telah diperkirakannya, jika titik masuk tenaga liar itu ditutup, maka tenaga liar itu akan memberontak. Tenaga liar itu tak mau diperangkap di dalam tubuh Raden Kuning untuk selamanya. Ia seperti makhluk hidup yang berfungsi sebagai parasit. Jika seluruh tenaga yang ada di dalam tubuh Raden Kuning telah dikuasai, maka tenaga liar itu akan keluar dari tubuhnya melalui tujuh titik pintu masuk.

Akibat tertutupnya tujuh pintu syaraf di tubuh Raden Kuning, terjadi benturan antara tenaga murni tubuhnya dengan tenaga liar. Raden Kuning tak pernah bermimpi jika karena keadaan itu akan tercipta tenaga baru. Berdasarkan teori tenaga murni yang dipelajarinya, jika ada terjadi benturan antara tenaga dalamnya sendiri, maka akan terjadi kerusakan. Itu adalah salah satu cara yang lazim digunakan untuk merusak kepandaian sendiri. Dan cara itu yang kali ini dipakai oleh Raden Kuning. Namun yang dibenturkan bukan murni antara tenaga dalam sendiri, melainkan tenaga murni dalam tubuhnya dengan tenaga liar yang juga ada di dalam tubuhnya.

Benturan tenaga dalam itu membuat tubuhnya berkeringat. Keringat dengan derasnya membasahi seluruh tubuh mulai dari ujung kaki sampai kepala. Tubuh Raden Kuning bergetar kuat. Dari sela-sela bibirnya menetes darah segar. Tubuhnya berguncang kuat. Posisi duduk bersilanya tiba-tiba terangkat dari bumi. Raden Kuning masih dalam duduk silanya terangkat satu depa ke atas. Anehnya ketika ia tak lagi menyentuh bumi, dua tenaga yang tadinya saling bertikai dan saling ingin menghancurkan, berubah jadi sebuah tenaga yang saling mengggulung.

Gulungan dua tenaga itu semakin lama semakin hebat, hingga akhirnya guncangan dua tenaga yang menjadi satu itu getarannya semakin pelan. Berbarengan dengan itu, tubuh Raden Kuning yang basah oleh peluh terlontar ke atas menjebol atap petilasan yang terbuat dari daun Pohon Nipah.

Tubuhnya terlontar hingga lima depa ke atas. Dalam posisi terlontar oleh tenaga dalam yang sangat kuat itu, Raden Kuning berupaya mengontrol tenaga barunya itu. Ia menarik tenaganya ke bawah pusar dan menyalurkannya ke seluruh tubuh. Ajaib, tenaga itu mau dikendalikannya dan kini bersatu dalam tubuhnya.

"Hiyaaaat, ya...!" Tubuh Raden Kuning bersalto dan mendarat di tanah dengan indah.

"Subhanallah, anak muda. Tak salah dugaanku. Engkau memang ternyata berjodoh dengan ilmu tenaga Kawedarku. Namun engkau harus berjanji untuk mempergunakan kepandaianmu semata-mata untuk syiar agama Islam. Jangan engkau simpangkan kepandaian barumu ini untuk hal-hal yang dilarang agama. Aku bisa pergi dengan tenang setelah ini!"

Eyang Kyai ternyata telah berada di petilasan. Lelaki sepuh yang tidak diketahui berapa usianya itu, menengadahkan kedua tangannya ke atas layaknya orang berdoa. Tidak ada yang tahu berapa usianya. Yang jelas pria yang disegani seantero Pulau Jawa itu telah hidup selama tiga generasi.

"Alhamdulillah Eyang Kyai. Aku berhasil menafsirkan inti dari ajaranmu. Aku berjanji akan selalu memegang teguh ajaranmu." Raden Kuning bersujud di hadapan pria sepuh itu.

"Bangunlah cucuku. Engkau harus menyelesaikan urusanmu di Tuban. Aku tak mau lagi mencampuri urusan dunia. Cucuku Wulan cepat mendekat ke sini. Kalian berdua memang ditakdirkan untuk berjodoh denganku."

Putri Retno Wulan yang ternyata telah kembali ke petilasan segera mendekat. Ia langsung menjura memberikan hormat. Kedua remaja yang kini ada di hadapannya itu, dirangkul oleh Eyang Kyai.

"Kalian akan menemui banyak jalan yang terjal di depan sana. Sebagai Eyang gurumu, aku akan menitipkan kepada kalian dua buah tanda yang dapat kalian gunakan jika kalian tersudut oleh titah para raja di Jawa."

Eyang Kyai lalu mengeluarkan dua buah benda terbuat dari emas berbentuk leontin yang bertuliskan "Kawedar". Kedua anak muda itu tidak mengerti kegunaan kedua benda itu. Jika mereka tahu, pastilah mereka akan bergetar tangannya ketika menerima pemberian dari pria sepuh yang telah banyak berjasa bagi syiar agama Islam di Pulau Jawa tersebut.

"Terimakasih, Eyang Kyai. Kami berjanji akan selalu mengikuti jalan sebagaimana yang engkau titahkan." Suara Raden Kuning terdengar khidmat. Putri Retno Wulan juga menganggukkan kepala tanda ia pun berkhidmat dengan apa yang diucapkan Raden Kuning.

"Pergilah kalian dari sini. Cucuku Wulan, ada pamanmu Raden Haryo Balewot tak jauh dari petilasan ini. Lerailah perkelahian mereka. Kepandaian Raden Kuning akan mampu membuat mereka mau berdamai!" Eyang Kyai lalu berlalu dari hadapan keduanya.

(Bersambung)