Malam itu di kaputren, terjadi keributan. Penyebabnya adalah Putri Retno Wulan tidak mau dirias. Wanita yang gemar berpetualang itu memang selama ini dikenal suka berpakaian seperti laki-laki. Wajar saja jika ia tak akrab dengan rias merias wajah. Meskipun begitu, wajahnya tetap cantik alami. Kali ini alasannya tak mau dirias tidak ada hubungannya dengan hal itu. Ia ingin dipertemukan terlebih dahulu dengan Raden Kuning. Juru rias keraton Tuban sudah kewalahan untuk membujuknya, sementara acara pertunangan akan dilaksanakan tidak lama lagi.
Kanjeng Ratu Ayu Haryo Balewot terpaksa turun tangan membujuk keponakannya yang cantik itu agar mau keluar dari kamar keputren. Akan tetapi Putri Wuwu tetap bersikeras. Ia mau melanjutkan pertunangan jika dirinya telah bertemu empat mata dengan Raden Kuning.
"Aturan dari mana itu, Wuwu. Tak baik engkau bertemu dengan calon tunanganmu. Pamali!" Bibinya tetap sabar melayani kebandelan keponakannya yang manja itu.
"Jika aku tidak diizinkan bertemu dengan dia, maka aku tak sudi keluar kamar. Biar saja ia bertunangan dengan orang lain." Suara Putri Wuwu parau. Nampaknya ia baru saja selesai menangis.
"Ah, jika pamanmu Raden Haryo Balewot tahu soal kenakalanmu ini, engkau pasti akan kena hukuman. Anak perempuan itu harus manut perintah orang tua, Nduk. Pamanmu itu adalah orang yang diberi kuasa oleh keluarga kita untuk mengambil semua keputusan penting. Jika ia sudah bersabda, maka tak boleh kita menentangnya. Termasuk engkau juga tidak boleh menentang keputusannya. Nanti bisa celaka."
Lagi bibinya berupaya memberikan wejangan. Dalam falsafah orang Tuban memang perempuan yang belum menikah dibatasi kebebasannya untuk membuat keputusan. Termasuk jika hendak mengakhiri masa lajangnya. Semuanya diatur oleh orang tua atau kerabat yang dituakan. Bagi keluarga keraton untuk memilih pasangan pun, harus mendapat persetujuan dari orang tua atau langsung dari adipati.
Apalagi untuk urusan Putri Retno Wulan ini, tak mungkin lagi dibatalkan karena tidak ada lagi restu yang ditunggu. Pertunangan ini sudah menjadi ketetapan langsung dari pemegang kekuasaan tertinggi di Tuban, yaitu Adipati Raden Haryo Balewot. Biasanya jarang sekali beliau campur tangan dalam urusan perjodohan. Namun kali ini inisiatif pertunangan tersebut langsung menjadi titahnya. Dalam pikiran Kanjeng Ratu Ayu, berarti keputusan untuk menjodohkan Putri Retno Wulan dengan Raden Kuning tersebut telah dipikirkan masak-masak oleh adipati yang terkenal bijaksana itu.
"Wuwu. Jika pamanmu telah mengambil keputusan untuk perjodohanmu, itu sama artinya bahwa perjodohan tersebut akan berhubungan dengan pemerintahan, kekerabatan dan nasib Kadipaten Tuban di masa mendatang. Tak mungkin Kang Mas Haryo Balewot menentukan jodohmu jika tanpa alasan itu. Selain untuk kebaikanmu, ini juga untuk kebaikan Kadipaten Tuban."
"Pokoknya itu adalah syaratku, Bibi!" Setelah itu Putri Wuwu tak mau lagi bicara.
Setelah menarik nafas panjang, Kangjeng Ratu Ayu Haryo Balewot akhirnya memutuskan untuk memenuhi permintaan Wuwu. Ia lalu memanggil seorang abdi dalem keraton Tuban kepercayaannya untuk menjemput Raden Kuning. Bergegas, sang utusan diam-diam menuju ke Pesanggrahan Kawedar.
Raden Kuning terkejut ketika mendengar khabar dari Bujang Jawa bahwa ada seorang utusan dari Putri Wuwu yang ingin menjemputnya. Meskipun hal itu tidak lumrah, namun sebagai seorang laki-laki Raden Kuning mengerti jika saat ini pasti calon tunangannya itu tengah gundah gulana. Apalagi terkait pertunangan ini, ia sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk menyatakan pendapat. Ketika itu matahari sudah redup dan Raden Kuning tanpa menunggu sang utusan langsung berkelebat menuju keputren.
Tak sulit bagi Raden Kuning menemukan tempat dimana Wuwu berada. Keputren milik keluarga Raden Haryo Balewot pastilah bangunan yang paling besar. Dan benar saja, saat ia tiba di depan bangunan terbuat dari kayu berplitur tersebut, ia melihat ada sebuah kamar yang jendelanya terbuka lebar. Tanpa berpikir panjang, Raden Kuning segera mengempos tubuhnya hingga melayang bagai kapas masuk ke dalam keputren melalui jendela. Tenaga dalamnya telah meningkat tujuh kali lipat setelah melatih tenaga murni Kawedar.
Dadanya berdebar kencang ketika dilihatnya Putri Wuwu tengah berbaring di amben mewah terbuat dari kayu berlapis permadani. Hatinya langsung trenyuh ketika menyadari mata perempuan cantik itu bengkak karena terlalu banyak menangis. Ingin rasanya ia mengusap air mata di wajah yang mulus itu, tetapi Raden Kuning tak punya sifat kurang ajar sehingga hal itu hanya jadi khayalannya saja.
"Hmmm, Assalamualaikum, Diajeng." Suara Raden Kuning terdengar berat. Terlihat sekali jika ia gugup. Putri Wuwu yang tadinya tidak menyadari kehadiran pria yang ditunggunya itu, nampak lebih gugup lagi. Tanpa berkata apa-apa, ia segera melompat dari pembaringan dan menghampiri Raden Kuning yang masih menunduk hormat.
"Plak, Plak! Terdengar suara tamparan. "Ini untuk kebohonganmu. Ini untuk upahku menjagamu ketika engkau pingsan, dan ini untuk kelancanganmu masuk ke kamarku tanpa permisi!" Putri Wuwu terlihat murka.
"Aih... Aku memang pantas engkau pukul Diajeng. Aku memang telah membohongimu saat pertama kita bertemu. Hal itu kulakukan tidak lain dan tidak bukan untuk melindungi keselamatan keluarga Keraton Djipang. Mohon engkau mau memaafkan." Meskipun baru saja terkena tamparan, tetapi tidak nampak kekesalan dari raut wajah Raden Kuning. Bekas tamparan itu terlihat membekas merah di kulit pipinya yang putih.
"Sudah puas hatiku sekarang. Selanjutnya aku ingin bertanya kepadamu, Raden Kuning."
"Ya Diajeng. Monggo insya Allah aku akan menjawab pertanyaanmu." Raden Kuning terlihat lega. Dalam hatinya ia berharap marahnya Putri Retno Wulan ini tidak berkepanjangan.
"Aku tidak percaya kepadamu. Aku khawatir pertunangan kita ini hanya mainanmu saja agar mendapat suaka politik dari Tuban."
"Ah... Bagaimana engkau bisa berpikiran seperti itu, Wuwu. Sama sekali tidak ada terbersit di pikiranku untuk membuat perjodohan di antara kita ini sebagai mainan."
"Apa buktinya jika engkau sungguh-sungguh kepadaku?"
Tiba-tiba Raden Kuning melolos keris Kyai Layon dari pinggangnya. Keris yang dititipkan oleh si Tua Buta itu langsung menimbulkan aroma magis ke seluruh ruangan. Wajah Raden Kuning pun terlihat berubah di mata Wuwu. Wajahnya terlihat angker dan menakutkan.
"Aku serahkan keris Kyai Layon ini kepadamu dan tusuklah aku sekarang juga." Ucapan Raden Kuning itu mengejutkan Putri Wuwu.
"Apa-apan kau ini Kang Mas. Aku hanya bertanya soal kesungguhanmu. Mengapa engkau malah minta aku menusuk dengan keris itu. Sudah bosan hidup kau!" Suara Putri Wuwu sudah berubah lunak. Ia pun telah merubah panggilannya menjadi Kang Mas.
"Aku tak pandai berkata-kata, Diajeng. Aku cuma bisa pandai bertarung di medan perang. Tak tahu aku cara menjawab pertanyaanmu kecuali dengan cara seperti itu. Biarlah aku mati di tanganmu agar engkau tahu bahwa dulu ada seorang laki-laki yang rela mati untuk dirimu. Cepatlah kau ambil keris ini dan tusuklah aku!"
Tiba-tiba sikap jahil Wuwu kumat. Diambilnya keris Kyai Layon dari tangan Raden Kuning. Tadinya ia bermaksud untuk main-main saja. Namun Putri Wuwu terkejut bukan main ketika keris itu sudah berada dalam genggamannya, ada tenaga liar yang mengendalikan dirinya. Saat itu Raden Kuning masih tertunduk tanda bersalah, dan keris Kyai Layon tanpa disadarinya bergerak cepat ke depan menusuk ke arah bagian tubuh yang mematikan.
(Bersambung)