Chapter 32 - Ki Ageng Selamana

"Aiih, ada apa denganku. Tadi tetiba kepalaku pusing dan mata berkunang-kunang!" Punggawa Kedum siuman. Setelah muntah, kesadarannya kembali. Raden Kuning menghembuskan nafas lega. Tak salah, ternyata Kyai Layon berkhasiat mengobati racun.

"Kapal kita diserang musuh. Mereka menawan kalian semua di ruang atas kapal. Masih banyak musuh di luar. Bujang Jawa dan Punggawa Tuan sedang menghadapi mereka. Engkau berjagalah di sini, aku mengobati dulu yang lainnya."

Raden Kuning bergerak cepat. Semua korban asap beracun itu indera pernafasannya dibersihkan Kyai Layon. Setelah muntah, mereka semua siuman. Racun disedot keluar dengan cara dimuntahkan. Ampuh sekali Kyai Layon. Dalam waktu singkat seluruh kerabat keraton Djipang dan anak buah kapal yang mencapai lima puluhan orang, bisa disembuhkan. Suara riuh rendah mereka yang baru sadar tak terhindarkan. Hal itu mengundang musuh datang.

"Duk!" Pintu ruang atas kapal ditendang dari luar. Belasan pria berseragam hitam berupaya masuk. Namun Punggawa Kedum yang menjaga pintu menghadang langkah mereka. Tak leluasa bertarung di tempat sempit, Punggawa Kedum segera melompat keluar. Ia memasang kuda-kuda untuk menghadapi keroyokan orang-orang berseragam hitam. Hampir berbarengan, Raden Kuning juga melesat keluar.

Dalam hitungan Raden Kuning ada dua belas orang berseragam hitam yang kini berhadap-hadapan dengannya. Sepuluh orang penjaga tawanan yang dilumpuhkannya, sudah tidak ada lagi di atas kapal. Musuh yang baru datang ini sedikit berbeda dengan yang dilumpuhkan Raden Kuning. Perbedaannya dua belas orang ini memakai destar berwarna kuning di kepalanya, yang sebelumnya tidak. Langkah-langkah mereka juga ringan. Kentara sekali bahwa mereka memiliki kepandaian lumayan.

"Buat barisan!" Pria berseragam hitam segera membentuk formasi. Melihat formasi itu, Raden Kuning akhirnya mahfum bahwa mereka pastilah kelompok perguruan Wanakerta. Selama ini murid perguruan itu jarang menampakkan diri dan cenderung menutup dengan dunia luar. Pimpinannya adalah Ki Ageng Selamana. Perguruan itu disebut-sebut memiliki ilmu yang aneh diantaranya formasi 𝘫𝘰𝘨𝘰𝘭𝘦𝘣𝘶𝘳. Akan sulit melumpuhkan lawan dengan cepat jika mereka memainkan formasi itu. Namun Raden Kuning mendapat akal.

"Punggawa Kedum, engkau keluarkan tenagamu untuk menggoyang kapal. Dengan begitu formasi mereka akan mudah dipatahkan," bisik Raden Kuning.

Seketika kapal bergoyang dihentak tenaga Punggawa Tuan yang disalurkan lewat hentakan kakinya. Dua belas orang berpakaian hitam kaget dan berupaya mempertahankan kuda-kudanya. Namun di saat itu Raden Kuning telah memainkan jurus ketiga 𝘚𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘗𝘢𝘳𝘢𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘋𝘶𝘮𝘢𝘥𝘪, 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘮𝘱𝘢𝘩 𝘪𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘶𝘳𝘶𝘴. Langkah-langkah kakinya cepat dan langsung menendang ke sana-sini membuat lawannya kehilangan formasi. Dengan cepat, dua belas orang itu terlempar ke sungai. Raden Kuning yang tak mau gegabah, mengeluarkan seluruh tenaga dan kemampuannya. Satu persatu lawannya terlempar ke dalam sungai. Orang kedua belas melompat sendiri ke air dan menyelamatkan teman-temannya yang tenggelam.

Di buritan kapal masih terdengar suara orang bertarung. Raden Kuning segera melesat ke sana. Punggawa Kedum tetap berjaga di posisinya. Raden Kuning datang di saat yang tepat. Saat itu Bujang Jawa dan Punggawa Tuan terdesak. Mereka bertemu lawan tangguh. Raden Kuning melihat bahwa enam orang yang mengeroyok mereka juga berpakaian hitam-hitam. Yang membedakan hanyalah warna destarnya. Kali ini mereka menggunakan destar berwarna hitam. Sepertinya destar memang menjadi penanda tingkatan murid perguruan Wanakerta. Pria berdestar hitam pastilah murid utama perguruan. Wajar jika Bujang Jawa dan Punggawa Tuan keteter. Apalagi dilihatnya enam orang itu mendapat bantuan dari gurunya langsung yang duduk bersila di buritan kapal.

Tak mau berlama-lama menonton, Raden Kuning langsung masuk ke arena pertarungan dan memukul dengan jurus 𝘣𝘶𝘮𝘪. Bujang Jawa dan Punggawa Tuan lega dengan kedatangan Raden Kuning. Mereka berdua langsung melompat mundur.

"Ah, uh, oh…. Enam orang lawannya semua melenguh kaget. Mereka seperti memukul kapas dan tangannya tak mau lepas. Tenaga enam orang itu tersedot ke dalam tubuh Raden Kuning. Hanya sependidih air, keadaan terbalik. Saat ini mereka yang berada di ujung tanduk." Raden Kuning tak mau memberi hati. Mereka kalah jumlah. Untuk dapat mengamankan kapal, ia harus memastikan musuh-musuhnya tak bisa membuat onar lagi.

"𝘚𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘗𝘢𝘳𝘢𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘋𝘶𝘮𝘢𝘥𝘪. Ternyata masih ada anak muda yang menguasai ilmu langka itu. Siapakah engkau anak muda? Apa hubunganmu dengan Sunan Kudus?"

"Kalau aku tidak salah menilai, engkau adalah Ki Ageng Selamana, pimpinan perguruan Wanakerta. Engkau yang sudah tidak pernah mencampuri urusan dunia luar, mengapa tetiba memusuhi kami. Kami ini hanyalah orang-orang pelarian yang hanya ingin meneruskan trah keturunan keraton Djipang. Sepengingatku, orang-orang Djipang tidak pernah ada masalah dengan Wanakerta?" Raden Kuning bicara hati-hati. "Namaku Raden Kuning Wirayudha. Aku salah satu cucu murid dari Eyang Sunan Kudus. Mohon penjelasanmu, Ki Ageng?" Pria pilih tanding itu bertanya dengan hormat.

"Semua yang engkau katakan itu benar adanya, Raden Kuning. Tetapi inilah memang takdir yang tak bisa kuhindari. Di saat dulu ketika aku seumuranmu, aku pernah berhutang budi dengan Ki Ageng Pemanahan. Baru-baru ini, ia minta bantuanku untuk mengalahkan Djipang. Tugasku adalah menjaga perairan Sungai Bengawan Solo. Mereka ingin memastikan tidak ada lagi balas dendam di kelak kemudian hari. Seluruh keturunan keraton Djipang harus dimusnahkan. Tak setuju aku dengan siasatnya itu, tetapi di lain sisi aku punya hutang janji." Jawaban Ki Ageng Selamana tanpa tedeng aling-aling.

"Mohon maaf Ki Ageng. Adakah cara lain agar kita bisa menyelesaikan persoalan hutang budimu di masa lalu tanpa harus bentrok dengan kami?" Raden Kuning tak mau gegabah menantang Ki Ageng Selamana. Ia sadar jika kepandaiannya meskipun telah meningkat pesat, belum sempurna.

"Hanya ada dua cara. Pertama engkau jadi menantuku atau yang kedua engkau menjadi muridku. Dengan begitu aku lepas dari karmaku dengan Ki Ageng Pemanahan. Dalam keyakinan kami orang-orang Wanakerta tidak boleh saling menyakiti sesama murid perguruan ataupun anggota keluarga."

Raden Kuning sontak kaget. Ia lalu bicara, "Urusan menjadi menantumu, aku tidak bisa mengamini. Aku tidak bisa meninggalkan tugasku sebagai prajurit. Kewajibanku mengamankan junjungan kami, Pangeran Arya Mataram dan keluarganya. Terlebih saat ini kami dalam keadaan menjadi orang pelarian, mana mungkin aku bisa menikah. Dengan segala hormat, aku memilih pilihan kedua. Terimalah aku sebagai murid!" Pemuda tampan itu bersujud.

"Bangunlah anak muda. Sebelum aku mengangkatmu sebagai murid, aku ingin menjajal kepandaianmu. Cepat engkau mainkan jurus pamungkasmu. Pukul aku dengan jurus tertinggi 𝘚𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘗𝘢𝘳𝘢𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘋𝘶𝘮𝘢𝘥𝘪 yang kau kuasai!" Ki Ageng Selamana berdiri dan memasang kuda-kuda. Raden Kuning mempersiapkan jurus pamungkasnya, jurus keenam 𝘫𝘦𝘯𝘢𝘳 𝘪𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘢𝘯𝘨𝘶. Kedua tangannya terangkat ke atas lalu bersidekap di depan dada.

"Bismillahirohmanirohim, hufs!" Raden Kuning melepas pukulan maut. Dengan tenang Ki Ageng Sela menapaki pukulan lawan.

"Plash." Raden Kuning seperti memukul air. Tenaganya seperti terserap ke dalam samudera yang luas.

"Aih!" Raden Kuning terkejut. Jurusnya berbalik. Tenaganya kali ini justru yang disedot Ki Ageng Selamana.

(bersambung)