Kapal Jung milik keraton Djipang melaju lambat menuju Laut Jawa. Pangeran Arya Mataram memandang pelabuhan Tuban dari buritan. Sejauh matanya memandang, sejauh itu pula kenangannya akan kadipaten Tuban. Wilayah yang mempertemukan dirinya dengan Mimi Aisyah, isterinya. Di masa kejayaan Kerajaan Demak, wilayah Tuban menjadi daerah yang ditaklukkan oleh Sultan Trenggono.
Kadipaten Tuban mengukir sejarah bagi pesatnya lalu lintas laut di wilayah Timur Pulau Jawa itu. Banyak kisah yang menceritakan peranan Tuban di masa lampau. Pelabuhan Tuban memiliki peranan yang sangat penting dalam lalu lintas perdagangan laut dari pulau-pulau di Nusantara bahkan hingga mancanegara.
Dalam benak Pangeran Arya Mataram, Tuban adalah rumah kedua baginya. Kadipaten Tuban juga amat berperan besar dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Sebagai bagian dari jalur sutera laut, pelabuhan Tuban menjadi salah satu tujuan utama perdagangan. Komoditas perdagangan yang tersedia cukup lengkap, bahkan dalam sejarahnya puluhan kapal dari Maluku menggunakan pelabuhan Tuban sebagai daerah penampung rempah-rempah yang akan dikirim ke luar negeri.
Pangeran penerus trah keraton Djipang itu terkenang banyak kisah yang memuat tentang Tuban di masa kerajaan Demak. Ia bahkan pernah merasakan menimba ilmu agama di tempat asalnya para Walisongo itu. Di kaki gunung Muria, ia pernah menjadi santri dan mendalami tentang Islam dari Kanjeng Sunan Muria. Di tempat itu banyak sekali cerita tentang perjalanan kadipaten Tuban di masa lampau.
"Aih.. Banyak sekali cerita yang terukir dalam kehidupanku di kadipaten Tuban. Di tempat itu aku menemukan banyak sekali pelajaran berharga. Istriku yang sholehah pun aku dapatkan di sana." Pangeran Arya Mataram bergumam sendiri.
Ya, peranan Tuban ketika kerajaan Demak berkuasa sebenarnya hampir tidak berubah sejak pemerintahan kerajaan Majapahit, yaitu menjadi daerah pertahanan dan industri. Tuban merupakan salah satu pusat industri kapal untuk kebutuhan perang yang terkenal di Asia Tenggara. Kemahiran dalam membuat kapal sesungguhnya telah lama dikuasai oleh orang-orang Jawa. Namun, produksi kapal sepertinya hanya terbatas pada pembuatan kapal-kapal kecil, perahu tempur cepat, dan kapal pengangkut bertonase kecil.
Adik Raden Fatah, raja pertama Demak yaitu Raden Husen yang berasal dari Palembang ketika mengabdi menjadi prajurit di kerajaan Majapahit memiliki kepandaian membuat mercon dari mesiu dan pernah juga bekerja di galangan kapal di Semarang. Kepandaian di bidang pertukangan kayu untuk industri kapal itu didapatkan dari orang-orang Tionghoa dari Dinasti Ming yang dibawa oleh Laksamana Cheng Ho. Mereka umumnya beragama Islam yang menganut mashab Hanafi.
Kepandaian membuat kapal itu akhirnya juga dimiliki oleh warga setempat dan daerah Lasem khususnya yang terletak antara Tuban dan Jepara kemudian menjadi pusat industri pembuatan kapal. Lasem, Tuban, Jepara, berkembang menjadi lokasi industri perkayuan karena wilayahnya berada di dekat hutan jati Rembang yang sekaligus menjadi daerah pemasok bahan baku kayu.
Para pedagang yang punya cukup uang biasanya datang dan membangun Jung mereka di Negeri Rembang ini. Lasem, Tuban, Jepara dan yang dekat dengan hutan jati Rembang menjelma menjadi pusat industri galangan kapal di Pulau Jawa. Dalam perkembangannya, daerah Jepara juga bahkan menjadi pusat kerajinan ukiran kayu. Produk ukiran kayu itu awalnya digunakan oleh kerabat raja-raja dan bangsawan saja, namun permintaan akan kerajinan ukiran kayu akhirnya meluas hingga diminati juga oleh warga biasa dan bahkan diminati oleh orang luar Pulau Jawa.
Tuban, Lasem, Rembang dan Jepara merupakan bagian dari kekuasan Kerajaan Demak. Empat daerah itu menjadi salah satu faktor penting bagi kemajuan Kerajaan Demak. Armada laut kerajaan Demak, produksinya dipusatkan di kadipaten Tuban, Lasem, Rembang dan Jepara yang berada di bawah kekuasaan Demak. Kapal-kapal itu berfungsi untuk mengangkut hasil pertanian dari daerah pedalaman dan menjualnya kembali di pulau lain di Nusantara.
Adanya industri kapal ini juga memungkinkan Demak mengerahkan sejumlah kapal untuk ekspedisi lintas laut untuk maksud damai maupun tujuan berperang. Adipati Tuban dapat mengerahkan sekurang-kurangnya 32.000 sampai 33.000 prajurit infanteri dan 500 prajurit berkuda. Hal ini memberi indikasi bahwa Tuban merupakan pusat kekuatan armada perang yang potensial. Disamping itu juga Tuban merupakan wilayah pemukiman yang padat.
Pangeran Arya Mataram masih berdiri di buritan kapal Jung. Saat itu hari tepat berada di atas kepala. Raden Kuning menghampiri junjungannya itu. "Nuwun sewu. Apakah gerangan yang merisaukan hati, Pangeran. Saya memperhatikan dari kejauhan lama sekali gusti merenung di buritan kapal ini?"
"Aku memikirkan nasib keluarga kita, Wira. Keputusan melarikan diri ini memang sudah kuanggap sebagai bagian dari takdirku, tetapi apakah kalian juga layak untuk ikut bersamaku ke tempat yang belum pernah kita kunjungi?"
"Sendiko dawuh, gusti. Apapun yang menjadi keputusan gusti pangeran menjadi titah bagi kami semua."
"Tak adil rasanya, jika aku merampas masa depanmu, Raden Kuning. Terlebih aku lihat Dimas Raden Haryo Balewot menaruh harapan besar kepadamu. Engkau akan menjadi orang besar jika tetap di Tuban."
"Mohon ampun, gusti. Keselamatan keluarga kita menjadi tujuan dari kami yang menjadi prajurit Djipang. Kepentingan pribadi saya, janganlah membuat gusti pangeran risau."
"Terimakasih, keponakanku. Engkau telah begitu banyak berkorban untuk Djipang. Pasti almarhum orang tuamu akan tersenyum melihat engkau sekarang tumbuh sebagai prajurit yang gagah perkasa dan berbudi luhur. Sebentar lagi kita akan memasuki perairan laut lepas. Jalur yang kita lalui ini merupakan jalur sibuk pelayaran dunia. Aku pernah mendapat cerita dari Paman Patih Matahun bahwa di jalur sutera ini khususnya di wilayah perairan Palembang masih banyak perompak dari Hokkian. Kumpulkan seluruh anak buah kapal sore nanti di geladak. Aku sendiri langsung yang akan memberikan penjelasan!"
"Sendiko dawuh, gusti pangeran." Raden Kuning kemudian mendengarkan penuturan pamannya tentang jalur sutera Selat Malaka.
(Bersambung)