Sutera merupakan sebuah jalur perdagangan yang membentang dari Cina di Asia Tengah hingga Roma di Eropa. Rute perdagangan ini membentang sepanjang kurang lebih 7000 mil, yang kemudian populer dinamakan Jalur Sutera. Rute ini dibentuk sejak empat abad sebelum Masehi. Namun, sebutan jalur sutera laut, baru muncul di masa kejayaan kerajaan Demak.
Dinamakan jalur Sutera, karena jalur ini menjadikan kain sutera sebagai komoditas andalan. Bahan kain sutera menjadi simbol status sosial seseorang. Di zaman Romawi kuno, jubah berbahan sutera dipakai oleh kalangan raja dan bangsawan saja. Begitu tingginya harga selembar sutera sama dengan gaji seorang prajurit Romawi Timurdalam setahun sama nilainya dengan harga selembar sutera.
Namun, pada awal abad Masehi pedagang-pedagang lebih memilih menggunakan sarana laut sebagai jalur utama perniagaannya. Jalur Sutera laut semakin hari semakin ramai dan populer, dengan tetap menjadikan kain sutera sebagai komoditas utamanya.
Jalur sutera laut membentang mulai dari Laut Merah hingga Laut Cina Selatan. Tidak bisa dipungkiri ketika para pedagang menggunakan jalur sutera laut, maka patut diduga para pelaut dan pedagang Nusantara ikut terlibat. Karena jalur sutera laut ini dipastikan menggunakan Selat Malaka sebagai tempat transit utamanya.
Keikutsertaan para pedagang Asia Tengah yang ikut meramaikan perdagangan jalur sutera darat pada saat jalur sutera darat di Asia Tengah masih sangat ramai. Beberapa komoditas dari Nusantara adalah kapur barus, cengkeh, rempah-rempah, emas dan beras. Bahan pengawet yang populer didatangkan dari Nusantara, yaitu kamper.
Selat Malaka merupakan lintasan terdekat dari Lautan Hindia menuju Lautan Pasifik dan sebaliknya, sehingga menjadin urat nadi perekonomian dunia. Selat Malaka merupakan perbatasan laut dari tiga negara, yaitu Sumatera, dan Malaya. Selat ini membentang sekitar sepanjang 800 km dan setiap tahunnya dilalui sekitar 70 ribu kapal atau kira-kira 150-200 kapal tiap hari.
Sebenarnya Selat Malaka merupakan jalur pelayaran yang sempit, dangkal dan berkelok-kelok tetapi tetap ramai. Selat Malaka bukan semata-mata koridor bagi lalu lintas laut dari timur menuju ke barat ataupun sebaliknya, tetapi juga menjadi jalur komunikasi antar selat dan mengintegrasikan daerah-daerah dan negara-negara masing-masing kedua sisi selat. Karena itu, perdamaian dan kestabilan wilayah Selat Malaka merupakan prasyarat bagi perkembangan pasokan energi yang lancar dan perdagangan antar bangsa.
Sejak periode kerajaan Hindu-Budha di Nusantara, Selat Malaka memiliki kedudukan cukup penting dalam dunia perekonomian, khususnya perdagangan dan pelayaran. Salah satu faktor penting yang mendukungnya adalah posisi geografisnya. Keberadaan Selat Malaka yang menghubungkan antara negara-negara di Asia Tenggara, Asia Barat, dan Asia Timur memang merupakan faktor utama yang menjadikan Malaka memiliki peran penting dalam jalur perdagangan internasional. Posisi sentral dan strategis ini masih tetap bertahan ketika arus islamisasi di Nusantara berjalan, lebih-lebih ketika jalur sutera bergeser dari jalur sutera darat ke jalur sutera laut via Selat Malaka.
Dengan mulai beralihnya rute perjalanan jalur sutera ke selatan, pedagang-pedagang di kota-kota lokal Nusantara sedikit demi sedikit mendapat semacam kesempatan untuk unjuk diri dan berperan sebagai pedagang kelas dunia. Bahkan, kota-kota di beberapa Pulau Nusantara, khususnya bagian barat, misalnya Sumatra atau Jawa, menjadi tempat transit.
Kota-kota tersebut seolah-olah mendapatkan berkah dari ramainya peralihan jalur sutera darat ke jalur sutera laut. Kota-kota penting masa itu yang berkembang diantaranya adalah Aceh dan Pasai, dan beberapa kota di pesisir pantai timur, utara dan barat Pulau Sumatra, dan juga Tuban di Pulau Jawa.
Tuban sebagai salah satu kota di bandar kuno Jawa bagian timur telah memainkan peranan yang penting sejak berabad-abad yang lampau. Sudah sejak lama terjadi perdagangan antara kawasan dunia "barat" dan "timur" yang bersentuhan dengan Tuban. Para pedagang yang melintasi berbagai negara menempuh perjalanan yang amat panjang dan melelahkan didorong untuk memperoleh komoditas dari negeri yang jauh. Para pedagang yang melintasi Asia Tengah, pada umumnya menggunakan unta untuk melewati di padang pasir dan menggunakan kuda ketika berada di padang rumput.
Sedangkan ketika melalui laut, mereka menggunakan kapal melewati Laut Tengah, Samudera Hindia, dan Laut Cina Selatan. Dalam jalur perdagangan melalui laut inilah Tuban mengambil peran sebagai cabang atau ranting Selat Malaka, sekaligus menjadi tempat transit jalur sutera laut.
Hari menjelang sore, ketika Pangeran Arya Mataram menyelesaikan ceritanya. Seluruh prajurit Djipang yang telah berkumpul di geladak kapal mendengarkan penuturan junjungannya itu dengan khidmat dan tak berani berkata-kata. Meskipun dalam pelarian, tetapi akibat kebersihan hatinya, aura wajah Pangeran Arya Mataram tetap bersinar-sinar. Hal itu menjadi pertanda jika ia memang dilahirkan dengan memiliki trah kepemimpinan.
***
(Bersambung)