Matahari belum muncul ke peraduannya. Menjelang pagi itu, mendung di langit yang belum nampak, dapat dirasa lewat rintik hujan yang jatuh satu-satu. Air di muara sungai Bengawan Solo, tenang. Air pasang pun belum sempurna kembali ke muara ketika Aaradhya Cupat mengumpulkan tiga puluh orang prajuritnya. Sekumpulan orang aneh dengan rambut gimbal panjang yang digelung menyerupa sorban. Wajah-wajah hitam itu penuh bedak dan abu. Beberapa diantaranya juga mengecat wajahnya warna-warni.
Mereka adalah penganut sekte Aghori Sadus dari India. Pengikut ajaran Siwa itu memang berpenampilan aneh. Abu dan bedak di tubuh setengah telanjang mereka adalah abu yang berasal dari pembakaran mayat manusia. Mereka memperoleh kesaktian secara aneh dengan memakan bangkai manusia. Mereka juga mengkoleksi minyak dan tulang tengkorak manusia yang dipercaya dapat mengobati segala macam penyakit.
"Kita akan berlayar di laut lepas. Buruan kita ada di depan sana. Kalau kita bisa bergegas, sore atau menjelang gelap nanti, kapal buruan di depan sana dapat kita kejar." Aaradhya Cupat memberi perintah seraya menunjuk ke arah lautan.
Di kelompok sekte Aghori, Aaradhya Cupat dianggap sebagai penjelmaan Dewa Siwa. Dalam perantauannya resi sesat itu bertemu dengan sekte Aghori di Varanasi. Dengan kemampuan gaibnya, Aaradhya Cupat dianggap penjelmaan Dewa Siwa dan putra Dewi Kali Ma, yang disembah oleh sekte itu.
Kedudukannya yang diagungkan oleh sekte Aghori, dimanfaatkan Aaradhya Cupat untuk mempelajari semua mantra dan ilmu gaib sekte aneh itu. Ilmu kesaktiannya yang didapat dari tuah senjata sakti para dewa, disempurnakannya dengan menyerap ajaran sekte Aghori. Dari penggabungan itu, Aaradhya Cupat menciptakan ilmu baru yang diberi nama 𝘬𝘪𝘯𝘢𝘳𝘢𝘮 𝘴𝘪𝘬𝘢𝘮𝘢. Penamaan itu didapatnya ketika Aaradhya Cupat melatih ilmu pukulan diantara tumpukan mayat yang disempurnakan dengan melakukan ritual berhubungan badan. Syaratnya adalah kesukarelaan dari anggota sekte untuk berhubungan, tanpa paksaan. Orang yang dianggap titisan dewa itu dengan mudah mendapat sukarelawan perempuan dari sekte Aghori.
Untuk mencapai kesempurnaan ilmunya, Aaradhya Cupat juga menggunakan ganja dan tuak agar dapat mencapai ketenangan diri dalam meditasinya. Cara mereka bermeditasi juga sangat aneh karena dilakukan di atas tumpukan mayat. Mereka mempercayai bahwa tubuh manusia adalah murni dan perilaku jahat itu merupakan perilaku roh yang menghidupkan tubuh manusia. Jika roh telah meninggalkan jasad manusia, maka tubuh tanpa roh itu kembali murni dan baik untuk dimakan.
Prinsip dasar praktik yang dilakukan mereka adalah melampaui kemurnian untuk mencapai pencerahan spiritual dan manunggal atau menyatu dengan para dewa. Mereka menolak konsep baik dan buruk. Interaksi pun sangat sulit dengan sekte ini. Bahkan beberapa diantaranya tidak percaya dengan keluarga sendiri dan beberapa memilih jalannya masing-masing.
Sisi baik dari sekte ini, mereka tidak percaya karma dendam. Jika tidak ada perbuatan baik dan perbuatan buruk, maka tidak ada karma dendam dalam setiap aktivitas yang dilakukan. Perbuatan yang dilakukan hari ini adalah sebuah keharusan yang mau tidak mau akan tetap terjadi. Mereka percaya Dewa Siwa ada di mana-mana, tidak terpengaruh dan tidak berubah oleh karena suatu apapun. Tuhan mereka itu juga tak terpikirkan dan Tuhan meresap dalam setiap ciptaan apakah itu makhluk ataupun benda mati.
Dengan ilmu barunya 𝘬𝘪𝘯𝘢𝘳𝘢𝘮 𝘴𝘪𝘬𝘢𝘮𝘢, Aaradhya Cupat memperoleh status yang tinggi di kelompok sekte Aghori. Perintahnya dimaknai sebagai titah raja yang tidak boleh dilanggar. Kedatangan mereka ke Pulau Jawa adalah karena Aaradhya Cupat mendapat bisikan untuk mencari pengetahuan tentang ilmu kehidupan. Tanpa sengaja Aaradhya Cupat menemukan catatan kuno yang ditulis di atas kulit lembu berisi ujar-ujar Jawa.
dノgdムリム イム刀アム ムフノ
刀gレu尺ug イム刀アム 乃ムレム
ᄊ乇刀ム刀g dムイム刀 刀gム丂o尺ムズ乇
Setelah berhasil menterjemahkan ujar-ujar kuno itu, Aaradhya Cupat merasa resah. Selama ini ia selalu mengandalkan ilmunya untuk memperoleh pengaruh. Ia juga selalu mengandalkan pasukannya untuk menang dan dalam setiap kemenangannya itu selalu timbul rasa merendahkan lawan. Ujar-ujar singkat itu ternyata mampu membolak-balikkan hatinya sehingga ia merasa perlu mencari orang yang mampu menerangkan kepadanya pengertian dari ujar-ujar itu. Bersama muridnya, Aaradhya Cupat kemudian mengambil keputusan untuk berlayar menuju Pulau Jawa untuk mencari pencerahan atas keresahan batinnya.
Namun langkah kakinya justru mempertemukan ia dengan Ki Panjawi yang kemudian memanfaatkan kesaktian Aaradhya Cupat untuk mendukung misi mereka menguasai tanah Jawa. Setelah Adipati Pajang mengeluarkan sayembara untuk membunuh Arya Penangsang, Ki Panjawi memberikan sayembara yang sama kepada Aaradhya Cupat dengan iming-iming mempertemukannya dengan guru spiritual yang mampu memberikan ilmu kehidupan sebagaimana yang ia mau.
Untuk mengejar Kapal Jung keraton Djipang, Aaradhya Cupat dan anggota sektenya mempergunakan kapal berukuran sedang yang memuat paling banyak sepuluh orang. Jumlahnya ada empat kapal. Dengan memanfaatkan angin laut dan kemampuan tenaga dalam mereka, kapal itu melesat dengan cepat membelah lautan.
Benar saja, hari telah gelap ketika mereka berhasil menyusul laju kapal Jung Djipang. Dengan cekatan empat kapal pemburu itu menempel kapal buruannya dua di kanan dan dua di kiri. Setelah menautkan tambatan di kapal Jung, penumpang kapal berpenampilan asing itu berloncatan ke geladak. Punggawa Kedum yang berjaga di tiang layar baru mengetahui kehadiran mereka setelah penumpang gelap itu tanpa banyak bicara langsung mengeroyoknya. Seketika terdengar suara gaduh di geladak, Punggawa Tuan dan Bujang Jawa langsung melompat ke lokasi keributan. Prajurit Djipang yang berjaga di geladak kapal pun langsung memberikan bantuan. Sayangnya kemampuan prajurit biasa itu kalah jauh dari penyerangnya. Sesaat saja, beberapa diantara mereka yang berkepandaian rendah langsung mengaduh kesakitan dan terlempar dari arena perkelahian terkena pukulan lawan.
Aaradhya Cupat tidak ikut dalam perkelahian. Ia malah mengempos tubuhnya ke atas tiang layar. Dengan kepandaian meringankan tubuh, mudah baginya untuk bertengger di atas tiang layar seperti burung elang yang tengah mengawasi mangsanya. Tiga prajurit pilih tanding keraton Djipang itu mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Beruntung, kakak beradik Punggawa Tuan dan Punggawa Kedum memiliki jurus langkah ajaib. Sehingga dengan jurus anehnya itu mereka bisa selalu menghindar dari pukulan lawannya yang ganas. Sementara Bujang Jawa yang kebal pukulan beberapa kali terlihat merelakan tubuhnya dipukul lawan karena tidak sempat menghindar akibat kalah jumlah.
Lalu, dimanakah Raden Kuning?
Ternyata Raden Kuning berada di buritan kapal, mengambil duduk bersila layaknya orang bersemedi. Matanya terpejam dan tidak mendengar adanya kegaduhan di atas kapal. Ya, Raden Kuning tengah tenggelam dalam konsentrasi melatih tenaga semesta sebagai syarat untuk menguasai jurus ketujuh dan kedelapan 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘳𝘢𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘶𝘮𝘢𝘥𝘪. Masih seperti yang lalu, tenaga kawedar selalu menolak tenaga semesta yang telah berhasil dihimpunnya di dada. Saat itu kembali tubuhnya berkeringat dan wajahnya pucat pasi.
Tanpa disadarinya, seorang anggota sekte Aghori menemukannya duduk bersila di buritan kapal. Tanpa bicara pria bertelanjang dada itu mengendap-endap mendekat. Setelah berada dalam jarak yang sangat dekat, Raden Kuning masih tidak bereaksi. Orang itu diam-diam menyiapkan pukulan maut. Senjata yang berasal dari tulang manusia itu diayunkan ke arah kepala Raden Kuning. Saking kerasnya pukulannya, dari senjata tulang manusia itu terdengar suara angin berciutan.
Tak sadar bahaya mengintai nyawanya, Raden Kuning masih terpaku tak bergerak berupaya menyalurkan tenaga semesta ke seluruh aliran darahnya.
(Bersambung)