Chapter 35 - Asmaradana

Tenaga kawedar bagaikan penjaga yang menghalangi orang asing masuk ke dalam tubuh Raden Kuning. Tenaga inti bumi dan tenaga murninya bentrok. Kedua tenaga itu saling lilit dan berupaya saling menghancurkan. Akibatnya, tubuh Raden Kuning yang menjadi korban. Ia lalu menghentikan pelatihan tenaga inti bumi. Seketika tenaga yang terkumpul di dadanya ia lepaskan kembali ke semesta. Tubuhnya banjir keringat.

Penasaran dengan kegagalan pertamanya, Raden Kuning mengulangi lagi pelatihan itu. Diulanginya proses melatih tenaga inti bumi dari awal. Namun lagi-lagi ia gagal di tahap yang sama. Entah sudah berapa kali ia menemui kegagalan. Pergantian hari tak dirasakannya lagi. Raden Kuning tenggelam dalam keheningan.

"Tuban sebentar lagi sampai, kurangi kecepatan!"

Suara Punggawa Kedum yang keras menyadarkan dari latihannya yang gagal itu. Tak terasa Raden Kuning telah berlatih hingga malam. Sayang, ia belum berhasil menaklukkan teka-teki cara melatih tenaga inti bumi. Tak ingin larut dalam kegagalan, Raden Kuning segera menuju ruang di atas geladak kapal. Di tempat itu, ia melihat Bujang Jawa sedang berbincang dengan Punggawa Tuan.

"Raden Kuning, bagaimana dengan latihanmu. Sudahkah engkau mendapatkan petunjuk atas ilmu barumu itu?" Bujang Jawa bertanya.

"Aku belum dapat melatih tenaga inti bumi. Telah puluhan kali aku coba melatihnya, justru tenaga inti bumi tak mau menyatu dengan tenaga kawedar yang telah bersatu dalam tubuhku." Suara Raden Kuning terdengar frustasi.

Hari telah larut, suara binatang malam sahut menyahut mewarnai kegelapan. Dari kejauhan terlihat kelap-kelip cahaya yang bersumber dari penerangan pelabuhan. Di dermaga itu berjaga prajurit keraton Tuban yang mengenakan pakaian khas Jawa, surjan. Jumlah prajurit yang berjaga hanya kisaran lima belas orang saja. Mereka memang ditugaskan untuk menjemput rombongan kerabat keraton Djipang yang hendak berlayar ke pulau Sumatera. Saat kapal Jung keraton Djipang terlihat dekat, mereka memberikan tanda agar kapal besar itu merapat ke dermaga utama.

Raden Kuning langsung memimpin rombongan turun ke daratan. Prajurit Tuban menyambut kedatangan mereka dengan sikap hormat. Senopati Glagah Watu yang menjadi pemimpin pasukan langsung mengajak rombongan keraton Djipang menuju keraton Tuban. Kegelapan malam itu menjadi saksi eratnya kekerabatan Djipang dan Tuban yang tak pernah dikenang oleh sejarah.

"Selamat datang Yang Mulia Wirayudha Tunggul Ulung Raden Kuning. Kami mendapat perintah untuk mengawal rombongan dari keraton Djipang menuju ibukota. Monggo." Senopati Glagah Watu menjadi pemandu menuju ibukota Tuban.

Tidak ada persiapan khusus dalam menyambut kehadiran rombongan keraton Djipang. Maklum, di masa pelarian ini Pangeran Arya Mataram menjadi sasaran para prajurit bayaran yang memburu hadiah dari Pajang. Hanya saja dua bola mata lentik dari raut wajah ayu yang terus memasang telinga bagi kedatangan pujaan hatinya yang terus siaga. Dan ketika prajurit membawa berita tentang datangnya rombongan Raden Kuning di Tuban, gadis cantik yang baru jatuh cinta itu langsung melek dan merias wajah sekenanya. Ya, urusan rias-merias wajah ini memang Putri Wuwu bukan ahlinya. Tetapi entah mengapa semenjak ia mengenal Raden Kuning, ia selalu ingin bersolek.

"Aih, Kakang. Baru tiga malam engkau meninggalkanku betapa berat rindu yang kurasa," Putri Wuwu bergumam sendiri.

Dan ketika mereka diterima di paseban, Putri Wuwu yang antusias berada di sana. Pangeran Sekar Tanjung bertindak mewakili Adipati Tuban. Sedangkan Putri Wuwu mewakili Kanjeng Ratu Ayu Haryo Balewot yang telah pulas di peraduan.

"Sugeng rawuh, saudara-saudaraku dari keraton Djipang. Silakan bagi yang laki-laki telah disiapkan tempat di ksatriyan yang akan dipandu oleh prajurit Soka Lulung. Yang perempuan akan dipandu adikku, Putri Wuwu ke keputren. Anggap rumah sendiri dan jangan sungkan selama disini karena kita semua adalah saudara!" Pangeran Sekar Tanjung memberi kata sambutan.

"Terimakasih, Pangeran. Tak terhitung jasa Tuban terhadap kami yang hanya orang-orang pelarian ini. Meskipun kami tak akan bisa membalas budi baik ini, tetapi kemurahan hati Adipati Tuban dan keluarga akan selalu kami kenang. Semoga amal baik ini akan dicatat dan dibalas oleh Gusti Allah!" Raden Kuning bicara. Sesekali diliriknya tunangannya, Putri Wuwu yang nampak terlihat tetap cantik meskipun di larut malam.

Setelah pertemuan resmi ditutup, Putri Wuwu menghampiri Raden Kuning. Mereka nampak terlihat pembicaraan serius. Pasangan itu demikian serasinya hingga seluruh mata yang memandang mahfum jika keduanya memang pantas berjodoh.

"Bagaimana rencana Kakang. Aku mendengar khabar jika Kakang akan segera berlayar ke Palembang. Aku ingin ikut serta Kakang!"

"Diajeng Wuwu. Perjalanan kami sangat bahaya. Aku tidak ingin terjadi apa-apa terhadapmu. Biarlah Kakang menyelesaikan terlebih dahulu tugas sebagai prajurit. Setelah itu, kita pasti berjumpa lagi dalam suasana yang lebih baik. Sebetulnya aku pun sangat berat meninggalkan dirimu. Baru tiga hari saja tidak bertemu, dunia bagaikan runtuh di atas kepalaku akibat merindukanmu." Raden Kuning sebetulnya tak sampai hati untuk menolak permintaan tunangannya. Tetapi demi keselamatan Putri Wuwu, ia harus mengeraskan hati. Mendengar keteguhan pendirian Raden Kuning, Putri Wuwu tidak berani membantah.

Pembicaraan yang singkat itu, cukuplah sebagai obat penawar rindu. Dalam hatinya Putri Wuwu tersenyum riang. Baru saja sang pujaan hati mengobati rindunya. Memang jatuh cinta itu abstrak, sulit dijelaskan dengan kata. Yang pasti dengan jatuh cinta, kini ia punya tujuan. Di masa itu sulit sekali wanita untuk bisa memilih sendiri jodohnya. Putri Wuwu adalah salah satu dari sedikit wanita yang beruntung. Dijodohkan dengan laki-laki yang mampu menggetarkan hatinya.

"Kang Mas Raden Wirayudha, aku selalu mendoakanmu. Meskipun aku tak pandai menyampaikan kata-kata indah, tetapi dari sorot mataku yang sakit menahan rindu, pastilah dirimu tahu ada aku di sini yang selalu menantikan kehadiranmu." Putri Wuwu yang telah kembali ke kamar tidurnya, bergumam sendiri. Ia tak bisa memejamkan matanya. Apalagi di kamar keputren itu, dimana Raden Kuning pernah singgah.

𝘈𝘚𝘔𝘈𝘙𝘈𝘋𝘈𝘕𝘈

𝘗𝘦𝘱𝘢𝘫𝘢𝘯𝘨𝘦 𝘵𝘦𝘮𝘣𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘴𝘮𝘢𝘳𝘢𝘥𝘢𝘯𝘢

𝘗𝘢𝘯𝘫𝘢𝘯𝘨𝘦 𝘥𝘦𝘯 𝘢𝘳𝘢𝘯𝘪 𝘢𝘴𝘮𝘢𝘳𝘢 𝘥𝘢𝘩𝘢𝘯𝘢

𝘞𝘦𝘳𝘥𝘪𝘯𝘦 𝘴𝘪𝘧𝘢𝘵 𝘫𝘢𝘯𝘮𝘰 𝘫𝘳𝘰𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘢𝘴𝘮𝘢𝘳𝘢

𝘗𝘪𝘯𝘥𝘢 𝘱𝘢𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘳𝘦𝘮𝘣𝘶𝘭𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘥𝘢𝘯𝘨𝘦 𝘳𝘪𝘯𝘢

𝘞𝘰𝘯𝘨 𝘦𝘯𝘰𝘮 𝘵𝘢𝘯 𝘸𝘢𝘴𝘬𝘪𝘵𝘰 𝘳𝘶𝘴𝘢𝘬𝘪𝘯𝘨 𝘫𝘪𝘸𝘢 𝘳𝘢𝘨𝘢

𝘛𝘢𝘯 𝘦𝘮𝘶𝘵 𝘸𝘦𝘭𝘪𝘯𝘨𝘦 𝘪𝘣𝘶 𝘭𝘢𝘯 𝘳𝘢𝘮𝘢

𝘈𝘨𝘯𝘪 𝘯𝘨𝘰𝘣𝘰𝘯𝘨 𝘢𝘵𝘪 𝘯𝘨𝘪𝘥𝘶𝘯𝘨 𝘢𝘴𝘮𝘢𝘳𝘢

𝘋𝘢𝘥𝘪 𝘭𝘢𝘬𝘰𝘯 𝘬𝘦𝘱𝘳𝘢𝘣𝘰𝘯 𝘱𝘪𝘯𝘥𝘢 𝘳𝘢𝘫𝘢

***

(Bersambung)35