"Maaf, Eyang Kyai. Saya tidak bersedia mempelajari jurus yang ganas ini. Saya khawatir jika menguasainya akan berbuat kerusakan di muka bumi. Kakang Penangsang yang memiliki kepandaian pilih tanding saja, jika Allah menghendaki, maka tak ada kemampuan kita untuk mengelaknya. Biarkan takdirku berjalan sebagaimana yang sudah dituliskan. Saya tidak ingin melawannya!"
"Masya Allah. Engkau sungguh berbudi pekerti luhur, Pangeran. Akan banyak sekali rintangan yang akan engkau hadapi di tempat barumu nanti. Sesungguhnya kepandaian kanuraganmu akan membuat engkau memiliki banyak pengikut. Tetapi hari ini aku yakin, jika kelak suatu ketika engkau memiliki banyak orang-orang yang mengasihimu, itu tak lain karena ketulusan hatimu. Aku akan memberikanmu catatan-catatan yang telah aku tulis untukmu. Di dalamnya berisi pengalaman spirituilku dalam mencari kebenaran tentang Islam. Semoga catatan itu dapat menuntunmu mendapatkan hidayah agar berguna kelak bagi para pengikutmu di masa depan."
Matahari telah beranjak dari peraduan, ayam jantan berkokok. Pangeran Arya Mataram mencium tangan kakek sepuh di hadapannya. Kedua tokoh penting tanah Jawa itu nampaknya saling mengagumi satu sama lain. Pangeran Arya Mataram kagum akan kedalaman ilmu agama dan ilmu silat Eyang Kyai, begitu sebaliknya Eyang Kyai kagum akan kemurnian hati Pangeran Arya Mataram. Keputusan penerus tahta keraton Djipang menolak mempelajari jurus-jurus pamungkas 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘳𝘢𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘶𝘮𝘢𝘥𝘪 itu tanpa disadarinya akan menghapus cerita keberadaannya di masa mendatang.
Setelah menuntaskan pertemuan dengan Eyang Kyai, Pangeran Arya Mataram pamit. Ia bersama istrinya kembali ke keraton Tuban. Tidak ada pengawalan khusus terhadap mereka. Keduanya hanya diantar seorang prajurit biasa yang berperan sebagai penunjuk jalan.
Pangeran Arya Mataram kemudian menghadap Adipati Tuban Raden Haryo Balewot. Anehnya, tanpa disadarinya setelah mendapatkan ilmu batin dan menolak jurus pamungkas sangkan paraning dumadi, mata hati Pangeran Arya Mataram terbuka. Ia dapat melihat akan ada kesedihan di masa setelah Raden Haryo Balewot berkuasa di Tuban. Dalam hatinya, Pangeran Arya Mataram bersedih. Penglihatannya yang baru itu akan menjadi sesuatu yang buruk jika dikuasai oleh orang yang salah.
"Adi Mas Raden Balewot. Saya sudah hampir sepekan berada di Tuban. Selama sepekan ini pula, Eyang Kyai banyak menurunkan ilmu agama kepada saya. Sudah waktunya kami 𝘯𝘺𝘶𝘸𝘶𝘯 𝘱𝘢𝘮𝘪𝘵. Izinkanlah kami berangkat berlayar menuju tujuan di pulau Sumatera. Semakin lama kami berada di sini, semakin banyak pula prajurit-prajurit bayaran yang akan datang ke Tuban dan membuat keonaran."
"Ah, Kakang. Tak berani aku menahan keinginanmu. Tetapi izinkanlah aku memberimu seratus pasukan, untuk menjaga keamanan kalian selama di perjalanan."
"Wah, kami jadi merepotkanmu. Biarlah rombongan kami berangkat dalam jumlah yang sedikit agar tidak menarik perhatian." Dengan halus Pangeran Arya Mataram menolak niat baik Adipati Tuban.
"Jika engkau menolak prajuritku, maka aku tetap akan memaksa orangku untuk ikut denganmu, Kakang. Kepala prajurit pengawalku Soka Lulung aku titipkan kepadamu. Biar ia untuk sementara mengabdi kepada engkau dan memperluas pengalaman di pulau Sumatera." Raden Haryo Balewot tetap ngotot memberi prajuritnya untuk mengawal keselamatan Pangeran Arya Mataram. Tapi lagi-lagi tawarannya ditolak olehnya.
"Saya tidak berani menerima niat baikmu, Adi Mas. Biarlah saya dikawal oleh Raden Kuning. Setelah kami selamat di perantauan, tentunya Raden Kuning akan menepati janjinya mempererat hubungan kekerabatan dengan keraton Tuban dengan menikahi keponakan Raden Balewot, Putri Wuwu."
Dalam hatinya, Raden Haryo Balewot kagum akan teguhnya pendirian orang yang masih terhitung saudaranya itu. Setelah terus menerus ditolak oleh Pangeran Arya Mataram, Raden Balewot akhirnya mahfum. Penerus trah keraton Djipang itu adalah sosok yang memiliki keikhlasan luar biasa dan tidak memiliki ambisi apapun terkait tahta kerajaan Demak. Dalam hatinya ia berjanji akan menyampaikan langsung penilaiannya ini kepada Adipati Pajang, Jaka Tingkir.
"Kakang Hadiwijaya salah menilaimu, Kang Mas Mataram. Jika saja ia tidak berambisi atas tahta kerajaan Demak, pastilah orang yang berakhlak baik sepertimu akan dapat menghasilkan karya-karya berisi falsafah hidup bagi orang Jawa di masa depan. Sayang sekali orang Jawa akan kehilangan tokoh sepertimu, Kang Mas. Aku hanya bisa mendoakan saja agar engkau selalu mendapatkan hidayah dari Allah."
Pagi belum seberapa meninggi, ketika rombongan keluarga keraton Djipang berpamitan untuk melanjutkan perjalanan. Raden Kuning nampak gelisah. Dari sudut matanya ia tidak melihat sang pujaan hati berada di paseban. Padahal mereka sudah akan berpamitan. Pangeran Sekar Tanjung dapat menangkap kegelisahan hati calon sepupu iparnya itu. Ia lalu menghampiri Raden Kuning.
"Aku tahu engkau sedang gelisah menunggu kehadiran adik sepupuku, Putri Wuwu. Ia memang kulihat masih belum muncul di 𝘱𝘢𝘴𝘦𝘣𝘢𝘯. Ternyata engkau jadi gelisah Raden Kuning." Pangeran Sekar Tanjung tertawa menggoda.
"Ah, malu aku terhadapmu, Pangeran. Betapa jeli sekali engkau melihat bahwa hatiku tengah gelisah." Raden Kuning menjawab malu-malu. Belum ia menyelesaikan kalimatnya, orang yang ditunggu telah tiba di 𝘱𝘢𝘴𝘦𝘣𝘢𝘯. Ya, Putri Wuwu dengan langkah anggun masuk ke 𝘱𝘢𝘴𝘦𝘣𝘢𝘯 dan langsung menghampiri tunangannya yang sedari tadi gelisah.
"Kang Mas Wirayudha." Wajah cantik itu menampakkan kedukaan. Di kelopak matanya bahkan mengembang air mata. Kentara sekali jika gadis itu tak mampu menutupi kesedihannya.
"Dirimu jangan bersedih, Diajeng. Aku pergi tak akan lama. Aku terikat janji kepadamu. Doakan saja aku bisa menunaikan tugasku dengan cepat dan kita bisa kembali berkumpul."
Setiap ada pertemuan, pasti ada perpisahan. Dan hari ini perpisahan itu ternyata menyedihkan. Putri Wuwu sadar jika dirinya tengah berduka. Penyebabnya adalah harus berpisah dalam waktu yang tak dapat ditentukan dengan sang pujaan hatinya.
"Kang Mas. Aku selalu berdoa untuk keselamatanmu dan untuk kebahagiaan kita di masa mendatang. Jika saja aku boleh menangis meraung-raung saat ini untuk menahanmu agar tidak pergi, pasti aku telah melakukannya sedari tadi. Aku menunggumu di tanah Jawa untuk kita mewujudkan mimpi-mimpi kita, Kang Mas!" Putri Wuwu menjurakan kedua tangannya di depan dada. Ia pun membungkukkan badannya lalu mencium tangan calon imamnya, Raden Kuning. Begitulah cinta, dari dulu ia memang mampu membolak-balikkan hati manusia.
Rombongan pelarian keraton Djipang itu kemudian diantar langsung oleh Raden Haryo Balewot beserta orang-orang penting dari keraton Tuban ke dermaga. Aktivitas di pelabuhan perdagangan internasional hari itu tetap padat seperti biasanya. Pangeran Arya Mataram naik ke atas kapal diikuti oleh yang lain. Raden Kuning, Bujang Jawa, dua punggawa yaitu Tuan dan Kedum paling belakangan naik ke Kapal Jung. Diiringi derai air mata Putri Wuwu, kapal Jung berbendera keraton Djipang itu melepas sauh berlayar ke laut Jawa menuju Selat Malaka yang menjadi jalur sutera, jalur perdagangan yang menjadi salah satu tujuan pelayaran dunia. Putri Wuwu terlihat tak henti-hentinya melambaikan tangannya. Di atas geladak kapal, Raden Kuning mencium saputangan yang diberikan pujaan hatinya ketika ia pamit tadi.
"Aih…, Diajeng Wuwu. Mungkinkah kita nanti akan dapat bersama lagi. Hanya Allah yang tahu!"
(Bersambung) 37