Dalam keterkejutannya, Raden Kuning berpikir keras. Jurus pamungkasnya seperti tidak berarti ketika membentur tubuh Ki Ageng Selamana. Tak ada cara lain, agar tenaganya tidak tersedot, maka ringan dilawan ringan, keras dilawan keras, tenaga kapas dilawan kapas. Raden Kuning merubah tenaga pukulannya dengan menyalurkan tenaga 𝘣𝘶𝘮𝘪. Jurus kelima itu juga menggunakan tenaga kapas untuk menerima pukulan lawan.
Melihat calon muridnya merubah tenaga pukulan, Ki Ageng Selamana justru tersenyum. Ia lalu merubah tenaganya menjadi tenaga keras. Raden Kuning kecele. Biasanya tenaga keras lawan, pasti akan tersedot oleh jurus 𝘣𝘶𝘮𝘪. Tetapi kali ini tenaga yang masuk melalui telapak tangan Ki Ageng Selamana sangat berat sehingga mampu menyentuh dasar tenaganya. Padahal jurus 𝘣𝘶𝘮𝘪 diciptakan untuk menampung sebanyak-banyaknya tenaga lawan. Ia tak memiliki dasar. Tenaga yang masuk akan amblas seperti memukul ruang hampa. Namun tenaga Ki Ageng Selamana seperti memiliki gravitasi sehingga mampu menyentuh dasar jurus 𝘣𝘶𝘮𝘪.
Raden Kuning pucat pasi. Hanya satu peluangnya untuk lepas dari keadaan tersudut. Iya belum pernah menggunakan jurus keempat, 𝘮𝘢𝘵𝘪 𝘴𝘢𝘬𝘫𝘦𝘳𝘰𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘶𝘳𝘪𝘱. Jurus itu memang jarang dimainkan karena sifatnya tidak menyerang atau bertahan, melainkan diam. Raden Kuning menutup aliran darahnya sehingga tenaga dalam lawan yang berat tidak lagi dirasakannya. Pilihan memainkan jurus 𝘮𝘢𝘵𝘪 𝘴𝘢𝘬𝘫𝘦𝘳𝘰𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘶𝘳𝘪𝘱 memang tepat untuk keluar dari desakan tenaga lawan. Dalam keadaan diam, tenaga berat Ki Ageng Selamana kehilangan gravitasi seperti di ruang hampa.
"Hebat kau, Raden Kuning. Engkau berhasil mengatasi seranganku. Memang kau pantas untuk kuangkat menjadi murid. Ayo kau beri hormat gurumu ini, hahahaha….!" Ki Ageng Selamana kegirangan. Dirangkulnya tubuh muridnya itu seraya menepuk-nepuk bahu kegirangan.
"𝘐𝘯𝘨𝘨𝘪𝘩, guru. Aku hanya berupaya mengatasi tenaga guru yang berubah-ubah. Jika guru berniat jahat, tentu tamatlah riwayatku sekarang." Raden Kuning menjura takzim.
"Aku lihat engkau telah menguasai enam jurus dari sebelas jurus 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘳𝘢𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘶𝘮𝘢𝘥𝘪. Tenaga dalammu juga sangat kuat. Engkau memang berjodoh denganku dan itu berarti engkau belajar ilmu ini dari sumber aslinya. Sesuai namanya, jurus ini tercipta dari falsafah kejawen. Dalam perkembangannya, banyak sekali perubahan atas jurus itu. Tetapi inti dari penerapannya sama saja. Hanya berubah nama. Ikuti aku. Akan kuterangkan kepadamu makna dari falsafah jurus-jurusmu!" Ki Ageng Selamana berkelebat menuju daratan. Ia berhenti di bawah pohon beringin yang rindang. Di bawah pohon itu guru dan murid saling bertukar ilmu kehidupan.
"Dalam falsafah Jawa, 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘳𝘢𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘶𝘮𝘢𝘥𝘪 merupakan ajaran tentang bagaimana cara manusia menyikapi kehidupan. 𝘚𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 artinya asal muasal, 𝘱𝘢𝘳𝘢𝘯 adalah tujuan dan 𝘥𝘶𝘮𝘢𝘥𝘪 artinya yang membuat jadi atau pencipta. Secara mudah 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘳𝘢𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘶𝘮𝘢𝘥𝘪 dapat diartikan dari mana dan akan kemana kita. Jawabannya satu kepada Sang Pencipta. Seluruh alam semesta akan kembali kepada Sang Pencipta," jelas Ki Ageng Selamana.
Raden Kuning hanya menganggukkan kepalanya. Hari ini ia mendapat ilmu batin yang berkaitan dengan asal muasal jurus ilmu silat yang ia pelajari. Ki Ageng Selamana mengajarkan tentang makna yang terkandung dalam jurus silat 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘳𝘢𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘶𝘮𝘢𝘥𝘪 dengan falsafah hidup orang Jawa.
"Manusia harus memiliki mental 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘳𝘢𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘶𝘮𝘢𝘥𝘪. Semua yang ada akan kembali kepada-Nya. Dengan begitu ruh yang terkandung dalam jiwa yang berwujud tiga unsur yaitu akal, nafsu dan rasa, akan berjalan seimbang. Pangeran Arya Mataram dan keluarga keraton Djipang yang saat ini kehilangan harta, tahta, dan kemewahan. Itu terjadi karena kehendak Yang Maha Kuasa. Jika memiliki pemahaman 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘳𝘢𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘶𝘮𝘢𝘥𝘪, maka hal itu bukanlah musibah tetapi memang sudah menjadi ketetapan Tuhan. Inilah intisari dari ajaran 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘳𝘢𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘶𝘮𝘢𝘥𝘪!" Ki Ageng Selamana menutup penjelasannya.
"Lalu apakah hubungannya penguasaan sebelas jurus 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘳𝘢𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘶𝘮𝘢𝘥𝘪 dengan ujar-ujar itu, Guru?"
"Jika engkau tidak memahami dan menjalankan intisari ajaran 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘳𝘢𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘶𝘮𝘢𝘥𝘪, maka engkau tidak akan dapat menguasai jurus itu hingga sempurna sampai pada puncaknya. Untuk sampai kesana, maka batinmu harus matang. Aku pun belajar pemahaman tentang 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘳𝘢𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘶𝘮𝘢𝘥𝘪 dari sumber aslinya, ajaran kejawen. Selanjutnya Sunan Kudus mengajarkan kepadaku tentang Islam dan tauhid. Hingga usiaku yang sudah lewat enam puluh, aku pun belum dapat menghubungkan secara total antara pemahaman dan pencapaian 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘳𝘢𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘶𝘮𝘢𝘥𝘪 sebagai sebuah ilmu kanuragan dengan makna yang terkandung di dalamnya!" Ki Ageng Selamana menghembuskan nafas dalam-dalam. "Coba engkau mainkan jurus 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘳𝘢𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘶𝘮𝘢𝘥𝘪 yang engkau kuasai!"
"𝘐𝘯𝘨𝘨𝘪𝘩, guru!" Raden Kuning kemudian melompat ke belakang. Cahaya matahari seharusnya sudah tinggi saat itu. Namun cuaca mendung membuat sinarnya tak sampai di tempat kedua guru dan murid itu berada, di pinggiran aliran Sungai Bengawan Solo.
Raden Kuning lalu memasang kuda-kuda jurus pertama 𝘣𝘦𝘯𝘦 𝘮𝘶𝘺𝘦𝘯. Jurus itu hanya terdiri dari kuda-kuda pertahanan dan pukulan serta tendangan tak beraturan seperti tanpa pola. Tetapi jika dicermati pada langkah kesembilan dan kesepuluh, terdapat pola berulang di sana. Selanjutnya jurus kedua 𝘴𝘢𝘯𝘫𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘦. Jurus ini menggunakan indera perasa untuk mengetahui gerakan lawan dan merupakan jurus bertahan. Jurus ketiga adalah 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘮𝘱𝘢𝘩 𝘪𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘶𝘳𝘶𝘴. Sesuai dengan namanya, jurus ini lebih mengutamakan langkah kaki yang berfungsi sebagai pertahanan dan sekaligus serangan.
Jurus keempat adalah 𝘮𝘢𝘵𝘪 𝘴𝘢𝘬𝘫𝘦𝘳𝘰𝘯𝘪 𝘶𝘳𝘪𝘱. Jurus keempat bukanlah jurus bertahan atau menyerang. Pada intinya jurus ini membuat orang yang menggunakannya dalam keadaan netral. Dengan menguasai jurus ini, maka Raden Kuning dapat mematikan semua inderanya sehingga mirip dengan orang yang mati suri. Jurus kelima adalah 𝘣𝘶𝘮𝘪. Keutamaan jurus 𝘣𝘶𝘮𝘪 adalah menggunakan tenaga halus, sehingga tubuh menjadi seperti kapas. Jika bentrok dengan tenaga dalam lawannya, maka tenaga lawan seperti menghantam samudera yang tak bertepi hingga akhirnya tenaga lawan tersedot dan lemas terkuras. Jurus keenam adalah 𝘫𝘦𝘯𝘢𝘳 𝘪𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘢𝘯𝘨𝘶. Jurus ini adalah jurus menyerang dengan melepas pukulan berisi tenaga dalam yang mampu membuat lawannya terpanggang.
"Hanya sampai disitu yang baru bisa saya kuasai, guru. Selebihnya saya belum dapat mengartikan ujar-ujar dalam 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘳𝘢𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘶𝘮𝘢𝘥𝘪 karena keterbatasan kemampuan berpikir saya. Mohon petunjuk guru!"
"Baiklah. Aku akan memberikan petunjuk dua jurus ketujuh dan kedelapan, 𝘵𝘰𝘺𝘰 𝘪𝘯𝘨 𝘶𝘳𝘪𝘱𝘢𝘯 dan 𝘭𝘦𝘴𝘶𝘴 𝘴𝘪𝘯𝘨 𝘱𝘶𝘳𝘶𝘯 𝘥𝘢𝘮𝘦𝘭. Perhatikanlah gerakan ini!" Ki Ageng Selamana segera melompat ke depan dan memainkan jurus ketujuh dan kedelapan.
Jurus 𝘵𝘰𝘺𝘰 𝘪𝘯𝘨 𝘶𝘳𝘪𝘱𝘢𝘯 diawali dengan kedua tangan dirapatkan di depan wajah kemudian membuat gerakan melengkung dari atas ke bawah dan ke atas lagi. Kemudian kedua tangan dibalikkan dan diregangkan sebahu, lalu tubuh Ki Ageng Selamana melompat bergulingan di udara hingga dua depa. Selanjutnya tubuhnya mencelat ke atas lalu menukik turun dengan tangan bersila menusuk ke bawah.
"Dar!" Debu bercampur tanah mencelat ke segala penjuru akibat terkena pukulan Ki Ageng Selamana. Tanah yang terkena pukulan itu berlubang hingga tiga tombak. Air di aliran sungai Bengawan Solo langsung memenuhi lubang yang baru terbentuk itu.
"Masya Allah. Dahsyat sekali akibat pukulan jurus 𝘵𝘰𝘺𝘰 𝘪𝘯𝘨 𝘶𝘳𝘪𝘱𝘢𝘯!" Tak sadar Raden Kuning berteriak kagum.
Tanpa menarik nafas, Ki Ageng Selamana kembali mempraktekkan jurus kedelapan 𝘭𝘦𝘴𝘶𝘴 𝘴𝘪𝘯𝘨 𝘱𝘶𝘳𝘶𝘯 𝘥𝘢𝘮𝘦𝘭. Tangannya dirapatkan dan diangkat ke atas sedangkan kaki mengempos di tanah hingga tubuhnya mencelat ke atas kemudian turun dengan tubuh berputar seperti gasing. Putaran itu sedemikan hebatnya hingga pohon beringin yang berdaun rindang itu meranggas. Seluruh daunnya copot dan berputar-putar di udara.
"Hiyat!" Dengan aba-aba teriakan, daun yang berputar itu bergerak mengikuti arah tangan Ki Ageng Selamana yang memukul ke arah pohon. Akibatnya luar biasa. Batang pohon besar itu roboh karena dihantam oleh daunnya sendiri.
"Masya Allah, sungguh ganas jurus ketujuh dan kedelapan ini, guru. Izinkan saya meniru gerakanmu."
Raden Kuning langsung menirukan gerakan yang baru saja dimainkan oleh gurunya Ki Ageng Selamana. Dasar ia memang murid yang cerdas. Dengan sekali lihat saja, ia telah berhasil mencontoh semua gerakan gurunya itu. Hanya saja, akibat pukulannya tak sedahsyat yang baru saja ia lihat.
"Aih. Mengapa setelah kumainkan jurus ketujuh dan kedelapan itu tak seperti yang baru saja guru mainkan. Apa yang salah, guru. Mohon petunjukmu!"
"Jurus ketujuh dan kedelapan secara gerak dan gaya sebenarnya telah engkau kuasai. Tetapi untuk memainkan jurus itu dengan maksimal, engkau harus melatih tenaga dalammu. Penggunaan tenaga untuk menggunakan jurus itu harus dilatih terbalik dengan dasar tenaga dalam yang biasa engkau latih. Tenaga dalam harus engkau pusatkan di dada, bukan di bawah pusar. Untuk melatihnya perlu latihan dan waktu yang tidak singkat. Aku akan sampaikan tata caranya melalui ujaran ini!" Ki Ageng Selamana kemudian kembali duduk bersila di tanah. Ia lalu melafalkan ujar-ujar untuk dihafal oleh muridnya, Raden Kuning.
"𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘵𝘶, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘢𝘬𝘶 𝘥𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘭𝘢𝘪𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘴𝘦𝘮𝘦𝘴𝘵𝘢. 𝘚𝘢𝘵𝘶 𝘢𝘬𝘶 𝘪𝘵𝘶 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘴𝘦𝘬𝘪𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘭𝘢𝘪𝘯𝘯𝘺𝘢. 𝘖𝘭𝘦𝘩 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘪𝘵𝘶 𝘢𝘬𝘶 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘮𝘦𝘭𝘦𝘵𝘢𝘬𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘯𝘢𝘨𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪 𝘣𝘦𝘯𝘵𝘦𝘯𝘨 𝘥𝘪 𝘥𝘢𝘥𝘢. 𝘈𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘪𝘣𝘢 𝘴𝘢𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘯𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘢𝘬𝘶 𝘪𝘵𝘶 𝘴𝘢𝘮𝘱𝘢𝘪 𝘬𝘦 𝘴𝘦𝘭𝘶𝘳𝘶𝘩 𝘱𝘦𝘮𝘣𝘶𝘭𝘶𝘩 𝘥𝘢𝘳𝘢𝘩 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘯𝘥𝘢 𝘵𝘪𝘶𝘱𝘢𝘯 𝘯𝘢𝘧𝘢𝘴. 𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘢𝘬𝘶 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘴𝘢𝘵𝘶, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘢𝘬𝘶 𝘵𝘢𝘬 𝘢𝘥𝘢 𝘣𝘦𝘥𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘭𝘢𝘪𝘯𝘯𝘺𝘢. 𝘔𝘢𝘬𝘢, 𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘢𝘬𝘶 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴𝘭𝘢𝘩 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱 𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘬𝘶𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘵𝘶."
Ki Ageng Selamana kemudian berkelebat meninggalkan kebingungan yang melanda pikiran Raden Kuning. Sayup-sayup masih didengarnya suara gurunya berkata, "Selamat mempelajari petunjukku, Raden Kuning. Semoga engkau dapat memahaminya. Aku pamit. Anak-anak murid perguruan Wanakerta juga telah pamit. Segeralah engkau meninggalkan tempat ini dengan kapal junjunganmu. Wassalamualaikum!"
Raden Kuning tertegun di pinggir air. Dalam hatinya ia takjub. Dalam pelarian mengawal junjungannya ini, banyak sekali hikmah dan pelajaran yang ia dapatkan. Tak mau larut dalam pikirannya sendiri, ia lalu segera melompat ke kapal Jung milik keraton Djipang.
"Bujang Jawa, Punggawa Tuan dan Punggawa Kedum. Segera kita berangkat menuju Tuban menyusul Pangeran Arya Mataram!"
(Bersambung)