"Trang!" Terdengar suara nyaring. Keris Kyai Layon lepas dari cemeti. Wong Segara terjerembab, wajahnya putih bagai kapas. Tenaga dalamnya terkuras hingga tersisa seperempatnya saja. Ada orang berkepandaian tinggi yang menyentil batu kerikil menyelamatkan Wong Segara.
"Masya Allah. Jahat sekali aura kerismu. Terlambat sedikit saja, pasti lawanmu ini akan tewas kehabisan tenaga. Coba aku lihat kerismu itu, cucuku!" Ternyata Eyang Kyai yang melempar kerikil hingga nyawa Wong Segara bisa terselamatkan.
"𝘐𝘯𝘨𝘨𝘪𝘩 Eyang!" Raden Kuning lalu menyerahkan kerisnya.
"Hai kalian prajurit bayaran. Apakah masih ada lagi jagoanmu yang ingin mengadu tanding dengan tamuku dari Djipang? Jika tidak ada, segeralah kalian minggat dari wilayah Tuban sebelum aku berubah pikiran!" Raden Haryo Balewot bersuara lantang. Hampir seratus prajurit bayaran di bawah pimpinan Wong Segara segera bergegas menuju pelabuhan, pulang. Sebelumnya, beberapa prajurit menggotong Wong Segara dan kakek berjenggot.
"Dari mana engkau mendapat keris itu, Ngger?" Pangeran Arya Mataram bertanya.
"Saya menerima titipan keris Kyai Layon dari paduka Tua Buta Agam. Keris ini tadinya akan diserahkan kepada Yang Mulia Raden Haryo Balewot, tetapi atas persetujuan Yang Mulia keris ini dititipkan terlebih dahulu kepada saya, Pangeran."
"Subhanallah, keris ini salah satu ciptaan dari makhluk Allah yang tidak boleh jatuh ke tangan orang yang salah." Pangeran Arya Mataram menganggukan kepalanya.
"Aku hampir saja menikam Kang Mas Wirayudha, Pangeran. Peristiwanya tadi sore. Ketika aku memegang keris, tetiba ada tenaga asing yang mengendalikanku dan langsung menikam Kakang. Beruntung hanya lengannya saja yang tergores." Putri Retno Wulan yang semula diam akhirnya menceritakan peristiwa yang baru dialaminya.
"Benar-benar keris yang haus darah. Kepandaianmu makin meningkat, Ngger. Pasti engkau telah mendapat petunjuk dari Eyang Kyai. Sekali lagi Eyang Kyai, mewakili keponakanku, saya mengucap terimakasih dan sekali lagi kami mohon petunjukmu!" Pangeran Arya Mataram menundukan badannya ke arah Eyang Kyai.
"Ya, ya. Keris ini ada hubungan erat dengan tahta keraton Tuban. Si buta Agam sangat jeli, ia pasti meminta setiap Adipati Tuban harus mewarisi keris ini. Ya, ya. Pandanganku juga begitu. Keris ini akan menjadi alat bagi anak keturunanmu saling bunuh memperebutkan tahta. Oleh karena itu, keris ini harus turun temurun diwariskan kepada Adipati Tuban agar pemiliknya bisa menjaganya jika tidak mau kehilangan tahta. Dengan begitu keris ini akan jadi simbol tahta Tuban. Tetapi kemungkinan kedualah yang masuk akal. Harus melalui ijab kabul persetujuan Raden Haryo Balewot selaku ahli waris keris, Kyai Layon ini dititipkan kepada Raden Kuning. Tujuannya agar ia jauh dari jangkauan anak keturunan Adipati Tuban. Dengan begitu, maka kecil kemungkinan keris ini akan digunakan untuk perebutan tahta Tuban. Kau simpan kembali keris Kyai Layon ini. Jangan sembarangan engkau mempergunakannya!" Perintah Eyang Kyai langsung menjadi titah bagi yang hadir. Raden Haryo Balewot tak berani membantah.
"Baiklah, terimakasih atas petunjuknya, Eyang. Saya terima kembali Kyai Layon. Semoga ke depan, saya bisa mengendalikannya." Raden Kuning segera menyimpan keris Kyai Layon dibalik bajunya.
"Ayo kita semua kembali ke keraton. Kita akan mengadakan 𝘱𝘪𝘴𝘰𝘸𝘢𝘯𝘢𝘯. Soka Lulung, segera minta senopati Glagah Watu untuk mengumpulkan seluruh pimpinan prajurit dan kerabat keraton serta imam masjid Tuban. Aku akan umumkan bahwa hari ini Tuban dan Djipang terikat dalam kekerabatan." Raden Haryo Balewot mengeluarkan titah.
Hanya sependidih air, 𝘱𝘢𝘴𝘦𝘣𝘢𝘯 keraton Tuban telah terkumpul banyak orang. Adipati Tuban ditemani oleh istrinya meminta semua yang hadir untuk tenang. Di sebelahnya duduk Pangeran Arya Mataram dan Mimi Aisyah. Meskipun tidak menggunakan atribut keraton Djipang, namun kehadiran keduanya menyedot perhatian. Pangeran Arya Mataram memakai 𝘥𝘦𝘴𝘵𝘢𝘳 𝘣𝘢𝘯𝘨𝘶𝘯 𝘵𝘶𝘭𝘢𝘬 dengan pinggiran keemasan, 𝘱𝘢𝘯𝘪𝘯𝘨𝘴𝘦𝘵 𝘤𝘪𝘯𝘥𝘩𝘦 𝘵𝘶𝘮𝘱𝘢𝘬. Bajunya beludru berwarna hijau dengan lambang keraton Djipang, kelopak bunga matahari berwarna merah dengan kombinasi warna kuning. Ia memakai 𝘫𝘢𝘯𝘶𝘳 𝘳𝘦𝘯𝘥𝘢 𝘣𝘢𝘯𝘨𝘬𝘰𝘭 bersulam emas, kerisnya bersarung dengan cara 𝘸𝘢𝘯𝘨𝘴𝘶𝘭. Tangkainya berhiaskan emas dan kainnya 𝘵𝘢𝘮𝘣𝘢𝘭𝘢𝘯𝘰𝘮𝘢𝘯. Aura suami istri itu tidak kalah dengan Adipati Tuban.
"Wahai pimpinan prajurit, kerabat keraton dan seluruh yang hadir. Hari ini aku mengadakan 𝘱𝘪𝘴𝘰𝘸𝘢𝘯𝘢𝘯 untuk mengumumkan bahwa sejak hari ini keraton Tuban dan Djipang bersaudara. Untuk mengikat tali persaudaraan itu, maka aku dan Kang Mas Pangeran Arya Mataram telah menjodohkan keponakan kami, Raden Kuning Wirayudha Tunggul Ulung dengan Putri Wuwu Retno Wulan. Pernikahan mereka akan dilangsungkan segera setelah Raden Kuning menyelesaikan tugasnya sebagai prajurit Djipang di Malaka. 𝘗𝘪𝘴𝘰𝘸𝘢𝘯𝘢𝘯 ini juga dihadiri dan direstui oleh sesepuh Tuban Eyang Kyai Raden Sahid." Suara Adipati Tuban Raden Haryo Balewot mentereng.
Tepuk tangan membahana di 𝘱𝘢𝘴𝘦𝘣𝘢𝘯. Terdengar suara riuh rendah dari para peserta 𝘱𝘪𝘴𝘰𝘸𝘢𝘯𝘢𝘯. Umumnya mereka memuji paras Raden Kuning yang gagah dan tampan. Ada juga diantara mereka yang memuji Pangeran Arya Mataram dan istrinya Mimi Aisyah Wulandari. Gamelan berbunyi dan melantunkan 𝘣𝘢𝘳𝘶𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘭𝘢 𝘨𝘢𝘯𝘫𝘶𝘳. Suasana 𝘱𝘪𝘴𝘰𝘸𝘢𝘯𝘢𝘯 berubah suka cita, seluruh yang hadir bergembira. Hanya petinggi keraton Tuban saja yang mengerti jika keputusan menjodohkan Raden Kuning dan Putri Wuwu itu adalah keputusan bijaksana yang diambil oleh Raden Haryo Balewot untuk menolak secara halus perintah Adipati Pajang.
Raden Haryo Balewot kemudian memerintahkan membagi suka cita kepada kawula Tuban. Di alun-alun Kota Tuban mendadak digelar pesta rakyat dengan nanggap dalang kondang. Seratus prajurit dikerahkan membantu menata wayang di 𝘱𝘢𝘳𝘪𝘯𝘨𝘨𝘪𝘵𝘢𝘯. Penabuh 𝘨𝘦𝘯𝘥𝘦𝘳, 𝘬𝘦𝘮𝘱𝘶𝘭 dan 𝘬𝘦𝘯𝘥𝘢𝘯𝘨 dimainkan oleh prajurit Tuban. Lakonnya 𝘱𝘪𝘬𝘶𝘬𝘶𝘩𝘢𝘯 dengan dalang kondang Ki Saratebu. Malam itu, rakyat Tuban larut dalam suka cita merayakan pertunangan Raden Kuning dan Putri Wuwu.
Bujang Jawa dan Punggawa Tuan minta restu kepada junjungan mereka, Pangeran Arya Mataram. Mereka berniat kembali ke kapal Jung. Titah pangeran agar mereka membawa kapal itu berlayar ke perairan Tuban. Sementara, 𝘱𝘪𝘴𝘰𝘸𝘢𝘯𝘢𝘯 berlangsung, dua prajurit khusus andalan Djipang itu sudah mendayung perahunya menuju tempat kapal Jung bersandar.
Malam meninggi, Pangeran Arya Mataram dan istrinya minta petunjuk dari Eyang Kyai. Keduanya kemudian menyambang pesanggrahan 𝘒𝘢𝘸𝘦𝘥𝘢𝘳. Eyang Kyai mengajarinya ilmu 𝘸𝘪𝘳𝘢𝘺𝘢𝘵. Eyang Kyai mengajarkan ilmu tasawuf dan memberikan wejangan tentang syariat, tarikat, hakikat dan makrifat.
"Mantaplah dengan iman, Islam dan ihsan. Cintai Tuhan dengan terus istiqomah dan berprilaku prihatin. Beribadah seakan-akan engkau melihat Tuhan dan jika engkau tidak bisa melakukannya, ingatlah bahwa Tuhan melihat kita!" Demikian Eyang Kyai memberi wejangan.
Raden Kuning yang diminta menginap di komplek keraton Tuban, dini hari itu, gelisah. Ia tidak bisa rehat meski sejenak. Perasaannya tidak enak. Terbayang kerabatnya yang kini berada di kapal Jung. Raden Kuning kemudian menulis pesan bahwa ia pergi menyelidik ke tempat kapal Jung bersandar. Ditulisnya ia mendapat firasat buruk.
Dengan cepat Raden Kuning berlari menuju pelabuhan Tuban. Ia menyewa perahu milik nelayan dan segera berlayar menyusul Bujang Jawa dan Punggawa Tuan yang telah lebih dulu pulang.
Air laut sedang pasang, sehingga memudahkan perjalanan menuju kapal Jung bersandar. Pagi menjelang, perahu yang ditumpangi Raden Kuning telah sampai. Anehnya tidak ada yang menyambut kedatangannya. Padahal Raden Kuning telah menyapa dengan teriakan.
Semakin dekat ia dengan kapal Jung, terdengar suara pertarungan. Bujang Jawa dan Punggawa Tuan dilihatnya tengah dikeroyok oleh belasan orang berpakaian hitam. Raden Kuning memutuskan terlebih dulu mengecek keadaan di sekitar kapal.
Betapa terkejutnya ia saat menemukan seluruh penumpang kapal ternyata telah ditahan dalam keadaan pingsan. Mereka kini tertawan musuh. Dengan mengendap-endap, ia menyisir keadaan di sekitar kapal. Dalam hitungannya hanya ada sekitar tiga puluh orang berpakaian hitam yang berada di atas kapal Jung. Di dekat kapal tertambat kapal layar berkapasitas seratus orang. Di dalamnya ada puluhan orang berseragam hitam. Raden Kuning segera mengatur rencana untuk terlebih dahulu membebaskan dan mengobati kerabatnya yang kini tertawan.
Ia mengempos tubuhnya sehingga dengan enteng telah hinggap di geladak kapal. Ruang tempat lawan menawan sandera itu ada di ruang atas. Raden Kuning segera melumpuhkan penjaga berseragam hitam yang berjumlah sepuluh orang. Dengan sekali totok, mereka terkulai lemas. Ia segera bergegas memeriksa tawanan.
"Aih... mereka terkena racun asap." Dilihatnya Punggawa Kedum juga masih dalam keadaan pingsan. Andaikan punggawa Djipang itu tidak diracuni, pastilah banyak pihak musuh yang sudah dihajarnya. Raden Kuning menyalurkan energi tenaganya. Tetapi meskipun sudah mengalirkan tenaga dalamnya yang kini telah meningkat tujuh kali lipat, orang yang diobatinya masih belum juga siuman.
"Kyai Layon dapat mengobati orang yang terkena racun!" Tiba-tiba Raden Kuning seperti mendapat petunjuk. Segera diloloskan kerisnya dan ditempelkan gagang keris berbentuk ular kobra itu ke mulut dan hidung Punggawa Kedum.
"Hoaaak!" Punggawa Kedum muntah dan kejang-kejang. Raden Kuning panik. Adakah yang salah dengan pengobatannya? Ataukah keris Kyai Layon kembali meminta korban jiwa?
(Bersambung)