Di aula keraton Tuban kini telah hadir sepasang suami istri dari keraton Djipang. Mereka berdua adalah Pangeran Arya Mataram dengan istrinya Mimi Aisyah. Kehadiran penerus tahta keraton Djipang itu mengejutkan semua yang hadir. Terlebih acara pertunangan itu adalah acara terbuka yang dihadiri oleh banyak orang.
"Selamat malam Adinda Adipati Tuban dan semua kerabat serta petinggi keraton Tuban. Izinkan kami ikut merayakan kegembiraan di malam hari ini. Terimalah salam hormat kami, sepasang suami istri buronan kadipaten Pajang ini." Pangeran Arya Mataram menjura tanda penghormatan.
"Ho ho.... Lengkap sudah kegembiraan aku malam ini. Kakang Arya Mataram dan Mbakyu Kanjeng Mimi Aisyah ikut merestui perjodohan kalian. Raden Kuning dan Putri Wulan cepat segera bersimpuh minta restu." Raden Haryo Balewot tertawa senang seraya membalas penghormatan itu dengan menjurakan tangannya ke depan.
Suasana yang sebelumnya sempat menegang itu kembali cair ketika kedua kakak beradik tersebut saling berpelukan. Kegembiraan terlihat di wajah Mimi Aisyah. Putri keturunan Tionghoa itu sangat senang keponakannya Raden Kuning nantinya akan mempererat hubungan Grobogan, Djipang dan Tuban. Pangeran Arya Mataram dan istrinya kemudian menghampiri Eyang Kyai dan mencium tangannya tanda takzimnya mereka dengan manusia panutan kawula itu.
"Terimalah salam hormat kami, Eyang Kyai. Tak kusangka kami berjodoh bisa bertemu denganmu malam ini. Semoga rahmat dan taufik-Nya selalu tercurah untuk kita semua," ujar Pangeran Arya Mataram.
Eyang Kyai kemudian mengelus kepala Pangeran Arya Mataram seraya berbisik. "Engkau dan keturunanmu memang ditakdirkan untuk jauh dari Pulau Jawa. Ikhlaskan hati kalian, anggap ini sudah ketetapan dari Allah!"
Suasana pertunangan Raden Kuning dan Putri Retno Wulan dilanjutkan dengan santap malam bersama. Suami istri dari keraton Djipang itu duduk bersebelahan dengan Adipati Tuban dan istrinya. Keduanya terus berbincang dalam suasana yang akrab dan menggembirakan. Sementara itu, raut wajah Eyang Kyai seperti menunggu sesuatu.
Benar saja suasana bahagia itu tidak berlangsung lama. Belum selesai semua tamu undangan menyantap hidangan, tiba-tiba terdengar derap suara ratusan kuda. Suara ringkikan kuda itu kemudian berhenti tepat di depan keraton Tuban yang hanya dijaga oleh sedikit prajurit.
"Sampaikan kepada junjungan kalian Raden Haryo Balewot, kami utusan dari Kadipaten Tuban ingin menyelesaikan tugas kami menangkap Pangeran Arya Mataram hidup atau mati!" Orang yang bersuara itu berpakaian seperti rakyat biasa.
Dengan tergopoh-gopoh penjaga gerbang keraton melaporkan ke prajurit jaga dalam dan tak lama pesan itu sampai ke Adipati Tuban.
"Ampun gusti, di depan ada sekitar dua ratus prajurit bayaran pimpinan Wong Segara. Tampak bersama mereka beberapa pendekar pilih tanding. Kedatangan mereka adalah untuk menangkap Pangeran Arya Mataram hidup atau mati!"
Laporan prajurit jaga itu bagaikan petir di siang bolong. Sontak Pangeran Sekar Tanjung yang berusia muda langsung tersulut emosinya. Ia maju ke depan meminta izin kepada ayahnya untuk membereskan urusan di luar keraton.
"Kurang ajar orang-orang bayaran itu. Mereka tidak lagi memandang keraton Tuban. Berani-beraninya mereka berlagak di depanku. Maafkan aku Yang Mulia, biar aku saja yang membungkam mulut besar mereka!" Pangeran Sekar Tanjung bersiap keluar. Namun tiba-tiba Pangeran Arya Mataram buka suara.
"Aku tidak mau merepotkan kalian. Kedatangan orang-orang bayaran itu adalah untuk menangkap aku dan keluarga. Biarkan kami yang membereskan sendiri urusan di luar." Pangeran Arya Mataram bersiap melangkah keluar keraton.
"Tunggu kami Yang Mulia!" Raden Kuning yang baru saja melangsungkan pertunangan juga melangkah keluar keraton. Tunangannya Putri Wuwu juga ikut di belakangnya. Bujang Jawa dan Punggawa Tuan langsung melompat ke depan mengawal Pangeran Arya Mataram dan istrinya.
Raden Haryo Balewot dan petinggi keraton tidak bisa melarang tamunya untuk membereskan urusan mereka sendiri. Pajang yang tak enak hati dengan kadipaten Tuban pastilah menyewa orang-orang pilih tanding untuk mengejar kerabat keraton Djipang yang tengah dalam pelarian. Mereka semua yang tadinya berada di ruangan aula keraton Tuban akhirnya ikut melangkah keluar keraton untuk melihat lebih dekat siapa saja yang datang menantang kerabat keraton Djipang itu.
"Aku Wong Segara yang tidak punya sopan santun ini nyuwun pamit kepada Adipati Tuban Raden Haryo Balewot dan Eyang Kyai untuk membereskan urusan antara Pajang dan Djipang!"
"Kalian tidak boleh semau udelmu di wilayah Tuban. Jika engkau tidak merubah sikapmu itu, aku akan minta Yang Mulia Adipati Tuban mengerahkan ribuan pasukan kami membasmi lalat-lalat kecil prajurit bayaran yang jumawa seperti kalian!" Pangeran Sekar Tanjung terlihat sudah naik pitam.
"Mohon maaf Eyang Kyai. Keputusanmu akan menjadi fatwa yang akan kami turuti. Apakah salah jika aku yang bodoh ini meminta Tuban untuk tidak ikut campur urusan kami sesama prajurit yang ingin bertarung satu lawan satu." Wong Segara rupanya amat cerdik. Ia minta restu Eyang Kyai sebagai sesama ahli silat untuk bertarung adu kesaktian tanpa melibatkan prajurit. Raden Haryo Balewot sadar jika ia memerangi prajurit bayaran ini, tentunya namanya akan rusak.
"Silakan kalian menyelesaikan urusan masing-masing dengan adu kepandaian. Tuban tidak akan ikut campur selama hal itu diselesaikan melalui adu tanding ilmu kanuragan!" Eyang Kyai akhirnya menyetujui tantangan Wong Segara.
"Aku akan mengajukan seorang jago kami untuk adu tanding dengan pihakmu, Arya Mataram. Jika jagoan kami kalah, maka kami akan segera angkat kaki dari sini. Tapi jika jagoanmu yang terbunuh, maka kami akan menantang kalian satu persatu sampai kalian semua lenyap dari muka bumi ini," ujar Wong Segara menantang.
"Biar aku saja yang menghadapi orang sombong ini. Jangan salahkan diriku jika engkau yang lebih dulu lenyap dari muka bumi ini. Aku mohon izin darimu Paman." Raden Kuning langsung maju ke depan setelah dilihatnya Pangeran Arya Mataram menganggukan kepalanya tanda setuju.
Raden Kuning langsung mempersiapkan jurus saktinya Sangkan Paraning Dumadi. Ia tidak mau main-main dengan Wong Segara yang langsung menunjuk dirinya sendiri untuk melawan Raden Kuning. Kuda-kuda jurus pertama Sangkan Paraning Dumadi disiapkan. Wong Segara yang bersenjata gada besi langsung menerjang ke arah lawannya.
Raden Kuning yang menggunakan jurus pertama yang bernama "Bene Muyen" mantap menyambut serangan lawan. Gerakannya tak beraturan memukul dan menendang secara bersamaan ke arah lawan. Aneh, hasilnya semua serangan Wong Segara mentah. Meskipun terlihat asal-asalan gerakan kaki dan tangan Raden Kuning berhasil mematahkan jurus lawannya. Ia kini bahkan mengambil inisiatif untuk menyerang.
"Ah..., kau curang Wong Segara!" Raden Kuning berteriak. Pukulan gada lawannya ternyata hanya siasat saja. Yang menyerang Raden Kuning bukan Wong Segara yang maju ke depan, tetapi seorang kakek berjenggot putih dari sampingnya. Kakek itu melempar bungkusan berisi serbuk berwarna putih ke arah kepala Raden Kuning. Tak sempat menghindar senjata rahasia itu, Raden Kuning memukul bungkusan itu. Akibatnya, bungkusan itu pecah dan bertaburan ke arah wajah Raden Kuning dan sebagian mengenai matanya. Dahsyat sekali senjata rahasia itu, Raden Kuning penglihatannya langsung terganggu. Matanya terasa pedih sehingga ia tidak lagi konsentrasi memainkan jurusnya.
"Hahahaha.... Mampuslah engkau prajurit tengik!" Wong Segara yang sudah melompat mundur menjauhi arena pertarungan sempat berteriak memaki Raden Kuning.
(Bersambung)