Raden Kuning sontak terkejut. Pernyataan Raden Haryo Balewot yang langsung tanpa tedeng aling-aling itu mengejutkannya. Dari sudut matanya, Raden Kuning sempat melirik ke arah Putri Wuwu. Nampak wajah wanita cantik itu bersemu merah. Ia tidak pernah menyangka jika urusan keraton Djipang dan Tuban ini dapat menyasar ke arah perjodohan dirinya dan putri yang cantik jelita ini.
"Aih, mohon ampun Yang Mulia. Tak sanggup hamba menolak anugerah sebesar ini darimu. Tetapi, urusan hidup dan mati junjungan hamba Pangeran Arya Mataram belum selesai. Bagaimana mungkin berani membicarakan tentang pernikahan. Itu pun pula, belum tentu Putri Retno Wulan setuju."
Raden Kuning tertunduk. Dadanya berdebar kencang. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Debaran dadanya semakin bertambah ketika pandagannya beradu dengan Putri Wuwu. Menurut perkiraannya, Putri Wuwu juga mengalami hal serupa.
"Tentang perjodohan kalian ini, anggaplah ini sebuah titah dari orang tua sendiri yang wajib dilaksanakan. Terlebih aku ini bukan orang lain. Raden Kuning, mengingat ibumu adalah saudara angkatku, maka pernikahan kalian akan membuat hubungan kekerabatan kita lebih dekat." Mimik wajah Raden Haryo Balewot berubah serius. Selanjutnya ia melanjutkan bicara. Nada suaranya lebih berat jika dibandingkan sebelumnya.
"Urusan antara Pajang dan Djipang ini memang membuatku menjadi serba salah. Untuk menolak perintah Pajang, aku harus memiliki alasan yang kuat. Cara satu-satunya menurutku adalah menikahkan kalian dengan segera."
Putri Retno Wulan yang semula hanya menunduk, kini mengangkat wajahnya dan memperlihatkan wajah kesal kepada Raden Haryo Balewot. Meskipun wajahnya bersemu merah pertanda ia tidak keberatan dengan permintaan pamannya itu, tetapi wataknya yang keras membuat ia berani bicara.
"Ah, Paman. Bagaimana engkau dapat memutuskan hal yang penting dalam hidupku tanpa aku terlebih dulu ditanya. Aku belum berpikir untuk menikah." Wuwu menutup wajahnya dan berlari keluar ruangan.
"Aduh, anak perempuan zaman sekarang, urusan jodoh pun masih ditentangnya. Biar saja ia pergi, itu artinya ia setuju dengan perjodohan ini, hahahaha....!" Raden Haryo Balewot tertawa senang. "Lega sudah hatiku sekarang. Ayo cepat, keponakanku Raden Kuning. Cepat tentukan hari baiknya!"
Raden Kuning terdiam. Nampak sekali perasaan gundah di raut wajahnya. Keningnya berkerut pertanda ia sedang berpikir keras. Lalu ia kembali menjura memberikan hormat kepada Raden Haryo Balewot.
"Jika itu sudah menjadi perintah Yang Mulia, bagaimana mungkin keponakanmu ini berani membantahnya. Tetapi harap dipertimbangkan jika dalam waktu dekat Tuban menggelar pesta perkawinan, tentu saja semua orang penting di kerajaan Demak termasuk dari Adipati Pajang Joko Tingkir yang ambisius itu dan antek-anteknya akan datang ke Tuban. Jika hal ini terjadi, maka sama saja aku membuat pelarian Pangeran Arya Mataram kandas. Sekali lagi mohon kebijaksanaan Yang Mulia agar sudi menunda hari baik itu sampai saya menyelesaikan tugas sebagai prajurit Djipang mengantar Pamanda Arya Mataram dan keluarganya ke tempat pengungsian."
Si Tua Buta Agam yang sedari tadi menjadi penonton atas perundingan Tuban dan Djipang tadi, tiba-tiba mengangkat tangannya. Ia yang tadinya berdiam diri, akhirnya buka suara.
"Mohon maaf Raden Haryo Balewot. Aku melihat banyak rintangan yang akan dilalui oleh Raden Kuning dalam menunaikan tugasnya. Menurut pandangan orang tua buta ini, lebih baik mereka berdua diikat terlebih dahulu dengan pertunangan. Biarkan Raden Kuning selesai mengawal Pangeran Arya Mataram. Untuk menjaga hubungan antara Tuban dan Pajang, kita harus bersiasat."
"Apa usulanmu, Paduka?" Bujang Jawa yang telah berangsur sembuh dari lukanya, juga akhirnya buka suara. Baginya sebagai prajurit, keselamatan anggota keraton Djipang adalah hal yang utama.
Si Tua Buta akhirnya mengutarakan rencananya. Sebuah strategi yang cemerlang dan dapat menjadi jalan keluar bagi Raden Haryo Balewot. Pangeran Sekar Tanjung dan Soka Lulung pun mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda mereka berdua sepakat.
"Baiklah jika begitu. Kita jalankan strategi sebagaimana saranmu, Tua Buta. Lalu, ada satu pertanyaan lagi, apakah setelah aku menerima keris Kyai Layon, keris ini bisa aku musnahkan sebagai cara untuk menghindari celaka?" Tanya Raden Haryo Balewot.
"Keris Kyai Layon ini tidak boleh dimusnahkan atau dibuat dirusak tidak berguna karena dia memiliki takdir. Untuk menghindari takdirnya, maka saran dariku biarkan keris Kyai Layon ini untuk sementara dipegang oleh Raden Kuning. Pergunakan keris ini untuk melindungi pelarian Pangeran Arya Mataram. Dan satu lagi, menurut pandanganku, Putri Retno Wulan biarkan ia ikut rombongan menjadi petunjuk jalan suatu ketika jika Tuban hendak berkunjung ke sisa keluarga keraton Djipang." Orang tua buta itu lalu menghaturkan sembah, pertanda takzimnya kepada semua yang hadir.
"Baiklah, jika begitu. Malam ini kita adakan jamuan istimewa dalam rangka pertunangan Raden Wirayudha Tunggul Ulung dengan Putri Retno Wulan. Pangeran Sekar Tanjung, segeralah engkau mempersiapkan segala sesuatunya, ajaklah adikmu Wulan untuk pulang ke keraton agar ia juga bisa bersiap diri. Aku akan menghadap Eyang Kyai Raden Sahid dulu di peraduannya untuk memberitahu khabar baik ini." Suara pria berkumis lebat itu menutup perundingan. Meskipun akibat keputusannya ini dapat saja berbuah perpecahan dengan Pajang, tetapi keputusannya telah bulat. Untuk memantapkan keputusannya itu, ia akan meminta restu dari Eyang Kyai.
(Bersambung)