Chapter 18 - Pangeran Sekar Tanjung

Keterangan yang disampaikan tanpa tedeng aling-aling itu langsung membuat kaget. Pangeran Sekar Tanjung sontak memperlihatkan wajah marah, tetapi Pangeran Haryo Balewot langsung menengahi ketegangan.

"Aku mendengar khabar jika engkau memiliki wawasan ke depan saudaraku. Tentu saja perkataanmu tadi telah engkau pikirkan masak-masak. Jika memang takdir anak cucuku terikat dengan keris itu, maka aku mohon petunjukmu agar bisa mendapatkan jalan tengah dari takdir itu." Perkataan penguasa Tuban yang bijak itu langsung meredakan ketegangan.

"Baik, Yang Mulia. Aku akan teruskan cerita ini. Takdir yang mengantarkan Kyai Gede Papringan atau Raden Dandang Wacana sebagai pendiri Tuban tidak memiliki keturunan laki-laki. Penggantinya adalah Raden Haryo Ronggolawe cucu laki-lakinya buah pernikahan antara putrinya Nyai Ageng Lanang Jaya dengan Arya Wiraraja. Sejarah membuktikan bahwa Ronggolawe tewas dalam pertempuran akibat konflik penunjukkan Nambi menjadi Patih Kerajaan Majapahit. Sungai Tambak Beras menjadi saksi tewasnya Adipati Tuban kedua itu." Si Tua Buta kembali meneruskan kisahnya.

"Lalu apa hubungannya dengan Keris Kyai Layon dengan cerita engkau ini orang tua buta?" Pangeran Sekar Tanjung menyela bicara. Nadanya masih terlihat kesal. Nampak sekali bahwa ia tak sungkan menunjukkan kemarahannya. Jika saja ayahnya tidak terlalu menilai tinggi kepandaian orang tua buta itu, pastilah Pangeran Sekar Tanjung yang terkenal suka ilmu kanuragan itu sudah mengajak beradu ilmu menjajal kepandaiannya.

"Aku belum selesai bicara, Pangeran. Sejarah membuktikan bahwa setiap tahta Adipati Tuban yang diwariskan kepada garis keturunan perempuan, maka petaka akan terjadi. Ronggolawe adalah cucu laki-laki dari pendiri kadipaten ini. Artinya Kyai Gede Papringan sudah memiliki pandangan tentang hal ini. Itulah sebabnya ia tidak menunjuk menantunya atau putri sulungnya menjadi Adipati Tuban. Namun kendati begitu, darah Ronggolawe tetap menjadi tebusannya."

Orang tua buta itu kembali menghela nafasnya. Kali ini wajahnya lebih tegang lagi. Di saat bersamaan, datanglah abdi dalem membawakan minum hangat dan penganan. Bekel Soka Lulung mempersilakan tamunya untuk rehat menyantap penganan yang telah disajikan. Suasana malam yang telah larut itu terhangatkan oleh minuman khas Tuban, Wedang Jahe. Diawali dengan menarik nafasnya dalam-dalam, orang tua sakti itu melanjutkan ceritanya.

"Peristiwa serupa terjadi ketika anak sulung Raden Harya Dikara Adipati Tuban juga berjenis kelamin perempuan bernama Raden Ayu Haryo Tedjo. Seharusnya tahta Tuban diberikan kepada anak lelaki kedua yang bernama Kyai Ageng Ngraseh. Tetapi saat itu justru menantu Raden Harya Dikara bernama Syekh Abdurrahman putra dari Syekh Jalaludin asal Gresik yang diangkat sebagai Adipati Tuban dan berganti nama menjadi Raden Haryo Tedjo. Mereka inilah yang melahirkan Raden Sahur ayah dari Kanjeng Sunan Kalijaga."

Raden Haryo Balewot yang menyimak cerita dari si Tua Buta ini langsung terbayang kisah tentang Islamnya keraton Tuban. Orang yang membawa syiar agama Islam itu adalah kakek buyutnya, Adipati Tuban yang ketujuh Syekh Abdurrahman atau Raden Haryo Tedjo. Ia diangkat sebagai menantu dan diberikan singgasana keraton Tuban karena jasanya mengajarkan agama Islam di Tuban yang kemudian akan terus dikenang sebagai daerah asal wali-wali di bumi Nusantara. Lamunannya itu terhenti ketika didengarnya si Tua Buta kembali berkisah.

"Pengangkatan kakek Sunan Kalijaga itu karena ia adalah orang yang berhasil mengislamkan keraton Tuban. Di masa ia akan menutup matanya, Raden Harya Dikara menyadari kesalahannya dan mengamanatkan agar tahta keraton Tuban diberikan kepada garis keturunan putra keduanya Kyai Ageng Ngraseh yang diberikan nama sama. Untuk menolak takdir buruk, di zaman pemerintahan Raden Sahur atau Tumenggung Arya Wilaktika, ia menikahkan putrinya dengan Kyai Ageng Ngraseh muda dan ia diangkat menjadi Adipati Tuban selanjutnya. Kendati kekeliruan atas hak tahta Tuban itu telah diperbaiki dengan mengangkat keturunan Kyai Ageng Ngraseh sebagai Adipati Tuban, namun tak dapat dihindari sejarah Ronggolawe akan berulang. Menurut hitunganku, akan tumpah darah keraton Tuban di masa setelah kepemimpinanmu Kanjeng Pangeran Haryo Balewot!"

Penjelasan si Tua Buta sangat lengkap disertai dengan fakta sejarah. Raden Haryo Balewot mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju. Selanjutnya ia bertanya. "Saudaraku Paduka Tua Buta Agam, engkau belum menjawab pertanyaan anakku Pangeran Sekar Tanjung. Apakah hubungan ceritamu dengan Keris Kyai Layon?"

Si Tua Buta Agam lalu menganggukkan kepalanya. Diambilnya keris Kyai Layon dan diloloskan dari warangkanya. Keris itu lalu didirikan dengan bersandar di warangka yang berwarna cokelat tua itu.

"Keris ini akan berjodoh dengan salah satu keturunanmu, laki-laki. Ia akan menjadi jalan bagi pemiliknya untuk mendapatkan tahta Kadipaten Tuban. Akan sangat bahaya jika ia dimiliki oleh orang lain karena keris ini akan menjadi jalan bagi orang itu untuk menjadi raja. Oleh karena itu, keris Kyai Layon ini harus dikuasai olehmu dan seterusnya diwarisi oleh penerusmu, Yang Mulia. Hanya dengan cara itu engkau dapat memastikan bahwa keris ini tidak menumpahkan darah keturunanmu."

Bujang Jawa yang sedari hanya berdiam diri saja, kemudian terusik untuk juga mengajukan pertanyaan. Awalnya ia ragu untuk ikut campur dalam cerita itu, namun karena orang tua buta itu kerap kali mengatakan ia memiliki takdir dengan keris Kyai Layon, maka Bujang Jawa akhirnya buka suara.

"Jika menyimak ceritamu, maka aku tidak memiliki kepentingan apa-apa dengan Keris Kyai Layon, Paduka Agam. Aku mohon undur diri saja karena tak pantas rasanya aku mendengarkan kisah ini. Aku hanya orang luar," pernyataan Bujang Jawa itu seolah meminta persetujuan mereka yang hadir di sana agar ia bersama Punggawa Tuan bisa pamit. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Belum lagi Raden Kuning masih menghilang, belum ada khabar keberadaannya.

"Kisahku tadi baru kisah penangkal takdir, Bujang Jawa. Itu versi baiknya. Justru hitunganku, takdir itu tetap akan terjadi di masa setelah Raden Haryo Balewot mangkat, atau di masa depan. Aku melihat peranmu di sini yaitu untuk memastikan keturunan Raden Haryo Balewot yang menjadi pesakitan bisa meneruskan hidupnya. Jika saling bunuh karena tahta Tuban tetap terjadi, maka garis keturunan Raden Haryo Balewot yang kalah akan lari ke tempat pelarianmu di luar Pulau Jawa. Mereka akan ditakdirkan bertemu denganmu dan dengan junjunganmu, Pangeran Arya Mataram." Lagi-lagi pernyataan si Tua Buta mengejutkan Raden Haryo Balewot. Sebelum ia sempat berkomentar, orang buta itu melanjutkan ceritanya.

"Aku tahu jika saat ini Tuban bersekutu dengan Pajang untuk menggagalkan rencana pelarian bangsawan dari keraton Djipang. Dan engkau, meskipun berstatus telik sandi Pajang, aku tahu engkau adalah orang kepercayaan Pangeran Arya Mataram. Kehadiran dirimu di Tuban ini adalah untuk memastikan bahwa jalur perjalanan air dari Kapal Jung yang mengangkut keluarga Pangeran Arya Mataram bisa lewat dengan selamat di kawasan perairan Tuban!"

Sontak penjelasan dari si Tua Buta itu membuat kaget Raden Haryo Balewot. Mendengar penjelasan itu, Pangeran Sekar Tanjung langsung melolos kerisnya dan bersiap menyerang Bujang Jawa dan Punggawa Tuan. Namun sebelum pertarungan kembali pecah, si Tua Buta kembali bersuara. Kali ini suaranya cukup keras sehingga baku hantam adu kepandaian itu tertahan.

"Sarungkan kerismu, Pangeran Sekar Tanjung. Aku ingin kalian mencari kata sepakat lewat perundingan, bukan lewat pertempuran. Raden Haryo Balewot engkau perintahkan anakmu untuk bersabar!"

(Bersambung)