Punggawa Tuan langsung turun ke arena. Sementara si Tua Buta memeriksa keadaan Bujang Jawa. Pukulan Pangeran Sekar Tanjung membuat Bujang Jawa terluka dalam. Si Tua Buta segera menempelkan kedua tangannya di punggung telik sandi Djipang yang terluka itu. Tak lama wajahnya yang putih memucat segera terlihat segar kembali. Luar biasa ilmu pengobatan orang tua buta yang tak jelas asal-usulnya itu.
Sementara, kendati berhasil melukai lawannya, Pangeran Sekar Tanjung harus kehilangan setengah tenaga dalamnya. Ia langsung bersiap menghadapi serangan Punggawa Tuan.
"Aku tak ingin mengambil keuntungan dari keadaanmu, Pangeran. Aku beri kesempatan engkau untuk menghimpun tenaga terlebih dahulu."
Meskipun wajahnya cukup angker, Punggawa Tuan ternyata adalah laki-laki berjiwa ksatria. Raden Haryo Balewot diam-diam terkesima melihat keluhuran budi prajurit Djipang itu.
Suara hiruk-pikuk akibat beradu ilmunya orang-orang pandai itu terdengar sampai ke petilasan. Putri Wuwu yang menjaga tubuh Raden Kuning tak bisa menutup indera pendengarannya sehingga ia kehilangan fokus.
Di saat bersamaan Raden Kuning yang tengah berjuang melewati fase kedua, telah dalam keadaan mati suri. Entah karena terpicu suara gaduh atau alasan lainnya, hawa panas yang tadinya dihentikan melalui penutupan aliran darah, kini kembali bergolak mencari jalan keluar. Tubuh kaku Raden Kuning kemudian bergerak merespon hawa tenaga panas itu, ia sadarkan diri.
"Aaah..., dimana aku sekarang. Oh ternyata kau masih disini Diajeng." Panggilan itu baru didengar oleh Putri Wuwu keluar dari mulut pria perkasa ini. Tak terasa wajahnya bersemu merah. Kentara sekali jika ia senang dengan panggilan itu.
"Alhamdulillah, Kang Mas. Engkau sudah siuman. Apakah Eyangku menyakitimu?"
"Tidak, Wuwu. Eyang Kyai justru memberikan kepadaku petunjuk untuk menyempurnakan ilmu Sangkan Paraning Dumadi. Maafkan aku jika sebelumnya mengaku orang yang tak memiliki kepandaian."
Begitulah uniknya hubungan pria dan wanita, kendati nyata-nyata telah dibohongi, tetapi Putri Retno Wulan tampak tidak terlihat kesal. Sadarnya Raden Kuning dari siumannya telah menutup pintu marahnya terhadap laki-laki yang baru dikenalnya ini.
"Aih, Kakang teganya membohongi anak kecil. Atas perlakuanmu itu, engkau berutang maaf kepadaku. Nanti suatu saat, pasti aku tagih!"
Raden Kuning hanya menanggapi pernyataan Putri Wuwu dengan tersenyum. Ia sadar jika saat ini dirinya harus berhasil memecahkan petunjuk untuk melewati fase ketiga. Jika ia gagal di fase ini, maka seluruh kepandaiannya akan hilang.
"Maafkan Kakang, Wuwu. Tetapi saat ini tenaga panas dalam tubuhku belum bisa aku kendalikan. Jika aku tak bisa memecahkan petunjuk yang ketiga, maka aku akan kehilangan kepandaian. Jadi, perkenankan aku untuk berdzikir mengucap asma Allah agar diberikan petunjuk untuk dapat melewati fase terberat ini."
Putri Wuwu sadar jika ia tak boleh menggagalkan fokus Raden Kuning. Tanpa bicara, ia kemudian beringsut pergi. Niatnya adalah memeriksa suara-suara gaduh seperti orang mengadu ilmu yang tadi sayup-sayup didengarnya.
Setelah Putri Wuwu pergi, Raden Kuning tenggelam dalam doanya agar ia diberi petunjuk oleh gusti Allah. Dalam dzikirnya menyebut asma Allah itu, Raden Kuning tidak memikirkan jawaban atas keadaannya kini. Dalam benaknya ia hanya menyerahkan diri kepada Allah agar diberikan petunjuk untuk dapat melewati keadaan sulitnya saat ini. Sependidih air, tiba-tiba dalam pikirannya melintas kidung Lir i lir sebagaimana ditembangkan Eyang Kyai untuk menjadi petunjuk bagi Raden Kuning.
"𝘓𝘪𝘳 𝘪𝘭𝘪𝘳 𝘭𝘪𝘳 𝘪𝘭𝘪𝘳 𝘵𝘢𝘯𝘥𝘶𝘳𝘦 𝘸𝘰𝘯𝘨 𝘴𝘶𝘮𝘪𝘭𝘪𝘳
𝘛𝘢𝘬 𝘪𝘫𝘰 𝘳𝘰𝘺𝘰 𝘳𝘰𝘺𝘰
𝘛𝘢𝘬 𝘴𝘦𝘯𝘨𝘨𝘶𝘩 𝘱𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯𝘵𝘦𝘯 𝘢𝘯𝘺𝘢𝘳
𝘊𝘢𝘩 𝘢𝘯𝘨𝘰𝘯 𝘤𝘢𝘩 𝘢𝘯𝘨𝘰𝘯 𝘱𝘦𝘯𝘦𝘬𝘯𝘢 𝘣𝘭𝘪𝘮𝘣𝘪𝘯𝘨 𝘬𝘶𝘸𝘪
𝘓𝘶𝘯𝘺𝘶 𝘭𝘶𝘯𝘺𝘶 𝘱𝘦𝘯𝘦𝘬𝘯𝘢 𝘬𝘢𝘯𝘨𝘨𝘰 𝘮𝘣𝘢𝘴𝘶𝘩 𝘥𝘰𝘥𝘰𝘵𝘪𝘳𝘢
𝘋𝘰𝘥𝘰𝘵𝘪𝘳𝘢 𝘥𝘰𝘥𝘰𝘵𝘪𝘳𝘢 𝘬𝘶𝘮𝘪𝘯𝘵𝘪𝘳 𝘣𝘦𝘥𝘢𝘩 𝘪𝘯𝘨 𝘱𝘪𝘯𝘨𝘨𝘪𝘳 𝘋𝘰𝘯𝘥𝘰𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘫𝘳𝘶𝘮𝘢𝘵𝘢𝘯𝘢 𝘬𝘢𝘯𝘨𝘨𝘰 𝘴𝘦𝘣𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘬𝘰 𝘴𝘰𝘳𝘦
𝘔𝘶𝘮𝘱𝘶𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘳𝘦𝘮𝘣𝘶𝘭𝘢𝘯𝘦
𝘔𝘶𝘮𝘱𝘶𝘯𝘨 𝘫𝘦𝘮𝘣𝘢𝘳 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯𝘦
𝘚𝘶𝘯 𝘴𝘶𝘳𝘢𝘬𝘢 𝘴𝘶𝘳𝘢𝘬 𝘩𝘪𝘺𝘰"
Setelah tiga kali mengingat syair kidung itu, tiba-tiba Raden Kuning seolah mendapat petunjuk. Ia lalu memfokuskan pada bait-bait terakhir kidung.
𝘚𝘶𝘮𝘪𝘭𝘪𝘳, 𝘙𝘰𝘺𝘰, 𝘈𝘯𝘺𝘢𝘳, 𝘒𝘶𝘸𝘪, 𝘋𝘰𝘥𝘰𝘵𝘪𝘳𝘢, 𝘗𝘪𝘯𝘨𝘨𝘪𝘳,𝘚𝘰𝘳𝘦, 𝘙𝘦𝘮𝘣𝘶𝘭𝘢𝘯𝘦, 𝘒𝘢𝘭𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯𝘦, 𝘏𝘪𝘺𝘰.
Bait-bait kidung itu ia sederhanakan sebagaimana bentuk irisan segilima Belimbing. Kata itu menjadi petunjuk 𝘐𝘭𝘪𝘳𝘰 𝘢𝘯𝘺𝘢𝘳 𝘬𝘶𝘸𝘪 𝘳𝘦𝘭𝘢𝘯𝘦 𝘺𝘰. Raden Kuning terkejut, ujung bait kidung ternyata menjadi sebuah petunjuk. Jika diterjemahkan menurut versi Raden Kuning akan mengandung makna yang berarti "alirkan yang baru, relakan yang lama".
Raden Kuning di tengah kebimbangan. Apakah petunjuk itu mensyaratkannya untuk memutuskan tenaga dalamnya yang sama artinya memusnahkan tenaga dalam yang sebelumnya telah ia latih selama belasan tahun? Atau apakah ia keliru lagi menafsirkan petunjuk Eyang Kyai?
"Bagaimana jika aku salah tafsir?" Tak sadar Raden Kuning bergumam.
(Bersambung)