Chapter 16 - Bertukar jurus

Dahsyat sekali serangan yang dilakukan oleh tiga orang pilih tanding itu. Sebentar saja puluhan prajurit Tuban kalang kabut tak tentu arah. Batok kelapa butut berubah menjadi senjata hebat menimbulkan suara mengaung melumpuhkan para prajurit yang mengerumuninya.

Bujang Jawa bertarung tak kalah ganas. Dikeluarkan senjata andalannya yaitu tongkat kayu pendek menyerupai toya. Dengan senjata sederhananya itu, ia menotok prajurit Tuban yang berusaha melukainya. Prajurit yang terkena totokan Bujang Jawa langsung terpental dan tak mampu berdiri lagi.

Punggawa Tuan menyerang dengan tangan kosong. Bajunya yang gombrong mengibaskan angin dan berubah menjadi senjata ampuh. Belasan prajurit jatuh tersungkur terkena pukulan dan kibasan bajunya. Semakin banyak prajurit yang tersungkur, semakin banyak pula mereka yang mengepung tiga orang berkepandaian tinggi itu.

"Hai, kalian prajurit. Semua mundur. Biar aku yang menjajal kepandaian mereka!" Suara mentereng itu berasal dari suara Senopati Glagah Watu. Ia langsung merangsek menyerang Bujang Jawa yang tengah mengambil nafas. Mereka berdua langsung berkelebat tak kelihatan lagi tubuhnya. Hanya bayangan orang berkejaran di udara yang nampak di tengah malam remang bulan separuh itu.

"Aiiih, ternyata engkau murid Kanjeng Gusti Arya Penangsang. Sungguh beruntung malam ini aku mendapat kesempatan untuk menjajal ilmu saktinya." Suara Glagah Watu berubang riang. Senopati Tuban ini memang terkenal suka sekali dengan ilmu kanuragan. Bertarung dengan lawan tangguh akan membuatnya gembira. Di kala itu ratusan prajurit Tuban terus berdatangan. Mereka menonton pertarungan itu dengan seksama. Sementara si Tua Buta dan Punggawa Tuan juga sudah meloloskan diri dari kepungan prajurit Tuban, melihat jalannya pertarungan dari pinggir arena.

Senopati Glagah Watu kemudian melolos keris dari pinggangnya. Keris itu langsung berkelebatan meninggalkan cahaya samar ketika dimainkan oleh sang empunyanya. Tongkat toya Bujang Watu mendapat lawan kali ini.

"Trang," suara beradunya ujung tongkat yang berbahan baja saat berbenturan dengan ujung keris membuat semakin mencekam suasana malam.

"Bujang Jawa bertemu lawan tangguh kali ini. Dari angin pukulannya, aku sangat yakin jika senopati ini ada hubungannya dengan Sunan Muria. Dua prajurit ini kelihatannya sama-sama imbang." Si Tua Buta berbisik kepada Punggawa Tuan.

"Ya, aku juga merasa bahwa keduanya imbang. Tak kusangka jika Bujang Jawa ini pernah mendapat petunjuk Pangeran Raja Adipati Arya Penangsang yang sakti. Wajar saja jika kepandaiannya jauh berada di atasku," jawab Punggawa Tuan.

Dalam hatinya Punggawa Tuan heran, mengapa orang dengan kepandaian tinggi seperti ini hanya menjadi telik sandi. Tetapi keheranannya itu justru membuatnya mahfum sehingga Pangeran Arya Mataram pun kenal dekat dengan Bujang Jawa. Namun ia tidak sempat memikirkan kejanggalan perihal Bujang Jawa. Saat ini Punggawa Tuan khawatir dengan kedatangan banyak prajurit di tempat itu. Sementara itu pertarungan antara Glagah Watu dengan Bujang Jawa memasuki saat-saat menegangkan. Hingga akhirnya terdengar pekikan Bujang Jawa.

"Argh…..!"

Tongkat kecilnya terlepas dari tangan, sementara tubuhnya terhuyung empat langkah ke belakang. Namun nasib tak jauh berbeda dialami oleh lawannya. Senopati Glagah Watu juga terpental ke belakang enam langkah, namun kerisnya tidak ikut terlepas dari tangan. Kedua prajurit sakti itu saling tersenyum. Jelas terlihat kegembiraan di raut wajah keduanya. Memang aneh pertarungan ini. Meskipun berpotensi kehilangan nyawa, dua prajurit gagah itu tidak merasakan takut. Bujang Jawa kemudian menggenjot tubuhnya disusul oleh lawan. Mereka kembali berkelebatan saling serang menyerang. Prajurit yang menonton pertarungan nampak diliputi suasana tegang.

"Trang-trang-aduh!" Sebuah kelebatan bayangan membubarkan pertarungan. Berdiri di tengah-tengah mereka sang Pangeran Sekar Tandjung, putra mahkota kadipaten Tuban. Selanjutnya menyusul di belakangnya Bekel Soka Lulung dan beberapa pasukan pengawal pangeran.

"Kalian tidak usah bertempur lagi. Kedatangan mereka bertiga tidak merugikan Kadipaten Tuban. Kalian semua prajurit segera kembali ke barak. Mewakili Kadipaten Tuban aku mohon maaf atas kelancangan prajuritku. Atas nama kanjeng romo Pangeran Haryo Balewot aku mengajak kalian untuk singgah ke keraton Tuban, Kanjeng Romo telah menunggu kedatangan kalian." Pangeran Sekar Tanjung menjura kedua tangannya dan memberikan hormat.

"Maafkan aku terlalu lama menghadap Kanjeng Gusti Adipati Tuban. Aku tak mengira ada gerakan prajurit Tuban di bawah pimpinan langsung Kakang Glagah Watu. Beruntung telik sandi Pangeran Sekar Tanjung langsung melapor ke keraton," Soka Lulung membungkukkan tubuhnya tanda penyesalan. Bujang Jawa langsung merangkul tubuhnya dan mengajaknya berjalan beriringan.

(Bersambung)