Tak ada yang istimewa di keraton Tuban. Nampak sekali jika Adipati yang berkuasa Raden Haryo Balewot membuang sekat yang sebelumnya dibangun antara kawula dengan rajanya di masa kerajaan Majapahit. Di masa pemerintahan Syekh Abdurrahman, Keraton Tuban dipindahkan dari alun-alun Utara ke alun-alun Selatan. Tempat ibadah yang sebelumnya berada di kompleks keraton sekarang dibangun di alun-alun kota Tuban. Masjid itu menjadi tempat ibadah seluruh rakyat Tuban pemeluk agama Islam. Di kala itu hampir mayoritas rakyat Tuban telah memeluk agama Islam dari sebelumnya menganut agama Hindu. Saat ini hanya sedikit saja rakyat Tuban yang masih memeluk agama Hindu dan sebagian kecil lainnya masih menganut agama kepercayaan leluhur.
Masjid yang berdiri di alun-alun Kota Tuban itu berdiri megah dan menjadi sarana komunikasi antara rakyat dengan rajanya. Setiap sholat Jumat Adipati beserta seluruh keluarganya menunaikan sholat di sana. Sehabis sholat Jumat itulah Adipati Tuban menyerap aspirasi dari rakyatnya. Terkadang di waktu sholat fardhu Pangeran Haryo Balewot juga bersembahyang di masjid itu.
Bujang Jawa yang berbasis telik sandi seketika mencatat dalam ingatan tata letak bangunan dan arsitektur keraton Tuban. Komplek keraton Tuban hanya ditandai dengan gapura kecil tanpa pintu gerbang. Sekeliling keraton juga tidak dibangun tembok tinggi. Satu-satunya tanda yang membedakan bangunan itu adalah keraton hanyalah adanya prajurit yang berjaga di sekitar gapura. Rumah Adipati Tuban berlokasi di keraton ndalem dan diapit oleh rumah keluarga keraton. Rumahnya beratap joglo khas Jawa dan berukuran paling besar dibanding bangunan lainnya. Terdapat surau berukuran cukup besar di sana. Bujang Jawa menduga pasti surau ini adalah tempat keluarga Pangeran Haryo Balewot menunaikan ibadah sholat fardhu. Sebelum sampai ke rumah Adipati Tuban mereka melewati Pendopo yaitu sebuah ruang besar terbuka yang menjadi tempat Adipati melakukan rapat dan menerima tamu serta mengadakan kegiatan pemerintahan.
Pangeran Sekar Tanjung membawa mereka langsung menuju komplek perumahan keraton Tuban. Di antara pendopo dengan komplek keraton ndalem ada sebuah ruangan transisi yaitu ruang Pringgitan. Mereka diterima di ruang itu. Hanya sependidih air mereka menunggu, Pangeran Haryo Balewot muncul di Pringgitan dan langsung menyapa para tamunya.
"Assalamualaikum saudaraku. Selamat datang di Keraton Tuban." Suara berat Pangeran Haryo Balewot cukup bersahabat meskipun sorot matanya masih terlihat tegang.
Serentak para tamunya menjawab salam itu. Setelah Adipati Tuban mengambil tempat duduk berhadapan dengan para tamunya, si Tua Buta mengambil alih obrolan.
"Salam hormat dari saya orang tua buta ini Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Balewot. Aku terikat amanah dengan guruku untuk mengantarkan keris pusaka Kyai Layon ini kepada Adipati Tuban. Engkau juga terikat takdir dengan keris ini begitu pula dua temanku ini. Sebagaimana mungkin telah dilaporkan oleh Bekel Soka Lulung sebelumnya, keris ini akan menjadi momok di masa mendatang. Keris ini dibuat oleh seorang Mpu di Gresik dan diserahkan kepada Syekh Jalaludin. Aku diperintahkan guruku di Palembang untuk mengambil keris Kyai Layon dari seseorang di Gresik untuk diantarkan kepada Adipati Tuban."
Si Tua Buta nampak menghela nafas berat. Sepertinya ada hal yang memberatkan hatinya untuk melanjutkan cerita tentang keris Kyai Layon ini. Sementara para pendengarnya nampak terdiam menunggu kelanjutan cerita tentang keris bergagang gading berkepala ular itu.Setelah mengambil nafas Panjang, ia melanjutkan cerita.
"Keris ini akan dipakai untuk senjata saling bunuh anak keturunanmu, Pangeran Haryo Balewot!"
(Bersambung)