Dalam masa itu Tuban merupakan kawasan strategis yang menjadi incaran serangan musuh. Oleh karena itu atas perkenan Majapahit, pada abad ke-16 penguasa Tuban membuat tembok bata yang mengelilingi kotaraja Tuban.
Dinding tembok bata itu amat kokoh dengan ketebalan ± 2 jengkal sedangkan tingginya 15 kaki. Di bagian luar tembok tersebut terdapat danau berisi air, sedangkan didaratannya terdapat tanaman lokal besar berduri, tumbuhan itu merayap di tembok besar itu. Tembok tersebut juga dilengkapi dengan lubang-lubang besar maupun kecil, sedangkan bagian dalamnya terdapat mimbar kayu tinggi di sepanjang tembok.
Pembuatan pagar keliling kotaraja tentu tidak terlepas dari keinginan para penguasa untuk melindungi kepentingannya dari kemungkinan serangan dari luar. Kedua kotaraja Tuban merupakan daerah yang cukup rawan, karena merupakan pintu gerbang masuknya kekuatan-kekuatan luar yang hendak menembus ke wilayah pusat kekuasaan di pedalaman. Dari sudut ini Tuban lebih berperan sebagai benteng terdepan untuk menghambat serangan lawan.
Hari telah gelap ketika Bujang Jawa dan Punggawa Tuan memutuskan untuk menerima tawaran Soka Lulung untuk singgah ke rumahnya di kota. Meskipun telah mendapatkan banyak informasi dari sahabatnya itu, Bujang Jawa ingin menambah informasi tentang gerakan pasukan Tuban yang berhubungan dengan pelarian keluarga Keraton Djipang.
Pakaian mereka berdua saat itu menyiratkan bahwa mereka adalah rakyat biasa. Tubuh Bujang Jawa yang besar itu, dibalut baju gombrong sehingga membuatnya nampak makin gemuk. Namun di balik pakaiannya itu, tersembunyi otot kekar yang menandakan ia adalah seorang ksatria pilih tanding.
Dua orang prajurit penjaga itu melakukan penggeledahan. Bujang Jawa dan Punggawa Tuan telah mengantisipasi hal ini dengan meninggalkan senjata mereka di luar tembok. Hal itu agar tidak ada kecurigaan dari penjaga pintu perbatasan.
"Hari telah malam. Apakah tujuan kedua kisanak masuk ke Kota Tuban?" Salah seorang prajurit penjaga pintu gerbang menginterogasi.
"Tujuan kami hanya melancong saja. Kami tidak memiliki sanak saudara di Kota Tuban. Jadi kami akan menginap di salah satu penginapan saja," jawab Punggawa Tuan.
"Mengingat ibukota Djipang tengah terjadi huru-hara, kami tidak mengizinkan orang asing masuk ke kota jika tidak ada alamat yang dituju!" Suara prajurit berubah kasar.
Bujang Jawa memegang pundak Punggawa Tuan sebagai pertanda agar ia jangan terpancing. Mahfum akan keadaan mereka, Punggawa Tuan akhirnya mengendorkan ototnya yang sempat menegang.
"Kami datang ke kota hendak mengunjungi kawan lama, Soka Lulung." Bujang Jawa segera mengambil suara.
"Oh... Kalian ini rupanya kerabat Bekel Soka Lulung. Maaf kami berlaku kasar tadi." Suara prajurit berubah ramah. Dengan anggukan kepala, ia memberi isyarat kepada prajurit lainnya untuk membiarkan kedua prajurit Djipang itu masuk.
Pusat kota Tuban letaknya berada di Desa Prunggahan Kulon. Jaraknya sekitar lima kilometer dari pelabuhan. Melewati gerbang dinding bata beberapa tukang delman nampak memarkir kendaraannya di sekitar pintu masuk. Biasanya mereka melayani sewa muat barang dari luar masuk ke Kota Tuban. Bujang Jawa kemudian meminta salah seorang kusir delman untuk mengantar mereka ke alun-alun kota Tuban.
Hanya sependidih air tujuan mereka telah nampak. Alun-alun kota Tuban cukup besar berukuran 82 x 109 depa. Kendati hari tepah gelap, aktifitas orang di alun-alun masih ramai. Banyak pedagang menjajakan makanan di sana. Bujang Jawa dan Punggawa Tuan memutuskan untuk kembali mencari informasi di salah satu warung penjaja makanan.
Namun saat keduanya masuk ke dalam warung, mereka dikejutkan dengan suara halus yang berbisik di telinga keduanya. Lebih terkejut lagi ketika si pembisik itu adalah orang yang baru saja membuat keributan di pelabuhan.
"Ayo bersantap bersamaku prajurit telik sandi Djipang."
Si Tua Buta Agam berdiri dari kursinya dan mempersilakan dengan tangan kanannya untuk duduk di mejanya. Bujang Jawa dan Punggawa Tuan heran mengapa orang buta yang tadi membuat keonaran sekarang bisa melihat.
(Bersambung)