"Kita memang berjodoh Bujang Jawa." Si Tua Buta tertawa. Bujang Jawa dan Punggawa Tuan akhirnya menyadari jika ternyata tatapan mata si Tua Buta itu kosong. Sepintas jika dilihat dari kejauhan, nampak jika matanya normal. Akan tetapi, setelah dilihat dari dekat, keduanya mahfum jika mata orang sakti ini memang benar-benar rusak.
"Wahai orang tua, bagaimana engkau tahu keberadaan kami jika matamu saja tak bisa melihat?" Rasa penasarannya membuat Punggawa Tuan bertanya.
"Ah, bagi orang buta seperti aku, adalah perkara mudah mengenali orang dari baunya. Tidak itu saja aku juga kan tau kalian dari Djipang kan!"
Jawaban si Tua Buta sontak menyadarkan Punggawa Tuan jika ia salah mengajukan pertanyaan. Misi mereka yang rahasia itu akan sangat berbahaya jika diketahui pihak musuh.
Bujang Jawa selanjutnya mengambil alih pembicaraan. Ia memberikan isyarat kepada rekannya untuk diam dan duduk di sebelah orang buta itu.
"Mohon maaf orang tua, bukan akan bermaksud lancang. Apakah gerangan maksud perkataanmu bahwa jika kita berjodoh?" Bujang Jawa mengirimkan suara perlahan dengan tenaganya langsung ke telinga si Tua Buta. Ia tidak ingin ada orang di warung itu yang mendengar perbincangan mereka.
"Memang engkau ditakdirkan untuk menjadi pengawal pangeran pelarian, Bujang. Takdirmu itu tidak saja berlaku bagi keluarga Pangeran Arya Mataram, tetapi juga takdirmu berjodoh dengan Tuban." SI Tua Buta menjawab pertanyaan itu juga dengan mengirimkan suara ke telinga Bujang Jawa.
"Aku tahu engkau ingin mencari berita di kotaraja Tuban ini. Dan aku juga tahu bahwa engkau ingin singgah ke rumah Bekel Soka Lulung. Engkau adalah penunjuk jalanku. Kebetulan aku juga memiliki keperluan dengannya. Sekali lagi apa yang aku lakukan hari ini juga berhubungan dengan jalan takdirmu." Si Tua Buta kembali berbisik.
"Jika aku menolak?"
"Engkau tak bisa menolak Bujang Jawa, kalian belum aman karena masih berada di wilayah kekuasaan kerajaan Demak. Jika engkau menolak berarti sama saja dirimu mengizinkan seluruh keluarga Raden Suryowiyoto habis. Jangan banyak bertanya, cepat antar aku ke rumah Soka Lulung!"
Entah karena alasan orang tua buta itu masuk akal, atau karena didorong oleh rasa penasaran, akhirnya Bujang Jawa dan Punggawa Tuan tanpa banyak tanya segera meninggalkan warung yang baru mereka singgahi tersebut. Bujang Jawa membiarkan pundaknya dipegang oleh tangan si Tua Buta.
Dengan berjalan kaki, tiga orang berkepandaian tinggi itu menyambangi rumah Bekel Soka Lulung. Rumah kayu itu tidak jauh dari alun-alun kota Tuban. Bujang Jawa langsung mengucapkan salam ketika mereka menginjakkan kaki di halaman rumah.
"Assalamualaikum, benarkah ini rumah sahabatku Soka Lulung?" Lagi Bujang Jawa mengambil inisiatif bertanya.
"Wa alaikum salam. Silakan masuk ke dalam, kita ngobrol di dalam saja." Soka Lulung keluar dari rumah masih berpakaian ketika mereka terakhir bertemu. Matanya agak menyipit saat melihat orang tua buta itu ikut dalam rombongan.
"Aih, lagi-lagi hari ini Tuban kedatangan orang-orang hebat. Hormat saya untuk paduka Agam. Apakah gerangan sehingga paduka ikut bersama temanku Bujang Jawa?" Soka Lulung spontan bertanya.
Ketika itu ia menyadari kekeliruannya, kembali ia bersuara. "Wah, wah. Aku ini bukan tuan rumah yang baik ya. Tamu datang malah diberondong dengan pertanyaan." Ketiga tamunya tertawa lepas seraya menjurakan kedua tangan tanda penghormatan.
Mereka berempat duduk di dalam rumah. Istri Bekel Soka Lulung menghidangkan wedang jahe dan penganan singkong rebus. Mereka berempat terlibat obrolan serius. Penerangan lampu minyak yang remang, seolah mendramatisir obrolan yang belum tahu bermuara ke mana itu.
Si Tua Buta Agam mengambil alih pembicaraan. Ia mulai bicara dengan hati-hati sekali. Terlihat bahwa orang tua itu khawatir jika nanti ia salah bicara.
"Kedatanganku ini adalah ingin meminta pertolongan engkau, Soka Lulung. Sebagaimana diamanatkan oleh guruku, aku harus mengantarkan sebilah keris kepada keluarga Adipati Tuban, Raden Haryo Balewot."
Dikeluarkannya dari balik buntalan pakaian sebilah keris. Kemudian keris itu dicabut dari warangka kayunya.
Secara kasat mata, terlihat sekali keindahan keris itu. Belum lagi harum melati langsung semerbak mewangi ketika keris telah lepas dari sarangnya. Luknya Sembilan. Gagangnya dari gading gajah dan seperti bentuk kepala ular. Ukiran di gagang keris itu sangatlah rapih. Diantara gagang dan badan keris dibatasi oleh kuningan.
"Keris ini bernama Kyai Layon. Konon menurut guruku keris Kyai Layon ini dibuat oleh seorang Mpu di Gresik. Dia ada hubungannya dengan Syekh Ngali atau Syekh Jalaludin atau Kyai Makam Dowo. Beliau adalah ayah dari Syekh Abdurrakhman suami dari Raden Ayu Haryo Tedjo putri Adipati Harya Dikara, Adipati Tuban keenam." Si Tua Buta menghela nafas.
Keterangan dari orang tua buta itu kontan mengejutkan Bekel Soka Lulung. Ya, Syekh Abdurrakhman adalah Adipati Tuban ketujuh yang menjadi Adipati pertama pemeluk agama Islam. Meskipun hanya berstatus menantu, tetapi Adipati Harya Dikara harus memberikan tahtanya kepada menantunya itu sebagai simbol bahwa Kadipaten Tuban meskipun masih berada di bawah kerajaan Majapahit, telah memeluk agama Islam.
Pengangkatan Syekh Abdurrakhman ini sempat ditentang oleh para sesepuh Tuban. Mereka bahkan meramalkan bahwa akibat naik singgasana Tuban bukan dari keturunan Arya Dandang Wacana, maka akan terjadi karma di singgasana Tuban kelak.
(Bersambung)