Malam itu, di rumah utama, saat makan malam bertiga, antara William, kakek, dan papa William. Mereka sejak tadi membahas satu hal yang sama, yaitu penembakan Charlie.
"Jadi, sudah sampai dimana penyelidikanmu, nak?", pertanyaan kakek membuat William berhenti sejenak.
"Si sniper itu rencana kami akan jadikan tawanan, dan memberi tau siapa yang menyuruhnya menyerang Helga waktu itu. Setelah semuanya beres, barulah kita ke jalur hukum"
"Bagus nak. Kau harus memberikan keadilan untuk kakakmu Charlie"
Ya. William beberapa terakhir ini sedang berusaha untuk keadilan itu. Karena, dia sangat menyayangi Charlie, dan juga tidak ingin jika Helga sampai terluka.
Di tempat lain, tepatnya di rumah Helga. Evan duduk sendirian di meja makan. Tidak lama, Helga membawa semua makanan yang dimasaknya tadi, termasuk kari ayam yang diminta oleh Evan.
"Gak usah malu-malu yah. Anggap aja aku lagi menjamu tamu aku"
"Oke"
Evan lalu mencicipi kari ayam buatan Helga. Entah mengapa ia merasa ada yang aneh dalam dirinya. Sepertinya, hatinya sedang bergetar di dalam. Yang Evan sadari adalah masakan Helga merupakan salah satu kenangan cinta mereka. Evan berusaha untuk menahan air matanya dan terdiam.
"Eh, kenapa? Gak enak yah Van?"
"Eh, gak kok. Ini enak banget!"
Evan kemudian melanjutkan makan malamnya. Setelah sekian lama, akhirnya ia dan Helga bisa makan malam berdua seperti saat mereka bersama kemarin. Namun bedanya, Helga kini hanya memanggilnya dengan namanya, tidak ada lagi panggilan 'sayang' untuknya.
Saat Evan berada di basement untuk mengambil mobil dan pulang ke rumah, ada seseorang yang mencegat langkahnya, siapa lagi kalau bukan William.
"Evan, kamu ngapain disini?"
"Aku tadi kembalikan barang Helga. Kak Willie ngapain disini?"
"Sama, mau kembalikan barang Helga juga"
"Oh iya, aku heran, sejak kapan kak Willie dekat dengan Helga?"
"Hemm sejak hari pemakaman Charlie?"
"Secepat itu dan kalian sudah akrab banget?"
"Memangnya kenapa? Kau saja yang masih dalam ikatan pernikahan udah bisa dekat dengan perempuan lain, masa mantan istrimu tidak bisa dekat dengan lelaki lain?"
"Aku... aku..."
"Oh iya Evan, dan lagi. Kalau bisa jangan bertemu Helga lagi, kan kamu akan tunangan beberapa minggu lagi"
Helga yang sibuk mencuci peralatan makan dan masak yang digunakan tadi, lagi-lagi dikejutkan oleh suara bel yang berbunyi. Saat membuka pintu, Helga sudah tau dari awal kalau yang datang itu adalah William.
"Kak William, ayo masuk"
"Gak usah, udah malam. Apalagi kamu tinggal seorang diri, gak enak"
"Oh ya udah"
"Ini barang kamu yang tertinggal"
"Makasih yah kak"
"Aku lihat isinya. Kamu bisa desain perhiasan kan? Kok kamu malah pilih jadi redaktur majalah?"
"Yah, jangankan itu, begini-begini aku tuh lulusan ilmu hukum waktu kuliah"
"Serius? Wah, aku jadi bingung"
"Haha gak usah bingung lah, setiap orang yang pertama kali kenal aku dan tau pasti ekspresinya kayak kak William juga"
"Terserah", William langsung mencium pipi Helga.
"Kak Willie! Apa-apaan sih!"
"Aku cuma menagih permintaan maaf hari itu"
Tanpa basa-basi lebih lama, William meninggalkan Helga yang masih berdiri di pintu dengan ekspresi kesalnya. Dia tidak habis pikir, William yang suka menolong itu ternyata genit dan main seenaknya terhadap Helga, benar-benar hampir seperti Charlie.
Dalam perjalanan pulang saat menyetir mobil, William terus teringat pada Charlie. Dia begitu menyayangi kakak sepupunya itu. Walaupun Charlie sering menganggapnya sebagai rival, namun William tau kalau Charlie sangat menyayanginya, apalagi Charlie sempat menolong nyawanya.
Sampai kapanpun, William tidak akan menyerah kepada pelaku penyerangan di hari itu.