Jofie dan kelompoknya, Kelompok Sebelas, tiba di depan gerbang sekolah. Jofie menghampiri samping pintu-pintu besar itu. Kemudian, ia merogoh saku celananya dan mengambil dompetnya. Dari dompet tersebut, ia menarik sebuah kartu. Itu adalah kartu pelajar dari ASTRIS. Ia menempelkan kartu pada mesin identifikasi. Kartu itu pun diidentifikasi sebagai milik Jofie. Pintu-pintu besar itu pun terbuka untuk mereka.
"Hoaaahhmmm… akhirnya balik juga," kata seorang anak laki-laki berbadan seperti anak kecil.
"Ya, meskipun cuman nyari kucing peliharaan yang kabur doang," kata seorang anak laki-laki berponi panjang.
"Tapi, mau bagaimana pun kamu tetap kelihatan lemas, ya, Fabian," kata seorang seniornya. Sosoknya kurus, bermata sipit dan berponi pula.
"Iya, lah. Kan, makanya dia dipanggil 'Fames', singkatan dari 'Fabian Lemes'," kata seorang laki-laki berbadan gempal, meskipun tidak gemuk, tapi lebih pendek dari Fabian.
"Dih, apaan, sih, Raji! Nggak jelas!" sahut Fabian.
"Dih, emang gitu, kok, kata semuanya! Angkatan Satu juga banyak yang bilang gitu!" balas Raji. Mereka berdua pun bertatap-tatapan galak antara satu sama lain. Hawa di antara mereka berdua pun mulai memanas.
Tiga perempuan di kelompok tersebut hanya bisa tersenyum simpul melihat tingkah laku laki-laki di kelompok mereka. Salah satu dari mereka berbisik, "Dasar anak laki-laki, ya, kan, Aria?" ucap seorang perempuan berambut panjang keunguan dan berkulit gelap kepada temannya.
"Y-ya, mau gimana lagi, ya?" Perempuan berambut pendek berwarna perak dan berkulit terang itu hanya bisa tersenyum bingung.
"Kak Jofie, bagaimana ini?" tanya laki-laki bermata sipit tersebut.
"Hahah, biarkan sajalah, Hasto," tanggap Jofie sambil tersenyum.
Jofie dan kelompoknya berjalan semakin dalam ke area sekolah. Begitu mereka sampai alun-alun, sekelompok orang datang pula dari arah kiri mereka. Sekelompok orang yang memakai seragam training merah tua sekolah mereka. Jofie sangat mengenal orang yang berdiri di depan kelompok ini. Apalagi dengan rambut merah tua yang sangat mencolok di sekolah ini. Orang itu juga menyadari kehadiran Jofie.
"Ah! Jofie!" seru Sifari.
"Yo, Sifari," sapa Jofie kembali.
"Misimu sudah selesai?" tanya Sifari sambil tersenyum. "Pas sekali dengan jam makan siang."
"Yah, kalau cuman nyari kucing hilang, sih, gampang," jawab Jofie.
"Ah, pasti kalian semua adalah teman-teman dari Kelompok Lima," Hasto tiba-tiba membungkuk, "namaku Hasto Pranif, salam kenal."
"Oh? Ya, ya, aku tahu kamu!" seru Sifari. "Wah, kamu terkenal tahu sejak dari MOS. Orang-orang pada membicarakanmu. Tentang murid baru yang jago Wing-chun."
Hasto tersipu, "Ah, apakah aku seterkenal itu?"
"Iya, kok! Ya, kan, Barqi?" ucap Sifari kepada Barqi.
"Ya, bahkan perempuan saja membicarakanmu," jawab Barqi.
"Ya, ya, 'dia' juga, kan, Bar?" tanya Sifari sambil menyeringai.
"Hm? 'Dia'?"
"Iya, si Ri-hmph!"
Mulut Sifari ditutup oleh tangan Barqi sebelum ia dapat menyelesaikan kalimatnya. Sifari berusaha untuk berkata-kata, tapi yang keluar hanya suara yang tak jelas.
"Kapten, tolong apapun, kecuali itu," bisik Barqi memohon sambil tersipu. Kemudian, Barqi pun melepaskan tangannya dari mulut Sifari.
Sonia dan Eriza melihat Barqi dengan kebingungan. Mereka melihat Barqi seakan-akan telah menemukan keajaiban dunia yang kedelapan.
"Ka-kak Eriza, ini baru pertama kalinya aku melihat Kak Barqi malu-malu," kata Sonia. "Biasanya, kan, dia kalem dan santai."
"I-iya, ini juga pertama kalinya aku melihat Barqi begini," tanggap Eriza, "padahal aku juga sekelas dengannya."
"Oh, ya, bagaimana memangnya kalau Kak Barqi di kelas?" tanya Sonia.
"Ya, dia memang kalem dan santai, sih. Duduknya selalu di depan, dan seringkali bisa menjawab pertanyaan guru dengan baik," ujar Eriza. "Di Angkatan Dua, dia mungkin murid nomor 2 setelah Zeno."
Sonia terbelalak, "Heeehhh, dia sehebat itu, ya?"
"Membuatmu berpikir lagi, kan?" ucap Eriza. "Ketika kaptenmu adalah salah satu dari Empat Raja Langit dan wakilnya adalah murid nomor dua di Angkatan Dua…"
Sonia termenung. Ia tahu kata-kata Eriza benar. "Wah, aku jadi agak malu pernah meragukan kemampuan mereka," gumam Sonia kepada dirinya sendiri.
"Hehe, aku tahu, kok, kenapa Kak Barqi bisa tersipu seperti itu," celetuk Yura pelan.
Eriza dan Sonia langsung menoleh kepada Yura. "Se-serius?" tanya Eriza dan Sonia.
"Iya, tapi aku tidak akan memberitahukan kalian. Ufufu," kata Yura dengan riang.
"Hmph, dasar murid lama. Lebih tahu banyak," ucap Eriza.
"Ah! Itu dia 'Fames'! 'Fabian Lemes!'" sahut Erik.
"Dih, apaan, sih, dasar 'Enyal'! singkatan untuk 'Erik Kenyal," balas Fabian.
"Ha-hahhh!? Sebutan macam apa itu?"
Sifari tertawa, "Oh, ya, kalian sudah melapor ke Pak Ares?"
"Belum," jawab Jofie.
"Laporan sana," ucap Sifari. Ia menunjuk layar LCD di menara jam, "Poinmu nanti akan bertambah, lho."
Jofie dan kelompoknya menatap layar LCD. Ia melihat deretan kelompok dengan nilainya masing-masing. Kelompoknya ada di posisi terbawah dengan poin nol. Karena belum melaksanakan misi sebelumnya. Jofie terkekeh begitu melihat kelompok siapa yang ada di posisi teratas. Kelompok Lima. Orang-orang yang ada di hadapannya saat ini.
"Seperti biasa, kau dapat posisi teratas, ya, Sifari," kata Jofie.
"Cih, kau tahu kalau tidak senang dengan posisi ini," geram Sifari.
"Ahahah, tentu saja," kata Jofie sambil tertawa. "Yah, kalau begitu kami pamit dulu."
Kelompok Sebelas pun beranjak meninggalkan Kelompok Lima. Hasto membungkuk kepada Kelompok Lima, sebelum dia pergi. Barqi dan Yura balas membungkuk kepadanya, membuat Erik bingung. Kelompok Lima pun juga pergi ke arah yang berbeda. Menuju aula, untuk makan siang.
***
Ketika aku dan kelompokku tiba, Aula sudah ramai. Banyak murid yang mengantri untuk mengambil makanan yang disediakan secara prasmanan. Menu untuk siang ini adalah bakwan jagung dan sawi hijau berkuah. Aku dan kawan-kawanku dari Kelompok Lima jutga ikut mengantri dan mengambil makanan. Setelah itu, kami duduk di meja yang sama. Sebelum duduk, aku mengambil air minum dengan gelas di dispenser yang berada di akhir prasmanan.
Sebelum duduk, aku mendengar suara-suara berbisik dari orang-orang. Ada yang berkata, "Heh, itu Kelompok Lima? Yang sekarang ada di posisi teratas?"
"Iya, yang itu," jawab temannya. "Tapi, keliatannya nggak mungkin, kan?"
"Iya, gue yakin, pasti mereka ada trik-trik atau kecurangan," bisik temannya yang lain. "Kalo kelompoknya Toni, Bang David, Sandi masih mungkin, dah. Gue masih percaya."
Hhh, aku bisa mendengar kalian, tahu. Semoga kelompokku tidak ada yang dengar. Terutama Alan.
Satu per satu teman-teman Kelompok Lima yang lain ikut duduk. Barqi, Alan, Solari, Erik, Eriza, Sonia, dan Yura. Mereka mengambil makanan dengan porsi yang cukup. Kecuali, Alan, dia mengambil porsi yang agak banyak. Bakalan habis sendirian, tuh? Aku mulai menyuap makanan.
"Oke," kataku, "kalian mau mulai dari mana?"
Alan menelan makanannya, "Dari penjelasanku dulu!"
"Nggak! Dari penjelasanku dulu!" bantah Sonia.
"Bagaimana kalau dari evaluasi misi kita dulu?" celetuk Barqi.
Semuanya terdiam. Mereka menatap Barqi dengan pandangan bingung. Aktifitas makan mereka pun terhenti. Aku paham, tidak ada yang ingin membahas hal membosankan seperti evaluasi. Anggota OSIS ASTRIS saja tidak mau. Padahal ada Empat Raja Langit di dalam keanggotaannya. Ayahku selalu mengingatkanku untuk membuat evaluasi setiap kali selesai kerja kelompok. Ia sangat menekankan hal ini kepadaku. Tapi, kalau keadaanya seperti ini… susah juga, ya?
"E-eh, ada apa? Memangnya salah dengan itu?" tanya Barqi dengan gugup. Sepertinya ia panik karena jawabannya tidak dicerna dengan baik.
"Hahaha, tidak ada yang salah, sih, dengan itu," kataku sambil tersenyum, "tapi, itu masuk ke dalam pembahasan kita, kok."
"Kita akan memulai dengan sistem poin," aku mengangkat gelas airku, menyeruputnya, kemudian meletakkannya kembali. "Seharusnya aku mengatakan hal ini waktu pertama kali kita berkumpul. Tapi, karena kelupaan, aku baru mengatakannya sekarang."
"Hmph! Dasar!" gerutu Sonia.
Aku terkekeh canggung, "Jadi intinya begini, kalian pernah baca novel 'Terry Clotter'?"
"Ah! Yang karangan G. H. Crawling? Yang tentang sekolah penyihir itu?" seru Sonia.
"Iya, benar," jawabku, "Mereka ditempatkan di asrama yang berbeda-beda, kan? Dan setiap asrama memiliki poin masing-masing. Poin ini adalah untuk mengatur kedisiplinan. Poin dapat bertambah jika siswa melakukan hal yang baik, dan dapat berkurang apabila mereka melakukan hal yang buruk. Kalau di kita, setiap kali kelompok kita melakukan suatu hal yang baik, maka kita berhak mendapat poin."
"Ohhh, begitu," kata Eriza. "Seperti menyelesaikan misi, ya?"
Aku mengangguk, "Setelah menyelesaikan misi, Pak Ares akan memberikan poin untuk kelompok yang menyelesaikan misi. Penyelesaian misi biasanya mendapat lima puluh poin. Kemudian, impresi kepuasan dari klien diganjar seratus poin. Lalu, kalau Pak Ares juga puas dengan kerja kelompok tersebut, maka ia berhak untuk memberikan poin. Kira-kira seratus."
Alan menghitung dengan jari-jarinya, "Lima puluh… ditambah seratus… ditambah seratus lagi, sama dengan 250. Ah! Berarti seperti kelompok kita sekarang, dong?"
"Ya, kelompok kita adalah contoh dari nilai sempurna penyelesaian satu misi," jawabku. "Misi selesai, klien puas, dan Pak Ares pun juga senang dengan kinerja kita."
"Berarti kalau ada salah faktor ini yang gagal untuk diraih, dia akan mengurangi poin?" celetuk Solari.
"Yaps! Misalnya kita menyelesaikan misi lebih dari tiga hari, maka poin akan dikurangi. Atau klien tidak puas, karena kita malah melakukan kekacauan, misalnya," ujarku.
"Tapi, Kapten," kata Yura sambil mengangkat tangan, "apakah hal ini hanya terbatas pada Squad Project dan misi saja?"
"Ah, ya, soal itu… sebenarnya poin ini berhubungan juga dengan hal-hal yang di luar itu," jawabku. "Mungkin salah satu alasanku tidak ingin memberitahukan kalian adalah karena tidak ingin membebani. Jadi, perilaku kita di luar kelompok juga berakibat pada poin kelompok."
"Eh? Kenapa?" tanya Sonia.
"Untuk mendisiplinkan tentunya," jawabku. "Jadi kalau kalian tidur di kelas, misalnya," mataku melirik kepada Barqi dan Eriza, "poin kelompok kita akan dikurangi."
Barqi dan Eriza sama-sama bergidik.
"Kapten, aku tidak bisa menahan hasrat kantuk yang menjalar di tubuhku ketika pelajaran!" seru Barqi.
"Iya! Kadang pelajaran itu seperti nina bobo buatku!" seru Eriza juga.
Aku menggeleng-geleng, "Yang benar saja Barqi, Eriza, kalian hampir tidur di setiap pelajaran yang bareng dengan kelasku, tahu." Aku menoleh kepada junior-ku yang SMP, "Kalian sendiri bagaimana? Ada yang tidur di kelas juga?"
Erik, Alan, Sonia, dan Yura bergidik. Wajah mereka menunjukkan kegugupan. Alan bersiul-siul. Yura menghela nafas dengan murung. Sonia melirik ke arah lain. Sementara, Erik tersenyum kaku. Sudah dapat ditebak sepertinya, ya.
"Yah, tidak masalah, sih, buatku. Aku juga tidak menuntut kalian untuk mengejar poin," kataku. "Makanya, kenapa aku juga agak ragu untuk memberitahu kalian langsung. Karena kalau kuberitahu pasti kalian akan merasa tertekan. Kalian tidak boleh lupa poin terpenting dari Squad Project, lho."
"Apa poin terpenting dari Squad Project?" tanya Erik.
"Bersenang-senang," jawabku singkat.
Sonia mengerutkan dahinya, "Eh? Bersenang-senang?"
Aku tersenyum, "Ya. Seperti latihan pertama kita, atau ketika di Bercos, itu semua menye-"
"MANA ADA!" seru Sonia. "Dari semua hal yang Kak Sifari sebutkan, jantungku hampir copot karena melaluinya, tahu! Aku hampir mati! Hmph!" Sonia memasang muka masam, "Dan aku masih belum akan melupakan kalau gara-gara Kak Sifari, aku diculik."
"Ehhhh??? Kau masih membahas itu?" kataku. "Ya, soal itu, aku memang minta maaf. Tapi, jangan diungkit-ungkit lagi, dong. 'Masa lalu biarlah masa lalu'."
Tiba-tiba Yura bergetar. Ia memegangi kepalanya. Wajahnya menunjukkan kengerian yang mendalam.
"Ke-kenapa, Yura?" tanya Eriza.
"Tolong jangan katakan kalimat itu lagi," kata Yura.
Aku kebingungan, "Apa? Masa lal-"
"HIII!!! Tolong, jangan, tolong, jangan, tolong, jangan!" ucap Yura dengan cepat dan nada yang penuh ketakutan. Tapi, ketakutan yang kurasakan darinya, adalah trauma.
"Apakah kau ada trauma?" tanyaku.
"Kak Sifari! Tidak sopan menanyakan hal pribadi seperti trauma!" seru Eriza.
"I-iya," jawab Yura dengan gugup. Ia mengatur nafasnya, menghela nafas panjang. Lalu kemudian mulai bercerita, "Sebulan yang lalu, tetanggaku mengadakan kondangan. Mereka menyewa sound system yang cukup mahal. Sound system itu memiliki speaker yang sangat besar. Karena speaker-nya yang luar biasa besar, maka suaranya pun juga ikut besar. Tetanggaku ini sering pula menyetel lagu dangdut dengan keras-keras. Sampai-sampai terdengar dari rumahku. Yang parahnya adalah, malam-malam pun tetanggaku juga masih menyalakan musik dangdut hingga subuh. Walhasil, jadilah aku tidak dapat tidur semalaman. Begitu juga besoknya, dan besoknya lagi, dan besoknya lagi…"
"EHHHH!!!???"
"Selamat datang di Indonesia," ucap Barqi. "Tapi, Kapten, meskipun kau tidak salah. Menurutku ada hal lain yang terpenting dari Squad Project. Menjaga satu sama lain."
Aku tersenyum, "Yap! Benar! Seperti itulah yang kuharapkan dari wakil kapten-ku. Oh, ya, kalau kalian belum tahu Barqi adalah wakil kapten kita," ujarku sambil menepuk pundak Barqi.
"Udah tau," kata Sonia.
"Tidak ada lagi yang lebih pantas daripada Kak Barqi, soalnya, kan?" celetuk Alan pula.
"Eh? Bukannya semua udah tau?" kata Eriza.
"Ya, memang sudah jelas," Solari ikut menimpali.
Oh, begitu. Memang sudah tahu, toh? Ya… baiklah kalau begitu.
"Oke! Sekarang kita membahas pertanyaanku!" seru Alan.
***
Markas Pusat Pelayanan Fenomena Supranatural dan Hal-hal Gaib Nasional, Mandala, Jakarta. Sebuah dinding baja setinggi 25 meter dan setebal 3 meter mengelilingi area seluas 30 hektar. Benteng tersebut juga dilengkapi fasilitas militer. Senapan, meriam, mobil baja, tank, panser, helikopter, semua tersedia. Tapi, bukan hanya divisi militer saja yang ada di markas ini. Ada tiga divisi lagi yang berada di naungan Mandala.
Pertama, divisi Intelejen dan Pelayanan yang bertugas untuk mencari dan mengolah data perihal fenomena supranatural dan hal-hal gaib. Mereka juga memberikan pelayanan cepat tanggap terhadap masalah tersebut kepada masyarakat yang menghubungi melalui hotline mereka.
Kedua, divisi Penyelamatan dan Medis. Tugas mereka adalah melakukan penyelamatan kepada orang yang terjebak dalam fenomena supranatural dan memberikan pertolongan pertama pada orang yang terluka di lapangan. Sering juga mereka memberikan pengobatan kepada pasukan divisi militer yang bertugas di lapangan.
Yang ketiga adalah divisi Riset dan Teknologi. Mereka bertanggungjawab dalam menyelidiki penyebab fenomena supranatural dan hal-hal gaib. Juga menciptakan dan mengembangkan teknologi mutakhir untuk Mandala supaya dapat memudahkan pekerjaan di lapangan.
Yang terakhir adalah divisi Militer yang telah disebutkan sebelumnya. Tugas mereka adalah menghadapi bahaya tingkat tinggi terhadap fenomena supranatural. Seperti monster atau penyalahgunaan kekuatan oleh Insaneis lainnya.
Arslan sedang berjalan di komplek markas. Tujuan dia adalah kantor divisi Riset dan Teknologi. Ia mengunjungi kantor itu lagi setelah kemarin menitipkan sesuatu untuk diuji. Euphoroid. Dalam perjalanannya, seorang pria berperawakan lima puluh tahun-an, menyapa dia.
"Wah, Arslan! Selamat siang!" sapa pria itu. Ia memakai jas laboratorium. Rambutnya yang panjang seleher telah dihinggapi banyak uban. Kerutan juga tampak di wajahnya yang memiliki jenggot dan kumis tebal.
"Ah! Pak Agung, selamat siang!" Arslan membalas sambil memberikan hormat.
"Hentikan hormat itu. Aku bukan divisi Militer," ucap Agung. "Ngomong-ngomong, kamu mau kemana?"
Arslan menurunkan hormatnya, "Saya akan pergi ke kantor divisi Riset dan Teknologi, Pak."
"Oho, berarti tujuan kita sama. Ayo, kita ke sana bersama-sama," ajak Agung.
"Baik!" seru Arslan.
Mereka pun berjalan beriringan menuju kantor divisi Riset dan Teknologi.
"Oh, ya, bagaimana kabar istrimu, Arslan?" tanya Agung. "Kalian sudah mendapat momongan?"
Arslan tertawa canggung, "Yah… soal itu masih dalam proses, Pak."
"Ahahah, aku doakan yang terbaik untuk kalian," kata Agung sambil tersenyum. "Keluarga itu hal yang penting, lho, Arslan. Jangan sampai kau mengabaikan mereka. Seperti aku…"
Arslan termenung. Ia ingin bertanya lebih lanjut, tetapi hatinya seakan berkata bahwa itu adalah area yang tidak boleh dijamahi. Ia pun hanya bisa mengadah ke langit dan menghela nafas pelan.
Tiba-tiba, Agung menghentikan langkahnya. Arslan pun ikut berhenti. Ketika ia melihat ke depan, ternyata ada dua orang yang hendak berpapasan jalan dengan mereka. Yang satu adalah sahabatnya, Mira. Dan yang lain memakai jaket yang mirip dengannya, tanda bahwa ia adalah divisi Militer juga. Bedanya, ia memiliki beberapa lencana yang tersemat di jaketnya. Tanda lain bahwa ia memiliki pangkat yang tinggi. Orang itu memiliki postur tubuh yang tinggi—lebih tinggi daripada Arslan—dan kekar. Rambutnya disisir ke belakang dengan klimis. Senyum mengembang di wajahnya.
Dengan berat, Arslan mengangkat tangannya untuk memberikan hormat, "Selamat siang, Letnan Kolonel Anton!"
"Anton…" gumam Agung.
"Oh, selamat siang juga untukmu, Letnan Satu Arslan," jawab Anton. "Dan seharusnya kau panggil aku Letnan Kolonel, Wakil Kepala Divisi Ristek Agung. Kau harus tahu tempatmu!" Dia terkekeh, "Tapi, apa boleh buat, ya. Setelah Ramirus menarik dukungan perusahaannya dari Mandala, hidup di divisi Ristek jadi sulit, kan?"
"Itu bukan urusanmu, Anton!" seru Agung.
"Sudah kubilang, kau harusnya memanggilku Letnan Kolonel!" geram Anton.
Ia kemudian mengeluarkan aliran listrik dari tangannya dan berusaha untuk meraih wajah Agung. Tepat sebelum listrik itu dapat mengenai, tangan Anton terhenti. Ternyata, Arslan yang menahan tangan Anton.
"Hari ini panas, ya, Letnan Kolonel. Bagaimana kalau aku dinginkan sedikit?" ancam Arslan. Tangannya mengeluarkan hawa dingin yang juga siap menyerang.
Anton terkejut. Ia pun menarik kembali tangannya. "Hih! Dasar kalian semua, tidak punya etika! Sayang sekali, Arslan. Padahal minggu ini para atasan kudengar akan memberikan kenaikan pangkat untukmu. Karena kau berhasil menangkap gembong narkoba kemarin. Tapi, kalau seperti ini, aku bisa memberikan alasan untuk membatalkan kenaikan itu." Anton tersenyum licik, 'Tidak sopan terhadap senior', ya! Alasan itu bisa kugunakan sepertinya. Lagipula, seharusnya kau memotong kumismu, itu! Seorang tentara tidak boleh memiliki kumis atau janggut! Itu sudah jelas!" ucap Anton dengan suara yang agak keras. Beberapa orang pun berhenti untuk melihat kemarahan dari Anton. "Heh, tapi kau, kan, anggota peletonnya Kolonel Pakualam, kan? Orang yang tidak becus dalam mengurus bawahannya."
Arslan menatap Anton dengan tajam, "Lu ngomong apa soal Pak Alam?" Ia mengeluarkan hawa ancaman kepada Anton. Sementara, Anton hanya bisa berdiri terdiam dengan keringat dingin mengucur di seluruh tubuhnya.
"Arslan, hentikan!" seru Mira. "Pak Anton juga, saya mohon agar hati-hati dalam berbicara. Ia berusaha untuk menenangkan mereka berdua. "Arslan, kumohon, kau harus ingat tujuan kita."
"Maaf, Mira, sepertinya tujuan kita harus ditunda dulu," ucap Arslan.
Ia mengeluarkan energi dingin dari tangannya. Yang dia incar adalah Anton. Tapi, sebelum serangannya dapat menyentuh Anton, terdengar bunyi tepukan tangan dua kali.
"Oke, oke, cukup sampai di situ!" seru seseorang. Arslan pun menghentikan serangannya. Ia menoleh, ternyata seorang sahabatnya yang lain, Andre.
Ia menghampiri Anton, "Pak Anton, selamat siang." Andre tersenyum sinis, "Bagaimana kabar 'Kuda Jingkrak'-nya?"
Anton bergidik, "Da-dari mana kau tahu?!"
"Oho, sepertinya anda lupa divisi saya," kata Andre sambil menunjuk lambang di seragamnya. Sebuah padi dan kapas, tanda divisi Intelejen dan Pelayanan.
"Memangnya kenapa!?" geram Anton lagi.
"Saya sarankan agar anda menjaga mulut anda. Kalau tidak, bukan 'Kuda Jingkrak' saja yang akan saya bongkar. Tapi, juga yang lain…" ancam Andre.
"Cih, bangsat!" gumam Anton kesal. Kemudian, ia mendelik kepada orang-orang sekitar yang melihat, "Apa kalian semua lihat-lihat! Pergi sana! Pergi! Pergi!" semua orang pun pergi dari tempat karena diusir Anton. "Aku juga pergi, Mira! Terserah kau mau ikut atau tidak!" Anton pun beranjak meninggalkan tempat itu.
"Ah, Pak Anton, tunggu dulu," ucap Mira. Ia menoleh kepada Andre dan Arslan. Andre memberi isyarat kepadanya untuk mengikuti Anton. Mira pun berlari mengikuti Anton.
"Maaf, Pak Agung, saya ada urusan dengan Arslan. Bisakah bapak pergi duluan? Nanti dia menyusul," kata Andre dengan lembut.
"Ah, baiklah," jawab Agung. Sebelum dia beranjak, ia menepuk pundak Arslan, "Terima kasih, ya, Arslan. Sudah mau membela orang tua yang lemah ini."
Arslan hanya terdiam. Setelah Agung pergi, ia pun angkat bicara, "Kenapa? Kenapa lu berhentiin gue, Andre?"
Andre meninju wajah Arslan. Sebelum Arslan dapat berbicara, Andre berseru, "DASAR ARSLAN BEGO! Lu pikir lu ngapain, hah? Lu udah lupa dengan tujuan kita di sini? Lu mau bilang apa nanti sama Pak Winar?"
Arslan angkat bicara, "Tapi, dia menghina Pak Alam dan-"
"Iya, tahu, dia memang bajingan, kok!" seru Andre. "Tapi, lu perlu kalem. Dengerin dulu perkataan gue."
Arslan mengatur nafasnya, "Oke, apa yang lu temuin?"
"Pak Anton itu punya kekayaan yang abnormal. Tidak mungkin seorang Letnan Kolonel di Mandala memiliki kekayaan sebanyak yang ia punya," ujar Andre. "Karena kekayaannya hampir menyamai orang yang berpangkat Mayor Jendral."
"Apa!?" Arslan terkejut. "Berarti…"
"Kemungkinan besar ada uang suap yang mengalir kepadanya," kata Andre. "Karena, setelah kucek berkali-kali, Pak Anton tidak punya sumber penghasilan lagi selain dari pekerjaannya di Mandala."
"Uang suap? Jangan-jangan dari 'mereka'?"
"Sepertinya begitu," jawab Andre. "Dan mau tahu hal mengejutkan lainnya? Orang yang dikirim ke Bercos kemarin sebelum kau, adalah prajurit dari peleton Pak Anton."
"Pantas saja," ucap Arslan. "Sial, berarti apa yang diperkirakan Pak Winar benar. Lu udah kasih tahu Mira soal ini?"
"Sudah, kemarin," jawab Andre. "Kau terlalu sibuk, sih, mengurusi cairan itu."
"Soalnya aku juga terkejut, Ndre!" balas Arslan. "Ternyata yang dulu pernah dilaporkan Mas Ares benar adanya. Cairan yang bisa membuat seseorang lepas kendali. Gila sekali."
Andre tersenyum simpul, "Memang banyak kegilaan yang terjadi disekitar kita sekarang." Dia menghela nafas, "Arslan, ngomong-ngomong, lu mau makan siang bareng?"
"Telat. Gue udah makan dari tadi, tau!"
***
"Menjaga satu sama lain, ya?" kata Eriza. "Ya… benar juga, sih. Dengan adanya poin bersama, berarti kita harus aktif menjaga, bukan hanya diri kita, tapi juga teman satu kelompok, ya?"
"Ya, dengan sistem poin ini, akan tercipta peer pressure. Yang mana teman sejawat akan menuntut satu sama lain untuk menjaga kedisiplinan," ujar Sifari. "Yang kemungkinan, akan lebih efektif daripada guru yang menuntut."
"Karena kalau guru, paling-paling hanya berbekas sebentar, setelah itu hilang lagi efeknya," kata Barqi.
"Tapi, apa nggak apa-apa, kalau poin yang jadi motivasinya?" tanya Yura.
"Nggak apa-apa. Karena lama-lama, kita pun jadi terbiasa dengan kedisiplinan," jawab Sifari.
"Hah, benar juga," celetuk Erik.
Sebuah desahan keluh terdengar. Alan adalah penyebabnya. "Kapteeeeeennnn, kapan kita membahas pertanyaanku?"
"Oh, iya, aku hampir lupa," kata Sifari. "Coba biar kulihat."
Alan pun memberikan korannya kepada Sifari. Kemudian, dengan perlahan Sifari membaca koran tersebut,
"Dua Agen Mandala Berhasil Hentikan Gembong Narkoba di Bercos"
Pada hari Minggu (31/07/20xx), terjadi sebuah hal yang mengejutkan kampung kecil di daerah Jakarta Selatan, tepatnya di Bercos. Ternyata, kampung tersebut menyimpan sekelompok gembong narkoba. Bukan hanya itu, selama tiga tahun terakhir, warga kampung di sana juga dipaksa untuk bekerja di bawah mereka. "Kami ditindas, dianiyaya, disakiti, selama bertahun-tahun tanpa tahu siapa yang akan menyelamatkan kami," ucap Pak Jaya (35), seorang warga asli Bercos. Diduga warga dipaksa untuk memproduksi sebuah obat-obatan terlarang, juga mendistribusikannya ke beberapa tempat. Soal obat dan lokasi distribusinya, pihak Mandala enggan untuk memberikan informasi. "Kami masih perlu menyelidiki obat apa yang diproduksi di sini dan kemana mereka memasarkannya," jelas Letnan Satu Arslan Karisma (27) dari divisi Militer Mandala. Ia tidak sendirian dalam misi ini, seorang agen divisi Militer lainnya, Sersan Mayor Mira Elizabeth (27) juga membantu dalam misi ini.
Namun, banyak pakar supranatural menyangsikan keterlibatan mereka berdua saja dalam meringkus gembong narkoba ini. "Saya rasa tidak mungkin hanya dua orang berpangkat Letnan Satu dan Sersan Mayor dari Mandala dapat meringkus gembong narkoba yang tidak dapat ditangkap tiga tahun terakhir ini. Pasti ada pihak lain di luar Mandala yang ikut campur tangan," pungkas Prof. Romi Gaung, seorang dosen Fakultas Supranatural dan Hal-hal Gaib di Universitas Nasional Depok. Pernyataan Prof. Romi ini diperkuat dengan fakta bahwa empat di antara aktor-aktor produsen narkoba adalah mantan pemain sirkus yang semuanya sangat lihai dalam bertempur. Namun, lagi-lagi, ada juga yang mengatakan bahwa kekuatan aktor-aktor tersebut terlalu dilebih-lebihkan dan kekuatan agen Mandala terlalu diremehkan. Yang manakah yang benar? Jawaban tersebut masih tersingkap oleh kabut yang tebal.
-Jasus Khabar, Wartawan Senior di Nasionalika.
"Hmmm… begitu, ya," gumam Sifari. "Hm? 'Letnan Satu Arslan Karisma dari divisi Militer Mandala'?" Sifari berbisik, "Bingo!"
"Ternyata agen Mandala benar-benar datang, ya," kata Eriza. "Persis seperti yang Kapten katakan."
"Tapi, aku juga suka koran Nasionalika. Mereka menyampaikan opini secara adil dari dua sisi," kata Sifari. "Tuan Guru dulu katanya wartawan di koran ini, lho."
"Ohhh… ya, pekerjaan yang cukup cocok untuk Tuan Guru," sahut Barqi.
"Tuan Guru itu ayah dari Toni dan Agatha, kan, Kapten?" tanya Solari.
"Ya, dan suaminya Bu Martha juga," jawab Sifari. "Kembali ke berita ini, seperti biasanya, pemerintah menutupi kejadian sebenarnya. Kedatangan kedua agen Mandala ini mereka manfaatkan sebagai alasan dan bahan berita. Karena memang kedatangan kita ilegal."
"Tapi, kalau illegal, bukannya mereka bisa membuat kasus untuk menyelidiki kita?" tanya Solari.
"Ya, makanya ada dua hal yang berusaha mereka tutupi dari kejadian ini. Pertama, ketidakbecusan Mandala dalam menangani kasus ini," kata Sifari.
"Benar juga. kalau masyarakat sampai tahu bahwa lembaga nasional seperti Mandala sampai gagal dalam menangani kasus serius seperti ini, maka kepercayaan mereka terhadap Mandala akan makin menurun dan hilang," tanggap Eriza.
"Apalagi kalau tahu bahwa sekolah seperti kita yang menyelesaikannya," kata Alan ikut menimpali.
"Tapi, bukannya aneh, kalau lembaga nasional seperti Mandala sampai teledor dalam menangani masalah seperti Euphoroid?" tanya Yura kebingungan. "Maksudku, mereka harusnya punya badan intelejen yang mampu mengetahui lebih awal, kan?"
"Ya, dan itu mengarah kepada poin yang kedua," ucap Sifari. "Mereka punya andil dalam Euphoroid ini."
Mata mereka semua terbelalak. Erik berseru, "HAH!? Serius?! Kenapa pemerintah punya bagian dalam narkob-ARGH! Apa-apaan, sih, Lan?!"
Alan menjitak kepala Erik. "Sssttt! Kita lagi di tempat umum. Lagian kau mau yang lebih parah?" Alan memberi isyarat untuk melihat sekelilingnya.
Erik melihat ke sekelilingnya. Sifari dengan tersenyum dengan lebar. Tapi, senyumnya agak mencurigakan. Karena tinjunya sudah mengepal dengan keras. Barqi mendelik kepada Erik. Katana-nya sudah ditarik sebagian dari sarung yang menjaganya. Solari dengan santainya mengacungkan pistol ke kepala Erik. Eriza juga mengacungkan jarinya seperti bentuk pistol ke arah Erik. Ia menatap Erik dengan tajam dan dengan senyum yang mengerikan. Hanya Yura dan Sonia yang tidak melakukan apa-apa.
"Aku minta maaf!" ucap Erik.
Sifari menghela nafas, "Kau harus lebih berhati-hati dalam berbicara Erik. Itu rahasia, lho." Sifari menengak minumannya, "Tapi, kalau mau jujur, memang hal itu akan mengejutkan."
"Tapi, pemerintah? Kukira akan WGO yang dibalik semua ini," ucap Barqi.
Sifari menggeleng, "Mana mungkin WGO tertarik. Narkotika dan obat-obatan bukan hal yang membuat mereka tertarik."
"Benar," gumam Eriza.
"Hm? Kak Eriza, kau berkata apa?" tanya Yura.
Eriza menggeleng dengan cepat, "Ng-nggak ada, kok!"
"Oh, baiklah," kata Yura.
"Pertanyaan!" seru Erik. "WGO itu apa? Aku dijelasin sama Pak Bima nggak mudeng, soalnya."
"Hmph, dasar bodoh!" kata Alan.
"Hah!? Apa maksudnya, otak otot?" seru Erik.
"Padahal kalian berdua nggak ada bedanya," gumam Solari.
"WGO. World Guard Organization. Mereka adalah organisasi internasional yang bertugas untuk menjaga dunia dari ancaman-ancaman supranatural dan hal-hal gaib," ujar Barqi. "Mereka juga memiliki peran untuk meregulasi Insaneis di seluruh dunia. Tadinya, mereka adalah organisasi di bawah PBB. Tapi, karena banyaknya permintaan dari negara-negara untuk membuka cabang, mereka pun menjadi organisasi yang mandiri berdiri sendiri."
"Tapi, apa ada negara yang nggak punya cabang WGO?" tanya Erik.
"Ada," jawab Alan. "Jepang, Prancis, Jerman, Spanyol, Saudi, dan Inggris. Tapi, meskipun begitu, mereka punya penjaga yang menggantikan tugas WGO."
"Benar," sahut Yura. "Di Jepang ada tiga kekuatan yang menjaga negara dari fenomena supranatural dan hal gaib. Samurai, Onmyoji, dan Ninja. Semuanya bergerak di bawah perintah Kaisar."
"Prancis punya Le Musketeer, Jerman punya Die Jaeger, Spanyol punya Real Escudo, Saudi punya Al-Saif, dan Inggris punya Royal Knight," ujar Sifari. "Di Amerika Serikat sendiri, meskipun ada WGO, mereka hanya beroperasi sebagai regulator saja. Pelindung sebenarnya adalah Insaneis yang berafiliasi kepada agensi-agensi swasta."
"Di Indonesia juga ada WGO, kan?" tanya Erik. "Lalu, kegunaan Mandala apa?"
Sifari menghela nafas panjang, "Soal itu… Mandala sebenarnya adalah organisasi pelindung yang dimaksudkan untuk berfungsi secara mandiri. Ia dibentuk sejak negara kita merdeka. Tetapi, karena keadaan negara yang carut marut, yang sebagian juga diakibatkan oleh pejabat Mandala. Akhirnya tahun 1998, sebagai bagian dari Reformasi, masuklah WGO ke Indonesia untuk memperbaiki keadaan."
"Kudengar, banyak dari orang tua yang membangun dan mengembangkan Mandala pada jaman dulu menangis ketika mengetahui peran Mandala mulai disingkirkan sedikit demi sedikit dari pemerintahan," kata Alan.
"Pastinya," tanggap Sifari. "Mandala seharusnya menjadi simbol kebanggaan negara kita."
"Tapi, kenapa WGO tidak mungkin ada campur tangan dalam masalah Euphoroid?" tanya Yura.
"Yah, yang pertama, seperti yang kukatakan tadi, mereka tidak tertarik soal obat-obatan," jawab Sifari. "Yang kedua, mereka adalah organisasi internasional. Kalau mereka mau melakukan sesuatu yang rahasia, mereka akan melakukannya dengan lebih rapi. Sulit untuk ditemukan. Mustahil untuk dihancurkan."
"Jadi, memang Mandala yang ada dibalik semua ini?" tanya Barqi.
"Ya dan tidak," jawab Sifari. "Ya, Mandala memang punya andil dalam semua ini. Tapi, tidak, karena bukan mereka yang punya rencana."
"Siapa yang punya rencana memangnya?" tanya Alan.
Sifari menyeringai, "Soal itu, kalian tidak boleh tau."
"Ehhh, kok gitu?" keluh Alan.
Ekspresi Sifari langsung berubah menjadi serius, "Yah, sebaiknya kalian jangan tahu. Apalagi kalau kalian masih menyayangi hidup kalian."
Alan dan yang lainnya terkejut, "O-oke," kata Alan. Kemudian ia menghela nafas, "Hei, cebol! Dari tadi kau diam saja. Kau tidak punya pendapat soal ini?"
Sonia hanya melamun saja sambil menatap koran yang ada dihadapannya.
"Sonia, kau kenapa dari tadi kau diam saja?" tanya Eriza.
"Kau sakit?" tanya Sifari. "Kalau begitu biar Eriza mengantarmu ke UKS." Sifari menyeruput minumnya, "Dari tadi kau menatap foto pria Mandala itu terus. Ada apa? Hei, Sonia!"
Sonia kaget. Ia menatap teman-temannya dengan gugup, "E-eng-enggak, kok. Enggak ada apa-apa. Aku baik-baik saja. Ng-nggak perlu sampai repot-repot mengantarku ke UKS. Aku baik-baik saja!" Ia tersenyum dengan riang. Berusaha untuk meyakinkan teman-temannya bahwa ia baik-baik saja.
Sifari menengak minumannya. Ia menghela nafas, kemudian bergumam, "Bohong."
To be continued…
Next: Kings' Task