Chereads / The Rosemary / Chapter 24 - Chapter 22: Instrumental

Chapter 24 - Chapter 22: Instrumental

"Kak Yura?"

"Sonia?" ucap Kak Yura sambil terkejut melihatku.

"Kak Yura!" seruku.

Aku langsung merangsek dan memeluk Kak Yura. Belum pernah aku ingin memeluk orang lain selain keluargaku, sebelumnya. Kali ini rasanya beda. Aku yang sedang dalam kekalutan dan ketakutan sangat ingin untuk memeluk orang yang kukenal saat ini. Untungnya, orang itu adalah Kak Yura. Kakak kelasku dan teman satu kelompokku. Ia membalas pelukanku dan mengelus kepalaku.

"Kamu baik-baik saja, Sonia?" tanya Kak Yura.

Aku menggeleng.

"Yah, setidaknya kamu jujur," kata Kak Yura sambil tersenyum. "Karena aku juga sama. Yuk, duduk dulu."

Kami duduk di bangku taman. Kak Yura meletakkan balon dagangannya di samping kanannya. Aku terkesima melihat penampilan Kak Yura. Meskipun jauh dari kata anggun secara umum, apalagi dengan penampilannya yang biasa saja, dia terlihat ceria dan bahagia. Pakaian petani yang ia kenakan tak menjadi alasan untuk dia bersedih. Malah, membuat Kak Yura seperti orang yang ulet dan gigih. Rambut Kak Yura yang biasanya hitam legam, sekarang menjadi berwarna perak berkilau. Telinganya juga menjadi runcing sekarang. Mungkin karena efek game juga sepertiku.

"Oke, jadi, kenapa kau menjual balon?" tanyaku.

"Ah, itu, ya… sebenarnya aku juga tidak paham," jawab Kak Yura. "Setelah terhisap ke alat yang dibawa oleh Kak Sifari, aku terbangun di sebuah rumah dengan balon-balon dan pompa serta sebuah instruksi untuk menjual balon-balon ini. Maka, jadilah seminggu terakhir ini aku menjual balon."

"Ohhh… seminggu terakhir ini, ya? 'Seminggu? SEMINGGU?!" seruku kaget. "Apa maksud Kak Yura dari 'seminggu'?"

"Ya, maksudku tujuh hari," jawab Kak Yura. "Misalnya, dari hari Senin ke Senin lagi. Itu yang kumaksud dari seminggu."

Waduh, jawabannya terlalu polos. Memang, sih, jawabannya tidak salah. Tapi, bukan itu yang kumaksud. Aku juga tahu soal itu. Aku juga merasakannya. Kurasa aku harus lebih spesifik.

"I-iya, kalau itu aku juga tahu, Kak!" kataku dengan kesal. Aku menghela nafas, "Maksudku adalah, aku merasa bahwa aku baru melewati satu hari di dunia ini dari aku terbangun. Kok, Kakak bisa sampai melewati seminggu?"

"Hmmm… bagaimana, ya? Aku juga sulit untuk menjelaskannya," balas Kak Yura sambil menopang dagu. "Mungkin Kak Eriza bisa menjelaskan, kalau nanti kita bertemu dengannya."

Aku menghela nafas. Benar juga, baik aku dan Kak Yura masih bingung dengan segala kegilaan di dunia ini. Kami menatap langit dengan kosong. Langit biru yang cerah pada hari itu, bertolak belakang dengan pikiran kami yang dipenuhi dengan awan kekalutan. Langit yang cerah, ya? Dengan burung-burung yang terbang dengan bebas di atas awan putih. Terbang?

"Coba kita bisa terbang, ya?" celetukku tiba-tiba. "Seperti Kak Sifari. pasti bisa nyampe lebih cepet."

Mata Kak Yura terbelalak, ia tersenyum lebar, "Itu dia!"

"Ha-hahhh? Apanya?"

"Mungkin aku bukan Kak Sifari yang bisa mengeluarkan api untuk terbang," seru Kak Yura, "tapi, aku bisa membawa kita ke angkasa!"

"Heh? Caranya?"

"Akan kutunjukkan," jawab Kak Yura. "Tapi, sebelum itu, aku perlu menaruh barang-barang ini dan mengepak barang untuk pergi. Mari, ikut aku."

Aku mengikuti kemana Kak Yura pergi. Awalnya, aku merasa biasa saja. Melewati keramaian orang dan riuh suara percakapan serta tawa. Segala hal yang cerah dan ceria. Lama kelamaan, aku mulai merasa aneh. Karena sedikit demi sedikit, segala unsur itu menghilang. Yang ada hanya sepi, sunyi, dan kumuh. Segala hal yang suram dan muram.

"Kita berada di pinggiran kota Elmsvile, Scummacio," kata Kak Yura tiba-tiba. Wajahnya yang dari tadi ceria, sekarang menunjukkan emosi serius. "Sisi kelam dari kota cerah dan sejahtera yang kau lihat tadi, Sonia."

Keadaan rumah-rumah yang ada di sini, sungguh memprihantinkan. Mereka terbuat dari kayu-kayu yang sudah lapuk dan reyot. Terlihat bahwa rumah-rumah tersebut tidak terawat. Dengan lumut yang menempel pada berbagai tempat di kayu-kayu rumah. Rasanya, apabila kusentuh sedikit saja, rumah ini akan roboh dengan seketika. Tidak layak untuk ditinggali, mungkin itu kalimat sederhana yang tepat untuk menggambarkan pemukiman di pinggiran kota ini. Dibandingkan dengan Bercos yang kami datangi kemarin, Bercos masih jauh lebih baik.

Orang-orang di sini juga membuatku bergidik. Memang, akhir-akhir ini aku melihat banyak hal yang aneh. Tapi, semua orang di sini membuatku tegang. Raut wajah mereka tidak terlihat ramah. Dari tatapan mereka yang dingin, bibir yang menyungging, dan wajah yang berpaling adalah tanda-tanda bahwa mereka tidak suka dengan kedatangan kami. Beberapa dari mereka ada yang pergi begitu kami lewat. Tetapi, ada juga yang mengikuti kami dari belakang.

Dua pria—kutebak ras mereka campuran gorilla. Yang satu memiliki bulu coklat lebat, sementara yang lain memiliki bulu hitam—terus mengintili kami. Awalnya kukira hanya mereka hanya kebetulan berada di jalan yang sama saja. Tetapi, setelah beberapa kali belok, mereka terus mengikuti dari belakang. Aku merasa takut, memang, tapi berusaha kusembunyikan. Aku menepuk-nepuk bahu Kak Yura, berusaha untuk memperingatkan dia. Tetapi, tidak digubris sama sekali. Dia terus saja berjalan tanpa acuh.

Lama kelamaan, kami pergi ke tempat yang makin sepi. Dan kedua pria itu masih saja mengikuti. Seakan-akan kami digiring ke sebuah tempat. Tidak. Jangan-jangan sebenarnya aku yang digiring. Aku curiga, apakah dia benar-benar Kak Yura? Jangan-jangan hanya peniru? Aku harus mencari tahu.

"Kak Yura," sahutku sambil menghentikan langkah kaki.

"Hm? Ya, ada apa, Sonia?" tanyanya kebingungan.

"Apakah kau benar-benar Kak Yura?" tanyaku.

"Apa maksudmu, Sonia?" Kak Yura tambah kebingungan.

"Kalau kau benar-benar Kak Yura, pasti kau bisa menjawab pertanyaan ini," ujarku. "Siapa nama kucing yang dimiliki oleh Kak Sifari?"

"Sonia, apa yang-"

"SUDAH JAWAB!" teriakku. Teriakanku mengejutkan Kak Yura dan kedua pria gorilla di belakangku.

'Kak Yura' menghela nafas dan menggeleng-geleng kepalanya, "Yare, yare. Pertama, kau salah. Familiar yang dimiliki oleh Kak Sifari bukan kucing, tapi anak singa."

Ah, iya! Benar juga. Memang jelas-jelas Kak Sifari bilang begitu. Aku baru ingat.

"Kedua," lanjut Kak Yura, "namanya adalah 'Rota'. Bagaimana benar, 'kan, jawabanku?"

"Tidak semudah itu!" seruku. "Kalau begitu jawab ini, apa peribahasa Jepang yang mirip dengan 'air beriak, tanda tak dalam'?

Kak Yura menghela nafasnya, "空き樽は音が高い, Akidaru wa oto ga takai. Tong kosong nyaring bunyinya. Kau baru menanyakan hal tersebut tiga hari yang lalu kepadaku di asrama. Karena ada seorang guru yang membuatmu kesal karena omongannya. Bagaimana? Benar, 'kan?"

Memang benar, aku menanyakan hal itu kepada Kak Yura tiga hari yang lalu. Dan hanya ada kami berdua ketika aku menanyakan hal itu. Berarti sudah pasti yang ada di depanku ini adalah Kak Yura. Tidak dapat dipungkiri lagi. Wajahku memerah, aku malu, soalnya aku sudah mencurigai teman sendiri.

Kak Yura menghela nafas, "Aku paham kenapa kau ragu dan curiga. Karena memang tempat ini memberikan suasana yang menyeramkan, sih. Dan juga kalian berdua, Ronald, Donald," Kak Yura memanggil dua pria gorilla dibelakangku. "Untuk apa kalian mengikuti kami seperti itu? Kalian membuat temanku takut, tahu."

"Ma-maaf, Nona Yura," kata pria yang berbulu coklat dengan gugup. "Kami tidak dapat berhenti untuk curiga. Karena tiba-tiba anda membawa orang baru ke tempat ini. Apalagi, dia adalah seorang Caith Sith. Ronald pula yang mengajak saya, Non."

"Lha, kok, aku?" protes gorilla berbulu hitam yang bernama Donald itu. "Heh, aku itu cuman nanya, 'Apa kita perlu ikutin mereka?' Terus, tiba-tiba kamu menarikku dan mengajakku untuk berjalan."

"Lho? Bukannya itu isyarat untuk mengikuti Nona Yura?" tanya Ronald.

"Bukan! Sama sekali bukan!" sanggah Donald.

Kak Yura menggelengkan kepalanya, "Hhhh, sudah, sudah kalian berdua, hentikan! Sonia, biar kuperkenalkan mereka berdua kepadamu. Mereka adalah Ronald dan Donald. Mereka adalah penjaga keamanan di daerah ini. Sudah tugas mereka untuk mengawasi daerah ini memastikan semuanya aman terkendali. Jadi, tidak usah heran atau curiga melihat mereka mengikuti kita tadi."

Nggak. Nggak mungkin, sih, kalau aku nggak heran atau curiga. Soalnya dari tampang mereka saja bukan seperti penjaga keamanan, lebih seperti preman malah. Dan meskipun itu adalah satpam berseragam sekalipun, pasti aku akan tetap curiga kalau ada yang mengikutiku dari belakang. Aku harus tetap waspada, 'kan?

"Ronald, Donald, perkenalkan ini temanku Sonia," kata Kak Yura kepada Ronald dan Donald.

"Hai, Sonia," sapa Ronald.

"Halo," sapa Donald.

"H-hai," sapaku balik dengan gugup. Mereka berdua masih tetap terlihat menakutkan. Meskipun mereka berusaha untuk menyapaku dengan ramah, tetapi tetap saja tampang menyeramkan itu tidak berubah. Mau diyakinkan bagaimanapun juga.

"Ayo, ayo, jangan berlama-lama lagi!" seru Kak Yura. "Yang lain sudah menunggu, lho!"

Kak Yura mengajakku untuk berjalan lagi. Kali ini Ronald dan Donald berjalan di depan aku dan Kak Yura. Masih melewati rumah-rumah yang reyot dan kumuh membuatku berpikir, sebenarnya aku diajak kemana, sih? Tadi Kak Yura bilang 'yang lain', maksudnya siapa? Segala tebakan dan dugaan terbayang-bayang dalam pikiranku. Setelah kami melewati beberapa gang, kami belok di suatu persimpangan. Barulah segalanya jelas bagiku.

"SELAMAT DATANG KEMBALI, NONA YURA!"

Ramai orang berseru, menyambut kembali Kak Yura, seakan-akan Kak Yura adalah orang agung. Wajah mereka berseri-seri dan senyuman lebar terlihat di wajah mereka ketika menyambut Kak Yura. Tulus, itu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan sambutan mereka. Mereka sepertinya sangat berniat untuk memberikan sambutan ini. Tapi, disisi lain, sepertinya ini merupakan hal yang biasa bagi mereka, juga bagi Kak Yura. Karena dia melambai-lambai dan membalas salam mereka dengan biasa.

"Aku pulang, semuanya!" balas Kak Yura dengan riang sambil melambai-lambaikan tangannya. "Duh, padahal sudah kubilang nggak perlu."

Beberapa anak kecil kemudian menghampiri Kak Yura. Mereka semua terlihat seperti… monyet. Apakah terlalu kasar kalau aku mengatakannya seperti itu? Tapi, memang mereka terlihat seperti monyet, sih. Semua orang di tempat ini sebenarnya terlihat seperti monyet. Apakah ini adalah perkampungan mereka?

"Nona Yura! Nona Yura!" seru seorang anak laki-laki monyet. "Apakah anda membawa oleh-oleh hari ini?"

"Ah, Mickey, ya. Ada, kok!" jawab Kak Yura sambil tersenyum. Ia merogoh saku bajunya dan mengeluarkan sebuah kantong berukuran sedang. "Ini, jangan lupa untuk berbagi, ya!"

Anak laki-laki yang bernama Mickey itu membuka kantong yang baru saja diberikan kepadanya. Wajahnya berbinar begitu melihat isi dari kantong tersebut. Begitu pula teman-teman disekelilingnya. Mereka tersenyum bahagia, rasa syukur tergambar jelas di wajah mereka.

"Wah, permen!" kata Mickey. "Terima kasih, Nona Yura!"

"Sama-sama," balas Kak Yura.

Anak-anak itu kemudian pergi sambil bernyanyi-nyanyi dengan riang. Tak lama, datang beberapa anak muda, laki-laki dan perempuan. Sepertinya mereka seumuran dengan aku dan Kak Yura. Mereka membungkuk dengan hormat kepada Kak Yura, yng dibalasnya dengan bungkukan yang sama. Ekspresi mereka sepertinya serius sekali.

"Nona Yura, bagaimana perjalanan anda hari ini?" tanya seorang pemuda bertampang gorilla dan memakai kacamata.

"Apakah anda baik-baik saja? Apakah ada masalah?" sahut kera yang lain. Suaranya melengking, sepertinya ia perempuan. Pakaiannya juga terlihat seperti perempuan dengan gaun panjang berwarna ungu menutupi bulu putihnya.

"Mungkin anda harus mempertimbangkan tawaran saya dalam mengawal anda," kata seorang monyet lagi. Ia berbadan kekar dan memakai pakaian ketat berwarna hitam.

"Cih, kalau sama kamu, yang ada Nona Yura tidak aman, James," kata pemuda gorilla tadi.

"Apa maksudmu. Edward?!" seru monyet bernama James. "Kamu tidak lihat otot yang luar biasa ini? Dengan otot ini, segalanya pasti aman!"

Melihat si James itu, entah kenapa aku jadi teringat… Kak Alan. Hhhhh, karena sama-sama otak barbar kali, ya? Aku tidak mengerti apa hebatnya, sih, punya kekuatan fisik saja? Ada banyak hal yang juga kalah tidak penting dari pada otot. Kata Kak Sifari saja, tidak semua yang di Empat Raja Langit kuat secara fisik. Kak Sandi, misalnya menurut Kak Sifari, atdalah orang yang mematikan tanpa harus menyetuh lawan. Tandanya ia tidak perlu kekuatan fisik, 'kan?

"Iya, seperti waktu itu kamu mengayunkan gadamu dan tidak sengaja kena Nona Yura juga? Seperti itu?" tanya si Edward dengan nada merendahkan.

"Ah, iya, yang waktu itu, ya? Aku masih ingat rasa sakitnya, lho, James," ucap Kak Yura sambil tersenyum.

James menelan ludah, "Ya-yang itu adalah kecelakaan, Nona! Aku bisa jamin itu tidak akan terulang lagi! Sumpah!"

"Hmph, sebaiknya begitu," ucap Edward sambil mencibir.

"Hei, sudah, sudah," kata kera perempuan menengahi. "Ngomong-ngomong, Nona Yura, siapa yang dibelakang anda itu? Teman anda?"

"Ah, iya! Aku lupa memperkenalkan kepada kalian, ini adalah Sonia. Dan, ya, dia adalah temanku," ucap Kak Yura. "Sonia, perkenalkan, yang berbadan kekar ini adalah James. Yang berkacamata ini adalah Edward. Dan yang perempuan ini adalah Rosie."

"Hai," sapa James sambil menyengir.

"Halo," sapa Edward.

"Senang bertemu denganmu, Sonia," ucap Rosie sambil menjabat tanganku. "Wah, ekor dan telinga ini… kamu Cait Sith, ya?"

"I-iya, sepertinya begitu," jawabku gugup. Karena sebenarnya, aku sendiri juga belum tahu pasti. Aku belum pernah bertemu dengan orang yang satu ras denganku.

"Anda tidak pernah bilang punya teman Cait Sith, Nona," ujar Edward.

"Yaaa… begitulah. Aku sudah lama mengenal dia, tapi baru kali ini aku membawa dia ke sini," kata Kak Yura, sambil mengedipkan mata kirinya kepadaku. "Dia ingin berkunjung melihat-lihat katanya."

Mengedipkan mata? Maksudnya apa? Apakah Kak Yura berbohong? Tapi, apa yang dia ucapkan benar, kok. Apakah dia berusaha untuk menyembunykan sebuah fakta? Tapi, untuk apa?

"Yah, kalau begitu, semoga kau menikmati waktumu di sini," ucap Edward kepadaku. "Tapi, tidak banyak hal yang bisa kau nikmati di sini. Kalau mau, kau pergi saja ke pusat kota ini atau sekalian ke Reopolis."

"O-oke, akan kulakukan," kataku.

"Tapi, ingat," Edward mendekatkan kepalanya ke dekat telingaku, ia berbisik dengan nada mengancam, "jangan coba-coba kau ajak Nona Yura untuk pergi dari sini. Atau kau kubunuh."

Aku bergidik, perasaan takut, gugup, dan bingung bercampur menjadi satu. Maksudnya apa? Kenapa Kak Yura tidak boleh pergi? Posesif sekali dia. Seakan pacarnya saja. Huh, aku tidak pernah bisa mengerti, kenapa orang harus menjadi posesif? Si Edward pun beranjak pergi, begitu juga para monyet lainnya.

"Maaf, pasti kamu kebingungan, ya?" celetuk Kak Yura.

"Pastinya," jawabku.

"Mereka ini, Sonia, adalah ras yang bernama Hanoman," kata Kak Yura. "Mereka adalah ras yang selalu hidup berkelompok. Seperti monyet pada umumnya."

Aku mengangguk-angguk, "Eh, memangnya ada yang hidupnya tidak berkelompok?"

"Ada, rasmu Cait Sith adalah ras yang hidupnya jarang berkelompok. Seperti kucing pada umumnya," jawab Kak Yura. "Makanya ada sedikit ketidakpercayaan dari para penduduk sini. Banyak kabar yang tidak enak tentang Cait Sith, karena mereka akan melakukan segala hal untuk hidup."

"Segala hal?"

"Ya, segala hal. Membunuh, mencuri, berkhianat..."

"Te-tenang saja, mana mungkin aku melakukan hal seperti itu."

"Iya, aku percaya Sonia, kok," kata Kak Yura sambil tersenyum. Kemudian, ia berjalan, "Yuk, Sonia."

Aku mengikuti Kak Yura dari belakang. Masih banyak tanda tanya di kepalaku. Kak Yura belum menjelaskan banyak. Aku pun membuka mulut untuk bertanya, "A-anu, Kak Yura…"

"Ras Peri," celetuk Kak Yura

Eh? Ras Peri?

"Mereka adalah ras yang paling disegani dan ditakuti di seluruh penjuru kerajaan," lanjut Kak Yura.

"Ras Peri… tunggu, bukannya Kak Yura…"

"Iya, aku memang menjadi seorang Peri di dunia ini, kalau kamu melihat dari fisikku," tanggap Kak Yura. "Tahu kenapa mereka disegani dan ditakuti, Sonia?"

Aku menggeleng.

"Mereka adalah ras yang merasa paling tinggi dan berkuasa di kerajaan ini," kata Kak Yura. "Sayangnya, saking berkuasanya, mereka adalah ras menentukan segalanya. Mana yang baik dan buruk, benar dan salah, dijaga dan ditindas."

Aku terbelalak, "Jadi, semua harus ikut standar mereka?"

Kak Yura mengangguk, "Ras Hanoman seperti mereka di sini adalah salah satu contoh dari akibat kezaliman Ras Peri. Para Hanoman dianggap sebagai ras yang rendah dan kotor, sehingga boleh dan sah untuk ditindas, atau setidaknya didiskriminasikan." Kak Yura menoleh ke arahku Mungkin dalam perjalanan ke sini kamu melihat salah satu contohnya, Sonia?"

Contoh? Ah, iya! Di stasiun aku melihat sepasang anak dan ibu monyet yang kehilangan tiket mereka. Meskipun jelas-jelas menampakkan keadaan sulit, tidak ada satupun yang tergerak untuk membantu mereka. Semua orang acuh saja dengan urusan mereka sendiri. Berlalu lalang tanpa acuh. Jadi, karena itu alasannya? Hanya karena mereka memiliki darah Hanoman dalam tubuh mereka?

"Ah, ada yang ingin aku tanyakan, Kak Yura," kataku. "Di mana orang dewasa di sini? Aku hanya melihat anak-anak dan remaja saja soalnya."

Kak Yura menghela nafas, "Tidak ada."

"Eh? Tidak ada?"

Kak Yura mengangguk, ia menatap tanah dengan lemah, "Tidak ada orang dewasa di tempat ini, hanya anak-anak dan remaja."

"Memangnya ke mana mereka semua?" tanyaku.

"Semua anak-anak di sini terpisah, Sonia, dari Ayah mereka, Ibu, Kakak, semua orang dewasa," jawab Kak Yura. Matanya mulai berkaca-kaca, senyuman pahit menyungging di wajahnya. "Semua karena perlakuan tidak adil dari ras Peri. Inilah Kerajaan Hythena, Kerajaan yang penuh dengan kezaliman. Tempat dimana orang hidup dalam bayang-bayang kebahagiaan, kesejahteraan, dan harapan palsu. "

***

"Meskipun kau hanya seorang Saneis, masih ada hal-hal yang bisa kau lakukan, 'kan, Erik?"

Tersentak, Erik terbangun dari tidurnya. Kepalanya terasa pening. Ia menggelengkan kepalanya. "Hoaaammhhh, aku ketiduran…" ucapnya sambil mengerjapkan mata.

Di bawah pohon rindang, Erik duduk. Dengan pemandangan padang rumput yang dikerumuni beberapa ekor domba yang sedang makan rumput. Ditambah angin yang berhembus santai, suasana hidup Erik sedang dipenuhi dengan kedamaian. Semua masalah ada pada dalam dirinya serasa hilang untuk sesaat.

"Hmmm… yang tadi cuman mimpi, ya?" gumam Erik. Ia melihat tangannya yang sekarang berbulu. Begitu pula dengan kakinya. "Haha, oh, ya sekarang aku jadi monyet, ya?"

Erik berdiri dari duduknya, ia menepuk-nepuk pakaian gembalanya. "Ayo semuanya! Waktu makan sudah selesai!" teriak Erik kepada domba-domba yang sedang makan.

Ia kemudian menggiring domba-domba untuk beranjak dari padang rumput. Semua domba berjalan sesuai dengan arahan Erik. Sambil bersenandung, Erik berjalan bersama para domba.

"Tapi, beneran, ya? Kita sedang berada di dalam game?" tanya Erik kepada dirinya sendiri. "Tiba-tiba aku berubah menjadi monyet seperti ini, dapat misi untuk menjadi gembala, seperti game banget, sih. Jadi ingat Harvest Sun."

Penggiringan domba-domba Erik telah sampai ujungnya. Sebuah peternakan telah terlihat dalam pandangannya. Peternakan tersebut memiliki rumah kayu yang lebar, sebuah lumbung besar, bebebrapa kandang untuk beberapa macam hewan, dan sebuah kincir angin besar. Semuanya dicat berwarna kuning. Dan area peternakan tersebut dikelilingi oleh pagar kayu setinggi satu meter.

"Ah, Kak Erik!" seru seorang gadis kecil bertelinga kucing. "Baru selesai kasih makan domba, ya?"

"Yo, Lyra! Sudah makan siang?" kata Erik sambil tersenyum lebar.

"Belum, kami semua menunggu Kakak, tahu," jawab Lyra.

Seorang bertopi koboi menghampiri mereka, "Oh, Erik! Sudah memberi makan domba, ya? Kerja bagus!"

"Ah, Pak Roger. Terima kasih, saya hanya mengerjakan tugas saya," jawab Erik dengan merendah.

Pak Roger terkekeh, "Tapi, bisa kebetulan, ya? Seminggu yang lalu, kami membutuhkan tenaga lebih di peternakan ini dan lalu, tiba-tiba kau datang ingin bekerja di sini! Benar-benar kebetulan yang aneh."

"Mungkin itulah yang dinamakan 'takdir', Pak," tanggap Erik.

Pak Roger terkekeh lagi, "Bisa jadi, bisa jadi." Roger menunjuk rumah dengan jempolnya, "Ayo, Erik, kita makan siang bersama!"

"Siap, Pak!" seru Erik.

Ketika Erik akan melangkahkan kakinya ke rumah, tiba-tiba ia mendengar suara-suara aneh dari belakangnya. Suara tersebut terdengar seperti lirihan orang yang kesusahan. Bukan hanya dia, baik Pak Roger dan Lyra juga mendengar suara tersebut. Mereka semua pun mengalihkan pandangan ke belakang. Ternyata ada seorang pria yang berjalan lemas. Pria tersebut mengenakan jubah bertudung yang lusuh dan compang-camping.

"La-lapar… to-tolong be-berikan a-aku maka-nan…" lirih pria tersebut, sebelum akhirnya ia jatuh terkapar di tanah.

Sontak, Erik, Pak Roger, dan Lyra langsung menghampiri pria tersebut. Pak Roger mengecek-ngecek apakah pria tersebut masih hidup. Ia menghela nafas begitu mendapat tanda-tanda kehidupan. Sementara, Erik membuka tudung pria itu. Ia terkejut. Pria ini memiliki rambut pirang. Meskipun banyak orang yang berambut pirang di dunia ini, ia kenal dengan si rambut pirang yang satu ini.

"Ka-kak Solari?!"

To be continued…

Next: Not gonna lie, it fits you