"Kak Yura, kau baik-baik saja?" tanyaku.
Suara isakan terdengar darinya. Badannya juga terasa gemetaran. Aku rasa jawabannya tidak. Yah, maksudku siapa yang tidak shock dikhianati temannya sendiri?
"Kukira kami teman," jawab Kak Yura, masih sambil terisak. "Tetapi, tega-teganya mereka ingin membakarmu dan menuduhmu menghipnotisku. Terlebih lagi, mereka juga berani menyerangku. Yah, meskipun hanya tiruanku."
"Kurasa tidak sepenuhnya seperti itu, Kak."
"Maksudmu?"
"Aku merasa ada yang aneh ketika mereka merubah rencana. Jika mereka benar-benar ingin supaya hipnotisku lepas, seharusnya mereka cepat-cepat membunuhku ketika kau disibukkan oleh James dan Rosie. Tapi, nyatanya tidak, mereka malah membuang-buang waktu untuk memberikanmu waktu yang cukup untuk membebaskanku dan kabur."
"Setelah dipikir-pikir lagi, benar juga. Kenapa mereka repot-repot berusaha untuk menangkapku, ya?"
"Menurutku, mereka sengaja melakukannya supaya kau membenci mereka dan tidak memiliki beban lagi untuk meninggalkan desa."
Kak Yura terbelalak, "Benarkah begitu?"
"Yah, baru kemungkinan, sih."
Kak Yura tertawa, "Jadi, mereka hanya akting, ya? Benar-benar, deh. Dasar konyol! Sampai segitunya."
Ya, konyol banget. Saking konyolnya sampai membuatku ketakutan setengah mati. Maksudku, dibakar hidup-hidup?! Hellowww! Kalau ini jadi prank di FouTube, pasti bakal tenar parah. Si gledek-gledek itu, sih, lewat.
"Oh, ya, ngomong-ngomong kita akan ke mana, Kak Yura?" tanyaku.
"Kamu bilang kamu mau ke Reopolis, kan?" jawab Kak Yura. "Kalau kita terbang dengan Akamaru, kita bisa cepat sampai ke Reopolis."
***
Erik sedang memberikan makan para sapi. Menaruh rumput-rumput di tempat makan mereka. Solari hanya mengikuti dia dari belakang. Hanya melihat, tidak membantu.
"Aneh banget, ya. Monyet bisa kasih makan sapi," celetuk Solari.
"Jangan ngomong, deh," balas Erik. "Sebagai orang yang bisa mengeluarkan lendir dari tangannya dan orang yang bisa menembakkan energi matahari, kita bisa ngomong apa?"
"Itu beda."
Tiba-tiba, terdengar suara ribut-ribut. Suara-suara orang berteriak-teriak, seperti sedang bertengkar satu sama lain. Terdengar pula suara perabotan jatuh. Solari dan Erik pun menengok keluar kandang untuk melihat sumber suara-suara itu. Ternyata asalnya dari rumah Pak Roger. Mereka pun mendatangi rumahnya. Ketika mereka hendak masuk, Daniel berpapasan dengan mereka. Wajahnya terlihat kesal dan marah.
"Terserah kau sajalah, Ayah!" teriaknya.
Ia mendengus begitu melewati Solari dan Erik. Mereka berdua kebingungan tentang apa yang baru saja terjadi. Karena itulah mereka memutuskan untuk masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, mereka menemukan Pak Roger dan juga ruangan yang berantakan. Sofa-sofa tumbang, meja-meja ambruk, beberapa foto terjatuh ke lantai, dan sebuah vas bunga pecah berkeping-keping. Pak Roger sendiri tidak tampak baik. Wajahnya memerah dan bercucuran keringat serta terlihat sedang mengatur nafasnya.
"Pak Roger, apa yang baru saja terjadi?" tanya Erik.
"Ah, Erik, maaf kamu harus melihat kekacauan ini," jawab Pak Roger. "Yah, bukan hal yang penting. Hanya masalah ayah dan anak."
"Sampai menghancurkan ruang tamu? Sepertinya bukan masalah ayah-anak biasa," ucap Solari.
"Y-ya… memang…" kata Pak Roger. Ia menghela nafas panjang, "Sebenarnya, sejak kedatanganmu… aku dan putraku, Daniel, sering bertengkar."
"Bertengkar? Apa karena aku?" tanya Erik.
"Pastinya," jawab Solari. "Sebenarnya, apa masalah Daniel dan Hanoman, Pak? Apakah hanya sekedar rasisme belaka?"
"Bukan, bukan hanya rasisme belaka, tidak seperti ras peri," jawab Pak Roger. "Ini karena kejadian dulu ketika dia masih kecil. Ketika istriku masih hidup."
"Apa yang terjadi memangnya, Pak?" Erik bertanya.
"Dulu, ia dan ibunya pergi ke Reopolis. Mereka sedang pergi berbelanja. Di sana, mereka bertemu seorang Hanoman yang terlihat kesusahan, sangat kelaparan dan miskin. Karena iba, istriku memutuskan untuk membantu Hanoman itu. Ia mengajak Hanoman itu untuk bekerja di sini. Hanoman tersebut bekerja dengan sangat baik. Kemudian, selang enam bulan, Hanoman itu melakukan hal yang tidak terduga.
"Waktu itu, aku sedang pergi mengantar susu ke pasar dan para pelangganku. Yang ada di rumah hanya Hanoman itu, istriku, Daniel yang masih kecil, dan Lyra yang masih bayi. Ternyata, Hanoman itu memanfaatkan ini. Ia mencuri perhiasan istriku dan membunuhnya. Daniel yang masih kecil tentu tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi, dia merasa sakit hati yang sangat berat. Karena ia sudah sangat dekat dengan Hanoman itu, bahkan menganggapnya seperti kakak sendiri.
"Sejak saat itulah ia tidak percaya lagi pada satu Hanoman pun, siapapun itu. Karena takut akan dihancurkan lagi kepercayaannya," papar Pak Roger.
Erik dan Solari tertegun mendengar cerita Pak Roger. Mereka hanya bertatap-tatapan satu sama lain. Erik seperti ingin berkata-kata, namun semuanya tertahan di ujung lidahnya saja. Tidak ada satu pun yang dapat terungkapkan.
"Karena itu, Erik, bolehkah aku minta padamu untuk meninggalkan tempat ini sementara waktu? Setidaknya sampai emosi Daniel mereda." pinta Pak Roger.
"Kenapa? Karena kecacatan berpikir anakmu?" celetuk Solari.
Baik Erik maupun Pak Roger terkaget mendengar respons Solari.
"Maksudmu?" tanya Pak Roger.
"Memangnya kalau satu Hanoman salah, yang lain ikutan bersalah begitu? Kan tidak seperti itu," jawab Solari. "Aku rasa anakmu perlu mengubah pikirannya. Tidak perlu menyuruh Erik pergi."
"Sudahlah, Kak Solari," kata Erik. "Aku rasa memang ini satu-satunya cara."
"Cih!" dengus Solari.
Pak Roger tersenyum. Ia berdiri dan menepuk bahu Erik. "Terima kasih, Erik. Aku harap kamu tidak apa-apa dengan keputusan ini. Oh, ya, sekalian saja. Ada sebuah kedai di Reopolis yang memesan susu dariku dan aku belum sempat mengantarnya. Aku minta tolong kepadamu untuk mengantarkannya ke mereka. Susunya sudah kutaruh di kereta kuda, tinggal kamu antar."
"Baik!" jawab Erik dengan riang.
"Nanti kalau keadaan sudah membaik, aku akan datang ke sana untuk menjemputmu, oke?"
Erik menangguk. Ia dan Solari berpamitan, kemudian keluar dari rumah. Tak jauh dari sana, mereka menemukan kuda yang terikat dengan sebuah gerobak. Di atas gerobak tersebut, terdapat beberapa kendi. Mereka pun menaiki kursi kusir dari gerobak tersebut. Erik menarik tali kekang kuda itu untuk membuatnya berjalan. Kereta kuda itu pun berjalan dengan kecepatan yang normal.
"Kau aneh sekali," celetuk Solari.
"Aneh? Aneh bagaimana?" tanya Erik.
"Kau menjadi permisif dan terlalu gampang membantu orang," jawab Solari. "Memangnya kau Barqi apa?"
"Ahahah, begitu, ya? Kurasa karena faktor lingkungan?"
"Atau karena gadis kecil itu? Siapa namanya? Lyra?"
"Ma-mana ada?!" bantah Erik dengan muka memerah. "Memangnya aku pedofil apa?!"
"Ya bisa saja. Lagian itu tidak bisa disebut pedofil kalau kalian berdua masih di bawah umur," balas Solari. "Lagian kepribadianmu jadi berubah begitu."
"Yah, soalnya aku mendapat surat perintah."
"Surat perintah?"
"Ya, di dalam surat itu tertulis aku harus membantu peternakan. Itu berarti sebuah quest, kan? Jadi, apapun kulakukan demi menyelesaikan misinya, termasuk ini. Memangnya kau tidak dapat surat?"
"Tidak. Tidak ada surat apapun."
"Huh, aneh. Mungkin sistemnya sedang nge-bug."
Solari menatap pemandangan sekelilingnya. Terlihat perkebunan, pertanian, dan rumah-rumah orang.
"Erik, menurutmu apakah kita sedang berada dalam di video game?" tanya Solari.
"E-eh, iya, kan? Soalnya kita menyentuh konsol yang dibawa Kapten dan terbawa ke sini," jawab Erik.
"Tadinya aku juga berpikir begitu," kata Solari. "Tapi, melihat emosi yang dikeluarkan oleh orang-orang di sini dan drama yang mereka ciptakan, rasanya terlalu nyata untuk menjadi sebuah program komputer semata."
***
Reopolis, inilah ibukota dari kerajaan ini. Setelah melaui peristiwa seperti ketinggalan kereta dan hampir dibakar hidup-hidup, akhirnya aku dapat tiba di kota ini. Seperti layaknya sebuah ibu kota, Reopolis sangat luas dan terlihat lebih modern. Aku melihat banyak mesin uap yang digunakan. Di kota atau desa sebelumnya, aku belum pernah melihat mesin uap digunakan. Sebuah mobil bermesin uap bahkan sempat lewat di hadapanku.
Pakaian orang-orang di sini juga berbeda. Para pria banyak yang mengunakan jas dan wanita mengunakan gaun. Berjalan di kota ini, rasanya seperti berada di London era Victorian. Yah, bukannya aku pernah ke London atau hidup di era Victorian, tapi setidaknya seperti itulah gambaran yang aku ketahui. Tapi, perlu kuiingatkan lagi, mereka tidak tampak seperti manusia pada umumnya. Banyak juga, sih, yang penampilannya mirip manusia. Meskipun, yang seperti hewan juga banyak
Jumlah orang di Reopolis juga bukan main banyaknya. Aku hampir saja terpisah dari Kak Yura ketika berjalan di antara kerumunan. Kami pun berpegangan tangan supaya tidak terpisah dari satu sama lain.
"Kita akan kemana, Sonia?" tanya Kak Yura.
"Nggak tahu," jawabku. "Aku cuman disuruh ke Reopolis doing. Nggak ada arahan apa-apa lagi setelahnya."
"Wah, susah juga, ya," kata Kak Yura. "Ah! Kita makan saja dulu. Kamu belum sarapan juga, kan?"
Aku mengangguk. Ya iyalah belum sarapan. Pagi-pagi udah diikat dan hampir dibakar hidup-hidup. Mana sempat sarapan? Aku dan Kak Yura pun menemukan sebuah kedai, 'Rob's Diner' namanya. Kami masuk ke kedai tersebut. Di dalamnya, sudah banyak pelanggan yang sedang menikmati makannya. Aku melihat meja-meja sudah terisi penuh, tidak ada lagi yang tersisa untuk kami. Hanya tempat duduk di bar yang masih tersisa. Aku dan Kak Yura duduk di bar tersebut.
"Selamat Datang di Rob's Diner! Mau pesan apa?" sapa seorang pelayan kepada kami.
Pada awalnya, kukira pelayan tersebut hanya pelayan biasa. Tapi, setelah kulihat lagi, aku kenal orang ini! Kenapa dia bisa ada disini?! Perempuan dengan rambut coklat panjang dan badan tinggi ini, meskipun sekarang memiliki telinga kelinci, tidak salah lagi, dia…
"Ka-kak Eriza!" seruku.
"AH! SONIA! YURA!" serunya balik.
Kak Eriza berusaha untuk memelukku dan Kak Yura dari balik meja bar. "Untunglahuntunglahkalianberduaselamatakusangatsangatkhawatirkalaukaliankenapa-kenapa!"
"Ah, iya kami baik-baik saja," kataku. "Ngomong-ngomong, Kak Eriza sudah lama di sini?"
"Hmmm… yah, kira-kira seminggu? Kurang lebih," jawab Kak Eriza.
Seminggu lagi? Aku ingat Kak Yura juga menjawab bahwa dia sudah seminggu di sini. Ada apa ini? Kenapa hanya aku yang berbeda?
"Oh, ya, kalian berdua juga, ya?" tanya Kak Eriza. "Sama dong kayak aku dan…"
"Oi, Mbak Eriza! Ini pesanan meja tujuh sudah siap!" teriak seseorang dari dalam dapur.
"…dia. Hhh, iya, iya! Dasar bawel!"
Dari suaranya, aku seperti kenal. Entah kenapa aku merasakan kebencian yang sangat tinggi mendengar suara itu. Ketika seseorang keluar dari dapur membawa makanan, barulah aku paham kenapa. Sosok kekar dan berkacamata itu memang selalu menyebalkan buatku. Sekarang dia memiliki tanduk banteng. Hah, cocok banget, deh. Ya, dia adalah Kak Alan.
"Ah! Cebol! Ternyata kau di sini, ya!" serunya.
"Hmph, kau juga. Kupikir muscle-brain-mu sudah menyebabkan kematian bagimu!" balasku.
Astaga, menybalkan sekali orang ini. lebih baik tak usah kulanjutkan oercakapan dengannya. Yang ada malah bikin pitam naik. Tapi, memang sebuah kebetulan yang aneh. Kami dapat bertemu Kak Eriza dan Kak Alan yang sama-sama berada di kedai ini. Apakah kebetulan ini tidak bisa menjadi lebih aneh lagi?
"Halo, permisi, selamat pagi! Kami dari Peternakan Roger ingin mengantar susu pesanan. Apakah benar ini kedai Rob's Diner?" seru seorang laki-laki.
"Kami? Maksudnya kau saja, kan?" sanggah seorang laki-laki lain dengan suara bass.
Ketika aku menoleh, hanya ekspresi pasrah yang bisa aku keluarkan. Lagi-lagi orang yang kukenal. Tak ada habis-habisnya apa? Si monyet bermuka konyol ini sudah pasti, tak lain dan tak bukan, Erik. Ia sedang membawa sebuah bejana, sepertinya keberatan. Di belakangnya—meskipun sulit mengenalinya karena ia memakai tudung—tapi, dari rambut pirang yang menyembul dan ekspresi yang selalu datar dan kalem, sudah bisa kupastikan itu adalah Kak Solari.
"Jadi, kalian mau menerima susu ini atau hanya akan menatapku saja?" celetuk Erik.
***
Barqi sedang berjalan di koridor markas ksatria. Tiba-tiba seorang ksatria dari hadapannya menghentikan jalannya. Ksatria itu berpakaian baju zirah lengkap dengan helm dan juga jubah putih. Ia juga ditemani dua orang ksatria lain di belakangnya. Ia membuka helmnya ketika hendak berbicara. Terlihatlah rambut putih panjang miliknya serta sepasang bola mata berwarna hijau.
"Ksatria Kelas Dua Kirikaze," sapanya.
"Ah! Jendral Arias," sapa Barqi balik. Ia dengan refleks memberikan hormat. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Ah, ya, begini, kamu mendapat tugas," ucap sang jendral.
"Tugas seperti apa?"
"Yah, tugas yang aneh, tapi lumayan menarik buatku. Kau terpilih untuk menjadi petarung tamu di Colosseum."
"Hah?! Sa-saya?! Mohon maaf, dengan segala hormat, Jendral, biasanya yang menjadi petarung tamu di Colosseum bukannya yang berpangkat Letnan dan di atasnya? Kenapa saya yang terpilih?"
"Haaahhh… entahlah, Kirikaze," ucap Arias dengan nada pasrah. Kemudian, ia mendekatkan kepalanya kepada telinga Barqi dan berbisik, "Tapi, kalau boleh kuduga, ini ada sanngkut pautnya dengan duelmu tempo hari dengan Richard."
"Hm? Bagaimana bisa?" tanya Barqi.
"Yah, kalau kau belum tahu, dia adalah keluarga bangsawan di Hythena ini. Ayahnya adalah gubernur di Reopolis. Kemungkinan besar dia menggunakan pengaruh ayahnya untuk memasukkan namamu di Colosseum," jawab Arias sambil berbisik.
"Bangsawan yang sembrono, ya," timpal Barqi.
"Memang. Itulah bangsawan, kalau kau tidak berhati-hati dalam berurusan dengan mereka, mereka akan berusaha untuk menyengsarakan hidupmu dengan segala cara," ujar Arias. "Makanya, kusarankan kepadamu agar tidak macam-macam lagi dengan mereka."
"Meskipun mereka bersalah?"
"Pertanyaannya, apakah mereka pernah bersalah? Percayalah, segala hal yang salah dapat dibenarkan dan segala hal yang benar dapat disalahkan oleh mereka."
***
Sonia, Yura, Erik, dan Solari sedang berbincang menikmati sarapan. Eriza dan Alan juga ikut mendengarkan, meskipun sambil sibuk menangani pesanan.
"Wah, aku sempat khawatir, lho! Kupikir aku sendirian di dunia ini. Ternyata, satu per satu kalian muncul!" seru Erik.
"Yah, aku juga khawatir tadinya," kata Sonia menimpali, "tapi, syukurlah kita semua bisa berkumpul lagi. Semua, kecuali…"
"Barqi dan Kapten," kata Solari.
"Ah, dasar Kapten Bodoh dan gak guna itu!" umpat Sonia. "Kalau bertemu dia lagi, benar-benar akan kujadikan es serut!"
"Yang sabar, Sonia," ucap Yura. "Tapi, apakah tidak ada info tentang mereka?"
"Kalau soal Kak Barqi," kata Alan, "aku kemarin mendapat info kalau dia sekarang menjadi seorang ksatria."
"Oh, begitu?" kata Yura. "Yah, itu cocok sekali dengan dia."
Yang lain ikut mengangguk-angguk setuju.
"Kalau Kapten? Apa tidak ada info sama sekali?" tanya Erik.
"Tidak, sayangnya. Dia menghilang entah kemana," jawab Alan. "Tapi, begitu juga ketika di sekolah, kan? Dia suka menghilang entah kemana, nanti tiba-tiba dia sudah ada di antara kita. Aku heran dari mana dia mendapat kemampuan seperti itu?"
Seseorang masuk ke dalam kedai dan menempel sebuah poster di papan pengumuman. Eriza yang melihat itu, tercengang oleh isi poster tersebut.
"Yah, berarti setelah bertemu dengan Barqi, tugas kita selanjutnya adalah mencari Kapten," ujar Solari. "Kemudian mencari cara bagaimana keluar dari dunia ini."
"Kayaknya kita nggak perlu mencari Kapten, deh," ucap Eriza.
"Ng? Kenapa?" tanya Sonia.
Eriza menunjuk ke arah papan pengumuman. Mereka semua tercengang. Poster yang baru saja ditempel adalah jadwal pertandingan di Colosseum. Dan dari sekian jumlah pertarungan yang dijadwalkan, ada satu pertarungan yang di highlight yang membuat mereka kaget, tercengang, dan pasrah.
"Astaga, orang itu memang tidak bisa menjauh dari masalah, ya?" kata Sonia sambil menggeleng-geleng.
"PERTARUNGAN SERU HARI INI! SIFARI 'THE UNDEFEATED LION' VS SUN 'THE SWIFT MONKEY'," begitulah bunyi poster tersebut.
To be continued…
Next: Gladiator